Senin, 10 Maret 2014

MAMBANGKIK BATANG TARANDAM MELALUI OPTIMALISASI PERAN PEMERINTAHAN DAERAH




I.       Memperkuat Indonesia
Perekonomian Indonesia tahun lalu sempat mengundang decak kagum dengan menempati peringkat ke 16 dunia atau peringkat pertama di Asia Tenggara. Peringkat daya saing Indonesia sebagaimana dilaporkan World Economics Forum (WEF) 2013 menobatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kenaikan peringkat daya saing tertinggi di dunia. Sejumlah pakar ekonomi dunia bahkan memprediksi Indonesia di tahun 2030 bakal menduduki peringkat 5 besar dunia.
Namun sisi lain, nilai tukar rupiah mengalami tekanan, perdagangan Indonesia mengalami defisit, isu politik kerap menggaduh ekonomi seperti anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Tak dapat dihindari, iklim politik yang memanas terutama menjelang perhelatan pesta demokrasi Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden, pada tengah tahun 2014 ini, diyakini turut memengaruhi gejolak ekonomi Nasional.
Syukurlah, risiko pergolakan politik dan ekonomi ini tak hanya menjadi “beban” pemerintah pusat. Semenjak otonomi daerah digaungkan 15 tahun lalu, yakni melalui UU Nomor 22 tahun 1999 (kini menganut UU 32 Tahun 2004) maka kewenangan dan tanggung jawab penyelenggaraan urusan daerah berada di tangan 412 Kabupaten dan 93 Kota yang tersebar dalam 34 Propinsi se-Indonesia.
Artinya, pemerintah provinsi, kabupaten dan kota punya andil dan tanggung jawab besar dalam rangka menjalankan penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerahnya masing-masing. Fungsi pemerintahan yang berjalan on the track dan penuh inovasi jelas akan membawa manfaat bagi kemajuan daerahnya. Demikian pula sebaliknya, pemerintah daerah dinilai gagal bilamana kemajuan tersebut urung tercapai.
Yang membuat miris, Pemerintahan Daerah (Pemda plus DPRD) seakan berlomba-lomba menggerogoti kas daerah. Peran mereka seperti berkejauhan saja dengan janji semasa kampanye. Meski cukup banyak juga yang dapat dijadikan teladan karena keseriusannya membangun daerah, tetapi kesadaran, idealisme, profesionalitas dan tekad kuat perlu segera ditanamkan pada seluruh komponen Pemerintahan Daerah. Karena dengan memperkuat seluruh penyangga negara ini, para Pemerintahan Daerah, sesungguhnya telah memperkuat Indonesia.
II.       Sumatera Barat untuk Indonesia
Sumatera Barat sebagai salah satu dari 34 tiang penyangga NKRI, sebagaimana provinsi lainnya, memiliki lika-liku pengorbanan demi menjaga harkat martabat bangsa dan negara. Sejarah telah mencatat, berdirinya Indonesia tak terlepas dari keringat, darah bahkan nyawa rakyat Sumbar. Perjuangan penuh dedikasi ini, telah dicurahkan etnik Minang sedari zaman penjajahan Belanda. Sebut saja, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Tambusai, Tuanku Rao, Haji Agus Salim, Mohammad Natsir, Rasuna Said, Abdul Muis, M. Yamin, Rohana Kudus, Abdul Muis, Tan Malaka, Mohammad Hatta, Buya Hamka, Sutan Syahrir, Assaat dan banyak lagi, dengan segenap kekuatan telah menghalau penjajahan serta merebut kemerdekaan demi bumi pertiwi.
Tak hanya menampilkan kaum intelektual, Sumatera Barat juga menjadi salah satu pusat pergerakan kebangsaan. Bukittinggi sempat dijadikan ibukota negara semasa PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia). Munculnya PDRI adalah berawal  dari serangan Belanda ke Yogyakarta yang berujung pada penangkapan Sukarno-Hatta pada 19 Desember 1948.
Sebelum penangkapan terjadi, Wapres Hatta telah lebih dahulu menggelar rapat kabinet, yang salah satunya memutuskan memberikan mandat pada  Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang kala itu menjabat sebagai Menteri Kemakmuran, untuk membentuk Pemerintah Darurat di Bukittinggi, Membentuk Suatu Kabinet, dan mengambil alih Pemerintah Pusat. Hingga 13 Juli 1949, Mr. Sjafruddin dipanggil ke Yogyakarta, kemudian menyerahkan mandatnya kembali kepada Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta (Hatta, 2011).
Meski hanya berjalan kurang dari 8 bulan, kehadiran PDRI telah menunjukkan pada dunia bahwa RI tetap tegak berdiri, meskipun Sang Dwitunggal diasingkan oleh Belanda. Roda Pemerintahan RI, kendati dalam keadaan genting, tetap terus berjalan. Atas peran PDRI yang telah mewarnai sejarah kedaulatan RI, maka melalui Keppres Nomor 28 Tahun 2006, tanggal 19 Desember ditetapkan sebagai Hari Besar Nasional, yang diperingati sebagai Hari Bela Negara.
Semenjak zaman Orde Baru hingga Era Reformasi ini, masyarakat Sumatera Barat menjadi lebih gemar memandang keberhasilan etnisnya dengan menghitung-hitung jumlah orang Sumbar yang masuk daftar jajaran petinggi negara. Sedangkan kreatifitas, idealisme, kepandaian orang Minang untuk berfikir kritis “melawan arus” atau istilah keren sekarang, thinking out side the box, tak lagi mendapat perhatian. Mungkin itulah sebabnya, predikat Sumbar sebagai pusat industri otak Indonesia telah lama pudar. Meski tak tercecer jauh di barisan belakang, peringkat Provinsi Sumbar dalam beberapa kategori capaian pembangunan, menempati posisi yang tak begitu mengagumkan.
Sudah saatnya Sumatera Barat bangkit dan bangun dari romantisme kejayaan masa lalu. Sumbar hari ini, mesti pandai membaca segala  peluang dan tantangan tanpa meninggalkan falsafah budayanya. Sumbar harus mampu mambangkik batang tarandam, membangkitkan kebanggaan, memainkan peranan penting dan menorehkan lebih banyak lagi sumbangsihnya untuk Indonesia.

III.       Peluang dan Tantangan Sumatera Barat
Sumatera Barat dikenal sebagai provinsi yang minim potensi Sumber Daya Alam. Jumlah pertambangannya dapat dihitung jari. Tambang batubara di Sawahlunto pun kini dikelola konsorsium rakyat secara tradisional. Kereta api yang dulu sempat hilir mudik mengangkut hasil tambang ke PT Semen Padang maupun Pelabuhan Teluk Bayur sekarang telah menjadi barang museum. Di Solok Selatan, ada potensi tambang emas dengan kapasitas yang belum begitu menjanjikan. Selebihnya, hasil alam di Sumbar hanyalah mengeruk batu dan pasir.
Namun demikian, Tuhan maha adil. Kurang di sini, dilebihkan di sana. Walaupun SDA terbatas, tetapi di bidang lainnya, Sumatera Barat memiliki sejumlah peluang untuk memacu pembangunan daerahnya, di antaranya:

1.         Sumber Daya Manusia.
Alam Minang yang minim potensi, seperti pecut bagi penduduknya agar lebih giat bekerja dan berpikir. Sehingga orang minang selalu mengutamakan pendidikan bagi putra putri mereka.
Jauh sebelum adanya pendidikan formal, orang minang belajar dari alam ; Alam takambang jadi guru. Selain itu, banyak surau-surau yang multifungsi, selain tempat ibadah, dijadikan tempat berlatih silat dan transfer ilmu pengetahuan. Tak jarang, banyak tokoh-tokoh baik di Jawa, Sulawesi bahkan dari Malaysia yang datang ke Sumatera Barat guna menuntut ilmu. Mungkin itu pula sebabnya, di luar pulau Jawa, maka Sumatera Barat menjadi provinsi pertama didirikannya perguruan tinggi negeri yang bernama Universitas Andalas yang diresmikan Wapres Mohammad Hatta pada 23 Desember 1955. 


2.         Para Perantau.
Pekerja keras, kreatif, religius dan suka merantau itulah imej orang Padang. Mereka memilih mengadu nasib di negeri orang demi membangun kampung halaman. Sebelum merantau, orang Minang ini dibekali banyak keterampilan seperti silat, menjahit, mengaji dan memasak. Itulah makanya, di tanah rantau, banyak orang Minang yang profesinya tak jauh-jauh dari rumah makan, penjahit, guru mengaji atau guru silat.
Menurut Bahar dan Tadjoeddin (2004), sebagian besar warga suku bangsa Minangkabau di perantauan terdiri dari pedagang, pegawai negeri,  atau pekerja bebas yang ternyata memang mempunyai tingkat produktivitas yang jauh lebih tinggi. Ini artinya, bila potensi rantau dikelola baik akan memberikan banyak manfaat bagi ranah Sumatera Barat. Gerakan Seribu Minang atau Gebu Minang adalah satu contoh penggalangan kekuatan orang rantau melalui pengumpulan uang Rp 1.000/orang.
 
3.         Pariwisata. 
Pariwisata Sumatera Barat juga merupakan salah satu peluang yang menjanjikan. Hamparan gunung, laut, kepulauan, lembah ngarai, air terjun, sungai dan danau seakan tak sengaja terjatuh dari nirwana.  Yang menakjubkan, dapat dikatakan bahwa seluruh kabupaten dan kota di Sumbar memiliki potensi pariwisata ini. Tinggal saja sentuhan kreatif dan kemauan eksekutif untuk memolesnya, mengangkat dan mempromosikan sehingga layak dikunjungi wisatawan domestik dan mancanegara.

4.         Adat Budaya Minangkabau. 
Minangkabau juga dikenal dengan adat budayanya yang khas dan menarik hati. Tak hanya menarik wisatawan, namun adat budaya Minangkabau juga menarik para intelektual, budayawan, peneliti, bahkan negarawan luar negeri untuk mempelajarinya. Falsafah adat, petatah-petitih, adat perkawinan, seni tari, silat, hingga masakan Padang selalu diminati untuk sekedar diketahui hingga dipelajari secara sungguh-sungguh.
Adat budaya Minang yang tiada duanya di dunia ini, bila benar-benar dilestarikan, niscaya akan menjadi kekuatan bagi perekonomian Sumbar, sekaligus mengokohkan jati diri masyarakat Minangkabau.   
Sedangkan tantangan yang perlu disikapi Sumbar ke depan adalah bagaimana mengelola segala keterbatasan yang ada, mengubahnya menjadi sebuah kekuatan yang dapat memberikan kemakmuran, kesejahteraan dan kemajuan bagi rakyat Sumatera Barat.

IV.       Mambangkik Batang Tarandam Melalui Optimalisasi Peran Pemerintahan Daerah
IV.1 Mambangkik Batang Tarandam
Jargon “mambangkik batang tarandam” secara harfiah dapat diartikan membangkit batang yang terbenam. Di sini tampak suatu upaya untuk mengobarkan semangat masyarakat Minang agar terus maju, dengan tetap berpijak dari pengalaman dan kekuatan yang dimiliki. Kerap jargon tersebut dikaitkan dengan hasrat orang minang untuk mengembalikan kejayaan mereka di masa lampau.
Sebuah masa kejayaan, di mana orang Minang gigih berjuang melawan penjajahan hingga di awal kemerdekaan. Meski luas daerah dan jumlah penduduknya kecil (kurang dari dua juta jiwa dibanding sekitar enam puluh juta jumlah penduduk Hindia Belanda pada tahun 1939), namun orang Sumatera Barat memainkan peran yang menentukan dalam perpolitikan Indonesia. Kedudukan para pemimpin Minangkabau dalam pergerakan nasional dan dalam Pemerintahan RI hanya kalah dari para pemimpin yang berasal dari Jawa (yang merupakan 60% dari jumlah penduduk Indonesia). (Kahin, 2005)
Asumsi bahwa jargon mambangkik batang tarandam telah dimakan zaman, sehubungan saat ini,  telah jamak orang minang yang duduk di Jajaran Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, kemudian ada pula yang memimpin di lembaga tinggi negara, seperti ketua DPD RI, Jaksa Agung, atau bahkan ada juga sebagai pelatih Timnas, tentulah hal itu menumbuhkan rasa bangga. Namun demikian, menurut pendapat penulis, jargon mambangkik batang tarandam tersebut tak akan lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Jargon ini harus senantiasa melekat dalam sanubari orang Minang, sebagai bentuk pemicu semangat dan rasa mawas diri agar tak cepat puas dan berbangga hati atas hasil yang dicapai.
Dalam kondisi kekinian, mambangkik batang tarandam patutlah dinilai lebih dari sekedar menghitung-hitung jumlah orang minang yang duduk di jajaran kabinet atau menjadi pejabat negara. Mambangkik batang tarandam mesti dipandang lebih luas, yakni bagaimana cara membangkitkan masyarakat Sumatera Barat, di segala bidang, semua lini, seluruh aspek, sehingga memberikan manfaat besar dan positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

IV.2 Optimalisasi Peran Pemerintahan Daerah
NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan daerah juga menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Pemerintahan daerah terdiri atas pemerintah daerah dan DPRD. Sedangkan pemerintah daerah terdiri atas kepala daerah dan perangkat daerah. (UU 32/2004)
Sebagai bagian dari NKRI, kebijakan pembangunan Pemprov Sumatera Barat harus sinkron dengan kebijakan pembangunan Pemerintah.  Seterusnya, kebijakan pembangunan Sumbar menjadi acuan utama bagi kabupaten/kota yang mesti tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintahan Daerah. Sinkronisasi pembangunan, dari Pemerintah Pusat hingga daerah perlu ditaati agar pembangunan yang dihasilkan akan saling mengisi, tersistem dan berkesinambungan.
Berdasarkan Permendagri Nomor 27 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2014, demi terciptanya sinkronisasi kebijakan Pemda dengan kebijakan Pemerintah di tahun 2014 ini, maka telah ditetapkan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dengan tema “Memantapkan Perekonomian Nasional untuk Peningkatan Kesejahteraan Rakyat yang Berkeadilan”, dengan sasaran utama yang harus dicapai pada akhir tahun 2014 antara lain yaitu : Pencapaian target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 sampai 7,2 persen ; Penurunan angka pengangguran menjadi 5 sampai 6 persen ; penurunan angka kemiskinan menjadi 8 sampai dengan 10 persen; dan laju inflasi 4,5 persen dan bertambah atau berkurang 1 persen.
Dari sasaran utama tersebut, ditetapkan 11 Prioritas Nasional dan 3 Prioritas Lainnya yaitu : Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola; Pendidikan; Kesehatan; Penanggulangan Kemiskinan; ketahanan Pangan; Infrastruktur; Iklim investasi dan Iklim Usaha; Enegi; Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana; Daerah tertinggal, terdepan terluar dan pasca konflik; Kebudayaan, Ekonomi Kreatif dan Inovasi Teknologi; ditambah 3 Prioritas lainnya yaitu : Bidang Politik, Hukum dan Keamanan; Bidang Perekonomian; dan Bidang Kesejahteraan Rakyat.
Kebijakan Pemerintah lainnya yang perlu segera disikapi adalah Perpres 32/2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI). Dalam lampiran Peraturan Presiden tersebut dijelaskan bahwa MP3EI terbagi dalam 6 Koridor Ekonomi Indonesia, yakni Koridor Ekonomi Sumatera, Koridor Ekonomi Jawa, Koridor Ekonomi Kalimantan, Koridor Ekonomi Sulawesi, Koridor Ekonomi Bali-Nusa Tenggara, dan Koridor Ekonomi Papua-kepulauan Maluku.
Lebih lanjut, Perpres tersebut menjelaskan bahwa nilai investasi yang akan dilakukan keenam koridor ekonomi tersebut sebesar sekitar Rp 4.012 triliun. Dari jumlah tersebut, Pemerintah akan berkontribusi sekitar 10% dalam bentuk pembangunan infrastruktur dasar, seperti : jalan, pelabuhan laut, pelabuhan udara, serta rel kereta dan pembangkit tenaga listrik, sedangkan sisanya diupayakan akan dipenuhi dari swasta maupun BUMN dan campuran.
Khusus untuk Koridor Ekonomi Sumatera, Pemerintah memberi tema pembangunan “Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional”, yang terdiri dari 11 Pusat Ekonomi: Banda Aceh, Medan, Padang, Pekanbaru, Jambi, Palembang, Tanjungpinang, Pangkal Pinang, Bengkulu, Bandar Lampung, Serang. Dengan 6 kegiatan ekonomi utama, yaitu: besi baja, perkapalan, kelapa sawit, karet, batu bara dan  Kawasan Strategis Nasional (KSN) Selat Sunda.
Dari 6 kegiatan ekonomi utama pada Koridor Ekonomi Sumatera, maka Sumatera Barat dapat memfokuskan diri pada pengembangan dan peningkatan produksi kelapa sawit, karet dan batubara. Sementara, pembenahan industri perkapalan dan pelabuhan juga dapat dikembangkan sehubungan potensi dan posisi Sumbar yang tepat di tengah-tengah pesisir barat pulau Sumatera.
Lagipula, Sumbar telah memiliki sarana pendukung berupa Pelabuhan Teluk Bayur di Padang, Lantamal II Padang, Sekolah Usaha Perikanan Menengah Negeri di Pariaman, Bandara Internasional Minangkabau, Kereta Api dan banyak lagi.  Bahkan, saat ini juga tengah berlangsung pembangunan dermaga Tiram dan Pusat Pendidikan Pelayaran bertaraf internasional di Kabupaten Padang Pariaman. Keseluruhan pendukung tersebut mesti terpetakan sehingga akan tampak sebagai mata rantai jalur pembangunan ekonomi Sumbar ke depan.
Untuk itu, Pemprov dengan sejumlah Pemkab/Pemko perlu duduk bersama merumuskan peta percepatan pembangunan ekonomi Sumbar yang berpatokan dari peta Koridor Ekonomi Sumatera dalam MP3EI. Jalur jalan tol Padang-Pekanbaru-Batam dan Padang-Pekanbaru-Dumai (lihat peta investasi koridor ekonomi sumatera pada lembar lampiran) adalah peluang yang tak boleh disia-siakan. 
Pemetaan sejumlah kawasan komoditi perlu diwujudkan. Pengembangan komoditi kelapa sawit seperti di Kabupaten Pasaman Barat, Pasaman, Limapuluhkota, Pesisir Selatan, Sijunjung, Agam, Padang Pariaman, Solok Selatan dan Dharmasraya ; komoditi karet yang berada di Kabupaten Dharmasraya, Kepulauan Mentawai, Limapuluhkota, Padangpariaman, Pasaman, Pasaman Barat, Pesisir Selatan, Sijunjung, Solok, Solok Selatan, Tanahdatar, untuk daerah kota berada di Padang, Sawahlunto, dan Solok ; serta pertambangan batubara untuk daerah Sawahlunto dan Kabupaten Sijunjung selayaknya menjadi satu rangkaian kesatuan potensi ekonomi yang bakal memikat investor. 
Selain itu, melalui urun rembug tersebut, dapat ditambahkan potensi investasi lainnya dalam Peta tersebut, yakni dengan memuat segala informasi komoditi di Sumbar, baik di bidang Pertambangan, Pertanian, Perkebunan, Perikanan, Kehutanan, Peternakan, dan Potensi Jasa Pariwisata. Hal ini tidak saja memudahkan pemerintah dalam membuat rencana pembangunan sarana/prasarana pendukung seperti membangun jaringan jalan dan jembatan guna memperlancar jalur perdagangan hingga tersambung pada jalan tol Padang-Pekanbaru, namun juga bakal memandu para investor menanamkan investasinya di Sumatera Barat.
Optimalisasi peran Pemerintahan Daerah dapat dilakukan pula dengan membangun komunikasi, membuka keran dialog dengan seluruh komponen daerah, baik itu unsur Muspida, tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda dan para cendekiawan atau yang lumrah disebut di Minang sebagai tali tigo sapilin, tungku tigo sajarangan, dan ditambah dengan keterlibatan bundo kanduang. Pemda juga wajib menjalin hubungan dan membuka akses pada seluruh pihak yang tujuannya untuk mengontrol kinerja mereka. Di sinilah dibutuhkan keterampilan diplomasi yang baik.
Pembenahan di sisi internal, yakni dengan aksi perubahan pola pikir dan tindak terhadap seluruh komponen pemerintahan. Kepala daerah, anggota DPRD hingga jajaran birokrasi mesti menyadari besarnya peran mereka terhadap maju mundurnya suatu daerah. Walau hampir 15 tahun Otonomi Deaerah berjalan, namun kesan bahwa aparatur pemerintahan itu acap KKN, cenderung kaku, tidak profesional, boros dan lamban masih melekat kuat. Paradigma inilah yang perlu segera diubah.
David Osborne dan Ted Gaebler (1996) mengemukakan bahwa pemerintah hendaknya berjalan dengan semangat wirausaha. Sejumlah peran baru perlu disuntikkan dalam birokrasi, yakni Pemerintahan Katalis, Pemerintahan Milik Masyarakat, Pemerintahan Kompetitif, Pemerintahan Berorientasi Misi, Pemerintahan Berorientasi Hasil, Pemerintahan Berorientasi Pelanggan, Pemerintahan Wirausaha, Pemerintahan Antisipatif, Pemerintahan Desentralisasi, dan Pemerintahan Berorientasi Pasar.
Namun apa dikata, perubahan yang terjadi, dari orde baru sampai ke era otonomi daerah ini, justru seakan turut mendesentralisasikan “tradisi KKN” dari pusat kepada seluruh daerah. Pemerintahan daerah di Sumbar tak terlepas dari itu, meski wirausaha bukan sebuah barang baru bagi Etnis Minang yang gemar berdagang, namun tradisi KKN yang merebak cepat membuat peran pemerintah untuk menciptakan birokrasi wirausaha seperti terseok-seok.
Bukan rahasia lagi, jikalau birokrasi kerap dipolitisir untuk kepentingan pihak partai penguasa. Jabatan tak lagi diduduki birokrat profesional, tetapi lebih pada faktor demi keuntungan politik. Praktek KKN marak terjadi, tak jarang banyak pejabat birokrat dan politik yang terungkap permainan kotornya telah menjadi bulan-bulanan aparat hukum. Bagi yang pandai-pandai “bermain”, tetap saja berdampak pada kelambanan bahkan kemunduran pembangunan daerah. Kongkalikong pada pengerjaan proyek kegiatan, promosi jabatan dan distribusi dana bantuan hibah sudah seperti api dalam sekam. Tak terlihat, tapi kelak menimbulkan mudarat.
Satu contoh kelambanan pembangunan daerah ini, tampak pada keterlambatan pengesahan APBD Provinsi Sumatera Barat 2014. APBD ini baru ketuk palu pada 24 Januari 2014 setelah sebelumnya sempat mendapat teguran dari Mendagri. Padahal idealnya, pengesahan APBD dilakukan akhir tahun, sehingga di awal tahun 2014 tiap SKPD dapat langsung bergerak melaksanakan kegiatan, dana pun segera mengalir ke masyarakat lebih cepat. Kota Padang setali tiga uang, pengesahan APBD Ibukota Provinsi Sumbar ini juga baru terlaksana pada 31 Januari 2014.
Keterlambatan pengesahan APBD menunjukkan adanya ketidakseriusan antara penyelenggara pemerintahan dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Anggaran yang semestinya untuk menggenjot ekonomi daerah, namun terbengkalai hanya akibat perbedaan kepentingan. Tanpa perlu memperdalam persoalan ini, penulis memandang perlunya Pemerintah Provinsi bersama DPRD Sumatera Barat mengutamakan kepentingan masyarakat dibanding memaksakan ego politik masing-masing.


V.    Kesimpulan dan Saran
Tak dapat dipungkiri, di era otonomi daerah ini, bahwa kunci keberhasilan pembangunan suatu daerah tak terlepas dari terobosan yang dilakukan Pemerintahan Daerah. Dan keberhasilan pembangunan di daerah mesti diawali dengan perubahan mindset seluruh aparatur Pemda, DPRD berikut jajaran birokrasinya. Dengan perubahan pola pikir, maka peran Pemerintahan Daerah dapat digenjot lebih keras lagi.
Sumatera Barat sebagai salah satu provinsi penyangga keutuhan NKRI, telah menorehkan sejarah sebagai daerah yang mencetak kaum intelektual, negarawan, sastrawan, para wirausahawan yang memberi andil besar demi terwujudnya masyarakat adil dan makmur di bumi nusantara. Kini, dengan semangat otonomi daerah, hendaknya karakter unggul etnis Minang dapat lebih berkembang. Otonomi daerah, memberi peluang pada pemerintahan daerah, untuk lebih mampu berinovasi menciptakan program-program pamungkas guna membawa rakyat ke kehidupan lebih mapan lagi.
Pemprov sebagai koordinator mesti bertindak cepat, mensinkronkan arah kebijakan pembangunan Sumbar dengan seluruh Pemkab dan Pemko se-Sumatera Barat, agar terjadi pembangunan yang saling terkait, bersinergi, tersistem dan saling mengisi. Provinsi tak hanya dapat memandu 19 Kabupaten/Kota di Sumbar, namun lebih dari itu, Pemprov mesti memberi teladan guna menginspirasi daerah-daerahnya. Jangan sampai terjadi malah sebaliknya,  tungkek pulo nan mambaok rabah (tongkat pula yang membawa rebah).
Kejayaan Sumatera Barat di masa lalu, dapat dijadikan “senjata” bagi Pemda untuk menggelorakan semangat kebersamaan ; sabiduk sadayuang, saiyo sakato, baik di ranah maupun di rantau. Semangat untuk membangun kampung halaman dan membantu kaum lemah. Pemda sebagai “yang ditinggikan seranting, didahulukan selangkah” harus menyadarkan masyarakat, bahwa kebanggaan dan kemajuan Sumbar jangan hanya sebatas menghitung-hitung jumlah tokoh yang duduk di jajaran kabinet, sementara pendidikan Sumbar mengalami kemerosotan. 
Pemerintahan Provinsi, Kabupaten dan Kota se- Sumatera Barat dengan semua energinya, harus bersatu padu mencerdaskan warganya, dengan memegang teguh falsafah budaya Minang karena masih banyak batang terendam yang terus selalu  dibangkitkan. Sejak dahulu, sekarang hingga nanti.
******
Referensi
Bahar, Saafroedin dan Mohammad Zulfan Tadjoeddin. 2004. Masih Ada Harapan, Posisi Sebuah Etnik Minoritas Dalam Hidup Berbangsa dan Bernegara. Yayasan Sepuluh Agustus. Jakarta.
Hatta, Mohammad. 2011. Untuk Negeriku, Menuju Gerbang Kemerdekaan, Sebuah Otobiografi. Buku Kompas. Jakarta.
Kahin, Audrey. 2005. Dari Pemberontakan Ke Integrasi, Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1928. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Keputusan Presiden Republik Indonesia. Nomor 28 Tahun 2006. Tentang Hari Bela Negara.
Osborne, David dan Ted Gaebler. 1996. Mewirausahakan Birokrasi, Reinventing Government, Mentransformasi Semangat Wirausaha Ke Dalam Sektor Publik. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2014.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2011 Tentang Masterplan Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah


*****

(Karya tulis ini mendapatkan Juara 1 Lomba Karya Tulis Tema “Bersama Membangun Sumatera Barat” . Dilangsungkan dari tanggal 19 Desember 2013 - 9 Maret 2014. Diadakan oleh President Institute www.presidentinstitute.com dalam rangka peringatan Hari Bela Negara)

Minggu, 26 Januari 2014

UU ASN, BIG BANG SISTEM BIROKRASI INDONESIA*

                 
                       
 
Teori Big Bang (Ledakan Dahsyat), sebagaimana yang dikemukakan oleh George Lemaitre pada tahun 1927, mengungkapkan bahwa dalam sekejab, ledakan maha besar dari sebuah massa super  padat dan panas, telah memicu kelahiran galaksi-galaksi seperti yang ada sekarang ini. Diperkirakan, Big Bang tersebut terjadi 13,5 miliar tahun lalu. Namun saya tak bermaksud membahas tentang asal muasal jagad raya, terbentuknya alam semesta, komet, planet, matahari bintang atau bulan. Sebagai praktisi pemerintahan, saya lebih tertarik deskripsikan perubahan besar yang dalam tempo singkat akan  terjadi dalam tubuh birokrasi Indonesia. 
Big bang di lingkungan manajemen kepegawaian negeri ini dimulai pasca ditandatangani Undang-Undang Aparatur Sipil Negara oleh Presiden SBY pada tanggal 15 Januari 2014 (sebelumnya RUU ASN disahkan oleh DPR RI tanggal 19 Desember 2013), maka Undang-undang nomor 5 tahun 2014 ini pun telah berlaku penuh.
Semenjak 2 tahun lalu, saat Rancangan UU ASN diajukan oleh Kementerian PAN-RB ke Komisi II DPR RI, saat itu pula para PNS antusias, menaruh perhatian pada pasal-pasal dalam draft UU tersebut. RUU ASN pun menjadi trending topic dalam sejumlah komunitas PNS di media sosial. Harapan besar tertompang dari para birokrat tersebut, agar UU ASN menjadi solusi dari segala hingar-bingar permasalahan yang mereka hadapi.
Beberapa permasalahan seperti politisasi PNS, jenjang karir tak jelas, pengembangan kompetensi dan kepangkatan yang tak tentu arah sebagai akibat dari acuan penilaian kinerja PNS yang lebih berdasar kepada like and dislike dari pimpinan, hingga masalah hukum yang tak bisa dihindari PNS terkait pelaksanaan tugasnya. Segala dilema tersebut, yang belum tercover dalam UU 43 tahun 1999, telah terjawab dalam UU 5 tahun 2014.
Dalam UU 5/2014 ini, Aparatur Sipil Negara (ASN) terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Keduanya berhak mendapatkan gaji, tunjangan, cuti, dan pengembangan kompetensi. Yang membedakan hanyalah soal faslitas, jaminan hari tua dan jaminan pensiun, PNS mendapatkannya sedangkan PPPK tidak.
Big Bang lainnya, terjadi pada perubahan manajemen ASN yakni dengan munculnya lembaga non-struktural baru yakni Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang memiliki kewenangan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan manajemen ASN, serta pengawasan terhadap penerapan asas, kode etik, dan perilaku ASN. Dalam draft awal RUU ASN, KASN memiliki kewenangan eksekusi, dapat membatalkan dan memberikan sangsi terhadap pelaksanaan kebijakan yang melanggar kode etik, seperti pengangkatan pejabat yang tidak melalui prosedur. Namun, entah mengapa, fungsi KASN “hanya” melakukan pengawasan, mengevaluasi dan melaporkan bilamana menemukan kejanggalan dalam pembinaan ASN kepada presiden.
Selain itu, PNS dapat berpindah antar dan antara Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi, dan Jabatan Fungsional di Instansi Pusat dan Instansi Daerah, bahkan PNS dapat diangkat dalam jabatan tertentu pada lingkungan instansi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara RI dengan demikian pangkat atau jabatannya disesuaikan dengan pangkat dan jabatan di lingkungan instansi TNI dan Polri.
Berikutnya, mengenai pengembangan kompetensi bagi PNS juga lebih detail gamblang diutarakan UU ASN. PNS diberikan kesempatan untuk melakukan praktik kerja di instansi lain, baik pusat atau daerah, dalam waktu paling lama 1 tahun. Bahkan, pengembangan kompetensi juga dapat dilakukan melalui pertukaran antara PNS dengan pegawai swasta dengan waktu juga maksimal 1 tahun.
Perubahan yang paling banyak mendapat respon dari para abdi Negara dan abdi masyarakat ini adalah perubahan Batas Usia Pensiun (BUP) yang sebelumnya 56 tahun menjadi 58 tahun (bagi Pejabat Administrasi) dan 60 tahun (bagi Pejabat Pimpinan Tinggi).
Terkait semua perubahan besar tersebut, sejumlah produk hukum sebagai konsekwensi turunan lahirnya UU ASN ini langsung dikebut oleh Kementerian PAN-RB. Menurut rilis yang dikeluarkan Humas Kementerian PAN-RB, ada 19 Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan 4 Rancangan Perpres yang akan menjabarkan detail UU 5/2014, yakni RPP yang berkaitan tentang : 1. Administrasi dan Kompetensi PNS, 2. Jabatan Fungsional PNS, 3. Jabatan Pimpinan Tinggi PNS, 4. Pengisian Jabatan ASN Tertentu dari TNI dan Polri, 5. Hak dan Kewajiban Pegawai ASN, 6. Tata Cara Penyusunan dan Penetapan Kebutuhan Jumlah dan Jenis Jabatan PNS, 7. Pengadaan dan Tata Cara Sumpah / Janji PNS, 8.  Pangkat dan Jabatan PNS, 9. Pengembangan Karier, Pengembangan Kompetensi, Pola Karier, Promosi dan Mutasi PNS, 10. Tentang Penilaian Kinerja PNS, 11. Gaji, Tunjangan Kinerja, Tunjangan Kemahalan dan Fasilitas Lain PNS, 12. Disiplin PNS, 13. Pemberhentian, Pemberhentian Sementara dan Pengaktifan kembali PNS, 14. Pengelolaan Program Jaminan Pensiun PNS, 15. Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, dan Bantuan Hukum Pegawai PNS, 16. Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. 17. PNS yang Diangkat Sebagai Pejabat Negara, 18. Korps Pegawai PNS, dan 19. Upaya Administratif dan Badan Pertimbangan Pegawai ASN.
Sedangkan 4 Rancangan Peraturan Presiden yakni tentang : 1. Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi, Wewenang dan Tanggung Jawab Komisi Aparatur Sipil Negara, 2. Tugas, Fungsi dan Kewenangan Lembaga Administrasi Negara, 3. Tugas, Fungsi, dan Kewenangan Badan Kepegawaian Negara, dan 4. Jenis Jabatan yang Dapat Diisi oleh Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja.    
Perubahan besar dalam tubuh birokrasi tak hanya sebatas peraturan perundangan belaka. Mimpi agar PNS ke depan, dapat bekerja secara professional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, bukan saja mimpi segelintir birokrat, namun itu semua adalah cita-cita kita semua. Perlu aksi dan tekad nyata bersama dalam mewujudkannya.

*****

*terbit di Harian Padang Ekspres, Rabu 22 Januari 2014







Senin, 20 Januari 2014

Sinopsis Novel Sang Abdi Praja*





Novel ini berkisah tentang lima orang pemuda dari seluruh pelosok nusantara dengan berbagai latar kehidupan mereka masing-masing. Namun garis tangan menyatukan mereka di STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri) yang berada di Jatinangor. Sejak tahun 2004, STPDN menjadi IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri).

Pemuda pertama adalah Berney Tambonop, pemuda Merauke- Papua yang tak terpikir sama sekali untuk jadi pegawai kantoran. Ia malah bersikeras ingin menjadi pelaut seperti ayahnya. Lalu ada Guntoro yang berasal dari jawa timur demikian pula, ia malah pernah kabur dari rumah demi mengelakkan tes masuk STPDN. Abdi Praja, pemuda asal Pariaman –Sumatera Barat hanya mempeturutkan arus, ia ikut saja apa kata apaknya yang berciloteh hebatnya sekolah di Bandung, “tak membayar, wa’ang malah digaji. Baju dicucikan. Makan tinggal suap. Tas dan buku peray sajo.” Katanya berapi-api. Abdi mengangguk saja sembari mencerna setengah tak percaya. Dari penjuru Indonesia paling timur, datanglah sosok anak muda bermata tajam, Teuku Faisal, anak Yatim Piatu yang tak sangka menyangka masuk sekolah Pamong Praja itu. Hanya Abdul Rohman saja, pemuda asal Solo yang mati-matian berjuang lulus masuk STPDN. Maklum tubuhnya yang gembrot memaksa ia jauh-jauh tahun untuk mengecilkan lingkar perutnya. Abdul lari saban pagi, keliling taman Swedari Solo sampai berpeluh-peluh. Perutnya tak kunjung menciut, tapi ia berhasil melangkah, memasuki gerbang STPDN.
Kisah yang mereka peroleh ketika bertemu para senior tak sepenuhnya meninggalkan goresan luka. Tak semua senior berlaku garang. Kisah-kisah manis juga kerap mereka kecap di kampus yang berada di kaki Gunung Manglayang. Bahkan Abdi bertemu dengan gadis Makasar yang membuat hatinya berkibar-kibar tiap bola matanya bersirobok dengan mata sang gadis. Namun yang paling mengesankan bagi Abdi adalah persahabatan yang terajut indah akibat perasaan senasib dengan rekan-rekannya. Ego kedaerahan mereka singkirkan jauh, diganti dengan rasa bersimpati satu dengan lainnya.

*****
 Demikian sekilas tentang Novel Sang Abdi Praja. Novel ini saya tulis berdasarkan kejadian nyata yang saya alami selama menempuh pendidikan di STPDN dari tahun 1995-1999. Masa-masa dalam era Orde Baru. Saya akui kekerasan memang terjadi disana, tetapi bukanlah sehoror yang terbayang dalam benak kita tatkala media gencar-gencarnya menyoroti kasus kematian Wahyu Hidayat (2003) maupun Cliff Muntu (2007). Imej terbentuk seakan praja (mahasiswa) STPDN dari bangun pagi hingga kembali tidur hanya penyiksaan semata. Banyak kisah-kisah positif yang tak terungkap, namun demikian saya juga tak menutup-nutupi kisah kekerasan yang memang terjadi disana. Saya coba sajikan berimbang. Sehingga publik dapat menilai, apa yang perlu dibenahi demi mencetak para Pamong Praja yang handal dan professional serta mampu memberikan pelayanan dan pengabdian demi kepentingan masyarakat dan Negara RI.
Selain itu, novel ini diharapkan dapat menggugah semangat nasionalisme yang mesti kita akui mulai menipis dalam sanubari para pelayan Negara ini. Semoga.
Novel ini saya garap di penghujung Oktober 2011 hingga awal September 2012. Tanggal 4 September 2012. 

*****

*Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Juni 2013. Editor : Mirna Yulistianti