Minggu, 26 Januari 2014

UU ASN, BIG BANG SISTEM BIROKRASI INDONESIA*

                 
                       
 
Teori Big Bang (Ledakan Dahsyat), sebagaimana yang dikemukakan oleh George Lemaitre pada tahun 1927, mengungkapkan bahwa dalam sekejab, ledakan maha besar dari sebuah massa super  padat dan panas, telah memicu kelahiran galaksi-galaksi seperti yang ada sekarang ini. Diperkirakan, Big Bang tersebut terjadi 13,5 miliar tahun lalu. Namun saya tak bermaksud membahas tentang asal muasal jagad raya, terbentuknya alam semesta, komet, planet, matahari bintang atau bulan. Sebagai praktisi pemerintahan, saya lebih tertarik deskripsikan perubahan besar yang dalam tempo singkat akan  terjadi dalam tubuh birokrasi Indonesia. 
Big bang di lingkungan manajemen kepegawaian negeri ini dimulai pasca ditandatangani Undang-Undang Aparatur Sipil Negara oleh Presiden SBY pada tanggal 15 Januari 2014 (sebelumnya RUU ASN disahkan oleh DPR RI tanggal 19 Desember 2013), maka Undang-undang nomor 5 tahun 2014 ini pun telah berlaku penuh.
Semenjak 2 tahun lalu, saat Rancangan UU ASN diajukan oleh Kementerian PAN-RB ke Komisi II DPR RI, saat itu pula para PNS antusias, menaruh perhatian pada pasal-pasal dalam draft UU tersebut. RUU ASN pun menjadi trending topic dalam sejumlah komunitas PNS di media sosial. Harapan besar tertompang dari para birokrat tersebut, agar UU ASN menjadi solusi dari segala hingar-bingar permasalahan yang mereka hadapi.
Beberapa permasalahan seperti politisasi PNS, jenjang karir tak jelas, pengembangan kompetensi dan kepangkatan yang tak tentu arah sebagai akibat dari acuan penilaian kinerja PNS yang lebih berdasar kepada like and dislike dari pimpinan, hingga masalah hukum yang tak bisa dihindari PNS terkait pelaksanaan tugasnya. Segala dilema tersebut, yang belum tercover dalam UU 43 tahun 1999, telah terjawab dalam UU 5 tahun 2014.
Dalam UU 5/2014 ini, Aparatur Sipil Negara (ASN) terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Keduanya berhak mendapatkan gaji, tunjangan, cuti, dan pengembangan kompetensi. Yang membedakan hanyalah soal faslitas, jaminan hari tua dan jaminan pensiun, PNS mendapatkannya sedangkan PPPK tidak.
Big Bang lainnya, terjadi pada perubahan manajemen ASN yakni dengan munculnya lembaga non-struktural baru yakni Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang memiliki kewenangan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan manajemen ASN, serta pengawasan terhadap penerapan asas, kode etik, dan perilaku ASN. Dalam draft awal RUU ASN, KASN memiliki kewenangan eksekusi, dapat membatalkan dan memberikan sangsi terhadap pelaksanaan kebijakan yang melanggar kode etik, seperti pengangkatan pejabat yang tidak melalui prosedur. Namun, entah mengapa, fungsi KASN “hanya” melakukan pengawasan, mengevaluasi dan melaporkan bilamana menemukan kejanggalan dalam pembinaan ASN kepada presiden.
Selain itu, PNS dapat berpindah antar dan antara Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi, dan Jabatan Fungsional di Instansi Pusat dan Instansi Daerah, bahkan PNS dapat diangkat dalam jabatan tertentu pada lingkungan instansi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara RI dengan demikian pangkat atau jabatannya disesuaikan dengan pangkat dan jabatan di lingkungan instansi TNI dan Polri.
Berikutnya, mengenai pengembangan kompetensi bagi PNS juga lebih detail gamblang diutarakan UU ASN. PNS diberikan kesempatan untuk melakukan praktik kerja di instansi lain, baik pusat atau daerah, dalam waktu paling lama 1 tahun. Bahkan, pengembangan kompetensi juga dapat dilakukan melalui pertukaran antara PNS dengan pegawai swasta dengan waktu juga maksimal 1 tahun.
Perubahan yang paling banyak mendapat respon dari para abdi Negara dan abdi masyarakat ini adalah perubahan Batas Usia Pensiun (BUP) yang sebelumnya 56 tahun menjadi 58 tahun (bagi Pejabat Administrasi) dan 60 tahun (bagi Pejabat Pimpinan Tinggi).
Terkait semua perubahan besar tersebut, sejumlah produk hukum sebagai konsekwensi turunan lahirnya UU ASN ini langsung dikebut oleh Kementerian PAN-RB. Menurut rilis yang dikeluarkan Humas Kementerian PAN-RB, ada 19 Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan 4 Rancangan Perpres yang akan menjabarkan detail UU 5/2014, yakni RPP yang berkaitan tentang : 1. Administrasi dan Kompetensi PNS, 2. Jabatan Fungsional PNS, 3. Jabatan Pimpinan Tinggi PNS, 4. Pengisian Jabatan ASN Tertentu dari TNI dan Polri, 5. Hak dan Kewajiban Pegawai ASN, 6. Tata Cara Penyusunan dan Penetapan Kebutuhan Jumlah dan Jenis Jabatan PNS, 7. Pengadaan dan Tata Cara Sumpah / Janji PNS, 8.  Pangkat dan Jabatan PNS, 9. Pengembangan Karier, Pengembangan Kompetensi, Pola Karier, Promosi dan Mutasi PNS, 10. Tentang Penilaian Kinerja PNS, 11. Gaji, Tunjangan Kinerja, Tunjangan Kemahalan dan Fasilitas Lain PNS, 12. Disiplin PNS, 13. Pemberhentian, Pemberhentian Sementara dan Pengaktifan kembali PNS, 14. Pengelolaan Program Jaminan Pensiun PNS, 15. Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, dan Bantuan Hukum Pegawai PNS, 16. Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. 17. PNS yang Diangkat Sebagai Pejabat Negara, 18. Korps Pegawai PNS, dan 19. Upaya Administratif dan Badan Pertimbangan Pegawai ASN.
Sedangkan 4 Rancangan Peraturan Presiden yakni tentang : 1. Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi, Wewenang dan Tanggung Jawab Komisi Aparatur Sipil Negara, 2. Tugas, Fungsi dan Kewenangan Lembaga Administrasi Negara, 3. Tugas, Fungsi, dan Kewenangan Badan Kepegawaian Negara, dan 4. Jenis Jabatan yang Dapat Diisi oleh Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja.    
Perubahan besar dalam tubuh birokrasi tak hanya sebatas peraturan perundangan belaka. Mimpi agar PNS ke depan, dapat bekerja secara professional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, bukan saja mimpi segelintir birokrat, namun itu semua adalah cita-cita kita semua. Perlu aksi dan tekad nyata bersama dalam mewujudkannya.

*****

*terbit di Harian Padang Ekspres, Rabu 22 Januari 2014







Senin, 20 Januari 2014

Sinopsis Novel Sang Abdi Praja*





Novel ini berkisah tentang lima orang pemuda dari seluruh pelosok nusantara dengan berbagai latar kehidupan mereka masing-masing. Namun garis tangan menyatukan mereka di STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri) yang berada di Jatinangor. Sejak tahun 2004, STPDN menjadi IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri).

Pemuda pertama adalah Berney Tambonop, pemuda Merauke- Papua yang tak terpikir sama sekali untuk jadi pegawai kantoran. Ia malah bersikeras ingin menjadi pelaut seperti ayahnya. Lalu ada Guntoro yang berasal dari jawa timur demikian pula, ia malah pernah kabur dari rumah demi mengelakkan tes masuk STPDN. Abdi Praja, pemuda asal Pariaman –Sumatera Barat hanya mempeturutkan arus, ia ikut saja apa kata apaknya yang berciloteh hebatnya sekolah di Bandung, “tak membayar, wa’ang malah digaji. Baju dicucikan. Makan tinggal suap. Tas dan buku peray sajo.” Katanya berapi-api. Abdi mengangguk saja sembari mencerna setengah tak percaya. Dari penjuru Indonesia paling timur, datanglah sosok anak muda bermata tajam, Teuku Faisal, anak Yatim Piatu yang tak sangka menyangka masuk sekolah Pamong Praja itu. Hanya Abdul Rohman saja, pemuda asal Solo yang mati-matian berjuang lulus masuk STPDN. Maklum tubuhnya yang gembrot memaksa ia jauh-jauh tahun untuk mengecilkan lingkar perutnya. Abdul lari saban pagi, keliling taman Swedari Solo sampai berpeluh-peluh. Perutnya tak kunjung menciut, tapi ia berhasil melangkah, memasuki gerbang STPDN.
Kisah yang mereka peroleh ketika bertemu para senior tak sepenuhnya meninggalkan goresan luka. Tak semua senior berlaku garang. Kisah-kisah manis juga kerap mereka kecap di kampus yang berada di kaki Gunung Manglayang. Bahkan Abdi bertemu dengan gadis Makasar yang membuat hatinya berkibar-kibar tiap bola matanya bersirobok dengan mata sang gadis. Namun yang paling mengesankan bagi Abdi adalah persahabatan yang terajut indah akibat perasaan senasib dengan rekan-rekannya. Ego kedaerahan mereka singkirkan jauh, diganti dengan rasa bersimpati satu dengan lainnya.

*****
 Demikian sekilas tentang Novel Sang Abdi Praja. Novel ini saya tulis berdasarkan kejadian nyata yang saya alami selama menempuh pendidikan di STPDN dari tahun 1995-1999. Masa-masa dalam era Orde Baru. Saya akui kekerasan memang terjadi disana, tetapi bukanlah sehoror yang terbayang dalam benak kita tatkala media gencar-gencarnya menyoroti kasus kematian Wahyu Hidayat (2003) maupun Cliff Muntu (2007). Imej terbentuk seakan praja (mahasiswa) STPDN dari bangun pagi hingga kembali tidur hanya penyiksaan semata. Banyak kisah-kisah positif yang tak terungkap, namun demikian saya juga tak menutup-nutupi kisah kekerasan yang memang terjadi disana. Saya coba sajikan berimbang. Sehingga publik dapat menilai, apa yang perlu dibenahi demi mencetak para Pamong Praja yang handal dan professional serta mampu memberikan pelayanan dan pengabdian demi kepentingan masyarakat dan Negara RI.
Selain itu, novel ini diharapkan dapat menggugah semangat nasionalisme yang mesti kita akui mulai menipis dalam sanubari para pelayan Negara ini. Semoga.
Novel ini saya garap di penghujung Oktober 2011 hingga awal September 2012. Tanggal 4 September 2012. 

*****

*Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Juni 2013. Editor : Mirna Yulistianti

PENATAAN BIROKRASI Mencermati PP no 84 thn 2000,PP No 8 thn 2003 dan PP no 9 thn 2003*





UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan langkah awal yang signifikan dalam hal keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Daerah dituntut untuk peka dalam menghadapi perkembangan keadaan serta tantangan yang harus segera diantisipasi sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, partisipasi masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah, yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berbagai peraturan pemerintah (PP) ditetapkan guna menjabarkan lebih lanjut beberapa ketentuan pasal di dalam UU  22/1999. Salah satu PP yang muncul dalam rangka pelaksanaan pasal 68 ayat (1) undang- undang otonomi daerah tersebut adalah PP 84/2000 yang kemudian baru-baru ini diganti dengan PP 8 /2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.
Penggantian PP 84/2000 disebabkan tidak relevannya PP tersebut dengan keadaan dan perkembangan penataan pemerintahan daerah yang selanjutnya mendesak kelahiran PP no 8/2003. Namun bila dikaji lebih mendalam terhadap pasal-pasal kedua PP tersebut, maka terlihat pemerintah pusat bertujuan untuk mengadakan pemangkasan birokrasi yang dinilai terlalu gemuk akibat adanya PP 84/2000.
Perampingan struktur pemerintah tersebut dapat terlihat pada pasal-pasal di dalam PP 8 thn 2003. Terdapat penekanan terhadap jumlah maksimal pejabat birokrat yang duduk dalam tiap-tiap tingkatan eselon pada lingkungan sekretariat daerah propinsi/kabupaten/kota, dinas darah propinsi/kabupaten/kota, kecamatan hingga kelurahan.
Penataan Birokrasi sebagaimana judul opini saya kali ini tidak dapat disinonimkan dengan perampingan organisasi perangkat daerah sebagaimana tercantum dalam PP 8/2003. Sebagian organisasi perangkat daerah akan lebih berdaya dan berhasil guna bila memiliki sejumlah personil yang sedikit dan anggaran yang minimal, sementara  sebagian lainnya tidak demikian. Tetapi penataan birokrasi seharusnya mencari keterpaduan atau ramuan yang tepat agar dihasilkan suatu pelayanan yang efektif dan efisien serta kemampuan tiap personil yang dapat segera melakukan inovasi terhadap perubahan sosial (social change) yang terjadi dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat. Aspek spasial dan penduduk merupakan faktor utama juga dalam menentukan ramuan yang tepat untuk ukuran pemda.
Untuk melakukan penataan birokrasi seharusnya tetap mempertimbangkan aspek spasial di mana organisasi tersebut berada. James J Heaphey melihat bahwa dalam berbagai telaahan para ahli, analisis  terhadap kebijakan seringkali melupakan aspek spasial (dimensi ruang). Aspek spasial tidak hanya dibutuhkan oleh perencana bidang fisik saja dan tidak dapat bersinonim dengan pengertian perencanaan tata ruang maupun perencanaan umum yang akan berujung  pada siapa saja yang melaksanakan atau mewujudkan rencana tersebut. Namun lebih utama dari itu, secara spesifik di sini, dimensi spasial harus terlebih dahulu diperhitungkan dalam pengambilan keputusan. Hal ini pun selayaknya menjadi perhitungan dalam penataan birokrasi.
Kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks terhadap pelayanan para birokrat, tentunya memiliki perbedaan secara spasial atau geografis. Keadaan geografis dari pemda akan menentukan karakter masyarakat, administrasi, ekonomi  dan budayanya. Suatu daerah industri yang bersifat urban akan membutuhkan suatu bentuk Pemda yang dapat memenuhi kebutuhan perkotaan. Sedangkan daerah yang bersifat agraris sebagai mata pencarian utama akan menjadikan daerah tersebut bersifat rural, sehingga suatu bentuk pemda yang bersifat rural dibutuhkan.
Hendaknya dalam penataan birokrasi, aspek spasial harus tetap diperhatikan. Karena beranjak dari sanalah, dekonsentrasi dan desentralisasi menjadi sebuah instrumen yang berharga. Dengan kata lain, bila tidak memandang aspek spasial maka tidak akan ada  sistem dekonsentrasi dan desentralisasi yang menjadi ciri pokok otonomi daerah. Bowman & Hampton (1983) menyatakan bahwa tiada satupun pemerintah dari suatu negara dengan wilayah yang luas dapat menentukan kebijakan secara efektif ataupun dapat melaksanakan kebijakan dan program-programnya secara efisien melalui sistem sentralisasi. Dari pandangan ini kita dapat melihat keterkaitan dari kebutuhan akan dekonsentrasi dan desentralisasi dari pemerintah pusat dalam konotasi politis maupun administratif kepada organisasi perangkat daerah.
Dikaitkan dengan PP 8/2003 dan bila dibandingkan dengan PP sebelumnya PP 84/2000, maka pemerintah pusat seakan membatasi kewenangan daerah dalam hal menentukan jumlah kapasitas organisasi perangkat di daerah serta penentuan jumlah pejabat birokrasi yang dapat menduduki eselonering di tiap-tiap organisasi perangkat daerah. Perubahan paradigma tersebut akan dijelaskan dengan jenis-jenis sistem kepegawaian Pemda.
Jenis-Jenis Sistem Kepegawaian Pemda
Jenis-jenis sistem kepegawaian pemda menurut  United Nation (1966) berikut ini akan mempermudah pemahaman kita menganai terjadinya perubahan terhadap PP organisasi perangkat daerah tersebut.
  1. Tipe pertama adalah Separate Personnel System (SPS). Dalam sistem ini setiap pemda mempunyai kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pegawainya dan pegawai tidak dapat di transfer ke pemda lainnya, kecuali komitmen antar pemda. Kemudian setiap pemda mengatur sistem karier kepegawaiannya sendiri dan dapat membuat kebijakan secara otonom. SPS dipakai secara luas di Negara-negara bagian USA, Perancis, Inggris, Brazil.
  2. Tipe kedua adalah Unified Personnel System (UPS). Semua urusan kepegawaian daerah dari suatu negara untuk semua tingkatan atau pun hanya tingkatan-tingkatan tertentu dilakukan oleh suatu badan di tingkat nasional yang dibentuk untuk keperluan tersebut. Pengangkatan, promosi, tranfer  dan pemberhentian pegawai pemda dilakukan oleh suatu badan tersebut. Sistem ini pertama kali di kembangkan di Irlandia. Negara-negara lain yang memakai sistem ini adalah Sri lanka, Jamaika, Thailand, Tanzania dan beberapa Negara bagian di India dan Nigeria.
  3. Tipe ketiga adalah Integrated Personnel System (IPS). Semua pegawai baik pegawai daerah maupun pusat diatur oleh pemerintah pusat. Sistem ini memungkinkan  pegawai pindah dari pusat ke daerah dan sebaliknya. Sistem ini umumnya dipakai pada Negara-negara yang mempunyai karakter sentralisasi yang kuat. Ciri utama adalah adanya kemungkinan transfer pegawai baik secara vertical, dari pemda ke pempus maupun horizontal, dari satu daerah ke daerah lainnya. Sistem karir secara nasional baik untuk pegawai pusat dan daerah diatur secara uniform. Segala peraturan kepegawaian dari recruitment, penempatan, penggajian, pensiun, tindakan disiplin sampai pemberhentian ada di tangan pusat. Namun konsultasi juga diadakan dengan pemda yang bersangkutan. Umumnya gaji dibayar oleh pemda berdasarkan subsidi dari pusat.
Negara – negara yang diketahui memakai sistem ini dengan perbedaan-perbedaan kecil di dalamnya adalah Taiwan, Uni Emirat Arab, Maroko, Nepal , Pakistan dan Equador.
Relevansi Terhadap Organisasi Perangkat Daerah
Pada PP 84/2000, sistem kepegawaian daerah lebih cenderung mengarah kepada SPS. Hal ini terlihat pada diberikannya keleluasaan  kepada Pemda untuk menentukan jumlah jabatan dalam organisasi perangkat daerah, dengan syarat dibentuk berdasarkan pertimbangan-pertimbangan : kewenangan pemerintah  yang dimiliki oleh daerah, karakteristik, potensi dan kebutuhan daerah, kemampuan keuangan daerah, ketersediaan sumber daya aparatur dan pengembangan kerjasama antara daerah dengan pihak ketiga.
Sedangkan pada PP no 8/2003, sistem kepegawaian yang diterapkan lebih condong kepada IPS. Terlihat dengan adanya ketentuan pasal-pasal yang menetapkan bahwa kapasitas organisasi perangkat daerah ditentukan jumlah sebanyak-banyaknya oleh pemerintah pusat. Sehingga pemda membentuk organisasi perangkat daerah kurang atau sama dengan jumlah perangkat daerah yang telah ditentukan.
Fenomena baru yang dinilai lebih cenderung menganut sistem kepegawaian UPS yakni dengan ditetapkannya PP 9/2003 tentang wewenang pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS. Pengaturan mengenai pengangkatan dan pemberhentian sebelumnya telah ditetapkan dalam pasal 19 dan 20, PP no 84/2000.
Dalam pasal 19 PP 84/2000, dalam lingkup propinsi maka menjadi kewenangan gubernur untuk pengangkatan dan pemberhentian pejabat eselon I dan II. Sedangkan pejabat eselon III ke bawah, sekretaris daerah propinsi (sekdaprop) mendapat pelimpahan kewenangan dari gubernur. Demikian pula dalam hal pengangkatan dan pemberhentian sekdaprop dilakukan oleh gubernur atas persetujuan pimpinan DPRD Propinsi.
Selanjutnya pada pasal 20 PP 84/2000 dalam lingkup kabupaten/kota maka menjadi kewenangan bupati/ walikota untuk pengangkatan dan pemberhentian pejabat eselon II dan III. Sedangkan pejabat eselon IV ke bawah, sekda kabupaten /kota mendapat pelimpahan kewenangan dari bupati/walikota. Demikian pula dalam hal pengangkatan dan pemberhentian (sekdakab/kota) dilakukan oleh bupati/walikota atas persetujuan DPRD kab/kota.
Kedua pasal di atas telah dinyatakan tidak berlaku seiring dengan ditetapkannya PP 8 /2003. Sedangkan ketentuan mengenai pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS diatur kembali dalam PP 9 /2003 di mana peran Badan Kepegawaian Negara kembali dimunculkan. Hal ini semakin menguatkan bahwa sistem kepegawaian UPS dipergunakan di sini.
Tujuan yang menjadi hal mendasar terhadap berbagai perubahan ketetapan PP tersebut adalah usaha peningkatan kinerja birokrat untuk menyerap kebutuhan masyarakat san penemuan bentuk pelayanan yang efektif, efisien dan akuntabel di mata masyarakat.
Kinerja dalam pelayanan berarti sejauh mana efisiensi dan efektifitas serta akuntabilitas pelayanan telah dicapai. Menilai efisiensi dengan melihat biaya yang dikeluarkan dibandingkan dengan benefit yang dihasilkan. Efektifitas dilihat melalui ketepatan atau hasil pelayanan. Sedangkan akuntabilitas berkaitan dengan sejauhmana respons masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan.
Untuk menilai kinerja birokrat maka diperlukan penilaian terhadap prestasi yakni dengan membandingkan antara hasil yang telah dicapai dengan target atau sasaran yang harus dicapai. Jadi pengukuran peningkatan kinerja tiap personil birokrasi yakni dengan mempertanyakan sejauhmana tujuan telah dicapai.
Memang perubahan prilaku serta budaya birokrat dalam meningkatkan kinerja mereka menjadi suatu hal yang esensial untuk dilaksanakan. Namun perubahan budaya atau kultur yang diharapkan tersebut tidak efektif bila tidak didahului  dengan penetapan tujuan organisasi perangkat daerah, menajemen pemerintahan, akuntabilitas terhadap masyarakat, serta pengendalian terhadap kinerja birokrat.

*******
 *Telah Terbit di Harian Pagi Singgalang, Senin, 24 Maret 2003

KERJASAMA DAERAH ; SEBUAH PELUANG PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT*






Penyelenggaraan pemerintahan di Negara Kesatuan Republik Indonesia  menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan (medebewind) dengan menggunakan prinsip otonomi yang seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab. Melalui asas desentralisasi kewenangan Pemerintahan diserahkan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat dengan tujuan  peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Ada berbagai keharusan daerah agar peningkatan kesejahteraan masyarakat terwujud sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, salah satunya adalah bahwa daerah harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya daerah dituntut untuk mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah serta perselisihan antar daerah dalam koridor keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kerja sama daerah merupakan wahana dan sarana untuk lebih memantapkan hubungan dan keterikatan daerah yang satu dengan daerah yang lain dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, menyerasikan pembangunan daerah, mensinergikan potensi antar daerah dan/atau dengan pihak ketiga serta meningkatkan pertukaran pengetahuan, teknologi dan kapasitas fiscal. Melalui kerja sama daerah juga diharapkan dapat mengurangi kesenjangan daerah dalam penyediaan pelayanan umum khususnya yang ada di wilayah terpencil, perbatasan antar daerah dan daerah tertinggal sebagaimana dimaksudkan PP Nomor 50 tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah. Intinya daerah harus memiliki inisiatif untuk membaca potensi daerahnya -sebagaimana urusan wajib maupun pilihan yang telah menjadi kewenangannya- yang dapat dikembangkan melalui kerjasama daerah dan/atau pihak ketiga yang pada hakikatnya demi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Inisiatif Pemerintah Daerah untuk melaksanakan kerjasama bahkan telah diprakarsai  sebelum ditetapkannya PP nomor 50 tahun 2007, artinya dengan hanya  mempedomani Undang-undang nomor 32 tahun 2004, daerah telah berinisiatif untuk melakukan perjanjian kerjasama dengan daerah lainnya dan/atau pihak ketiga oleh karena desakan hati nurani untuk segera mensejahterakan masyarakatnya.
Beberapa kesepakatan bersama (memorandum of understanding, MoU) yang telah dilakukan di antaranya adalah mengenai peningkatan pendayagunaan potensi daerah perbatasan yang ditandatangi oleh lima Gubernur dari Sumatera dan Menteri Dalam Negeri pada hari senin 7 Agustus 2006 di aula Departemen Dalam Negeri, Jakarta. Lima Gubernur tersebut adalah, Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi, Gubernur Riau Rusli Zainal, Gubernur Jambi Tengku Rizal Nurdin, Gubernur Bengkulu Agusrin M.Najamudin, dan Gubernur Sumatera Utara Rudolf Pardede. MoU tersebut bertujuan untuk mengatasi munculnya masalah konflik perbatasan, perebutan sumber daya alam diperbatasan, tumpang tindih pengeluaran perizian pengelolaan hasil alam, konflik sosial masyarakat, dan ketertiban umum kurang terorganisasi.
Pemerintah Daerah Propinsi Sumbar juga telah mampu memfasilitasi penjajakan hubungan kerjasama antara Bupati dan Walikota di Sumatera Barat melalui kesepakatan bersama tentang Kerjasama Antar Pemerintah Daerah dalam rangka peningkatan kapasitas ruas jalan dari Duku sampai batas Riau, serta melaksanakan pengembangan kerjasama daerah Kabupaten/ Kota melalui rencana pengembangan kawasan perbatasan Kabupaten/Kota se-SumateraBarat, yang telah ditandatangani di Padang pada tanggal 13 Juni 2005. Kepala daerah terkait itu adalah Bupati  Padang Pariaman, Tanah Datar, Agam, 50 Kota, Walikota Padang Panjang, Bukittinggi dan Payakumbuh.
Berbagai inisiatif kerjasama oleh masing-masing kepala daerah seperti mengoperasikan kembali Kereta Api Wisata antara Pemerintah Kota Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Padang dengan melibatkan pihak Ketiga yakni PT KAI yang dioperasikan pada tanggal 15 Februari 2007, mengenai pembiayaan operasional ditanggung oleh ketiga daerah hingga mencapai 100 juta perbulannya. Selanjutnya ada juga kerjasama antara Departemen Hukum dan HAM dengan Pemerintah Kota Sawahlunto untuk mendirikan Panti Rehabilitasi NARKOBA, serta masih banyak lagi daerah yang berinisiatif untuk memulai memprakarsai kerjasama daerah-daerah maupun dengan pihak ketiga. Namun pada intinya dalam melakukan kerjasama perlu dipedomani prinsip-prinsip kerjasama daerah agar tujuan yang dicapai benar-benar memberikan manfaat bagi daerah masing-masing.
 Prinsip Kerjasama Daerah
Pelaksanaan kerjasama daerah sebagaimana PP nomor 50/2007 harus memenuhi Prinsip-prinsip sebagai berikut :
a.       Efisiensi; adalah upaya pemerintah daerah melalui kerja sama untuk menekan biaya guna memperoleh suatu hasil tertentu atau menggunakan biaya yang sama tetapi dapat mencapai hasil yang maksimal.
b.      Efektivitas; adalah upaya pemerintah daerah melalui kerja sama untuk mendorong pemanfaatan sumber daya para pihak secara optimal dan bertanggungjawab untuk kesejahteraan masyarakat.
c.       Sinergi; adalah upaya untuk terwujudnya harmoni antara pemerintah, masyarakat dan swasta untuk melakukan kerja sama demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
d.      Saling menguntungkan; adalah pelaksanaan kerja sama harus dapat memberikan keuntungan bagi masing-masing pihak dan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.
e.       Kesepakatan bersama; adalah persetujuan para pihak untuk melakukan kerja sama.
f.       Itikad baik; adalah kemauan para pihak untuk secara sungguh-sungguh melaksanakan kerja sama.
g.      Mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; adalah seluruh pelaksanaan kerja sama daerah harus dapat memberikan dampak positif terhadap upaya mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan masyarakat dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
h.      Persamaan kedudukan; adalah persamaan dalam kesederajatan dan kedudukan hukum bagi para pihak yang melakukan kerja sama daerah.
i.        Transparansi; adalah adanya proses keterbukaan dalam kerja sama daerah.
j.        Keadilan; adalah adanya persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan para pihak dalam melaksanakan kerja sama daerah.
k.      Kepastian hukum; adalah bahwa kerja sama yang dilakukan dapat mengikat secara hukum bagi para pihak yang melakukan kerja sama daerah.
Prinsip-prinsip tersebut di atas juga merupakan pedoman bagi DPRD dalam pemeriksaan terhadap rancangan kerjasama daerah yang pembiayaannya akan membebani anggaran APBD tahun berjalan. Bila rancangan kerjasama daerah tersebut tidak memenuhi prinsip-prinsip kerjasama, maka DPRD dapat mengembalikan rancangan kerjasama dengan memberikan saran dan masukan penyempurnaan rancangan perjanjian kerjasama kepada kepala daerah. Dan selanjutnya rancangan yang disempurnakan tersebut dapat disetujui DPRD untuk ditandatangani Kepala Daerah. Namun yang menjadi permasalahan yakni ketika masing-masing DPRD pada daerah yang melakukan kerjasama memiliki persepsi yang berbeda dalam memahami prinsip yang terkandung pada rancangan Perjanjian kerjasama tersebut walaupun masing-masing kepala daerah telah saling memahami terhadap isi perjanjian. Hal ini tentu tidak dapat dihindari sebagai sesuatu yang dapat dimaklumi, untuk itu diperlukan kearifan bagi masing-masing daerah untuk lebih melihat tujuan kerjasama dari pada mempertahankan egoisme masing-masing daerah.  
Pemenuhan Kepentingan Daerah
Tidak ada daerah yang dapat berkembang sendiri tanpa dukungan maupun keberadaan daerah yang lainnya. Sebagai contoh, pasar atas Bukittinggi tidak akan berkembang bila tanpa adanya pasokan bordiran mukenah dari Pariaman, pasokan kerajinan tangan dari Agam dan Payakumbuh, atau pasokan ternak dari Lima Puluh Kota dan Tanah Datar serta Ikan segar dari Padang maupun beras pulen dari Solok. Demikian pula dengan WaterBoom Di Sawahlunto, yang tidak mungkin ramai kalau hanya dikunjungi oleh warganya saja, dan penjual buah markisa di gunung talang yang kebanjiran pembeli sejak dibukanya Waterboom Sawahlunto. Semua daerah saling memiliki keterkaitan dan keterikatan satu sama lainnya, dan tanpa disadari –atau tanpa tidak disadari-   ada peluang kerjasama agar pengembangan potensi yang dimiliki tidak tumpang tindih dengan potensi daerah lainnya. Untuk itu diperlukan kerjasama daerah.
Tentunya dalam melaksanakan suatu kerjasama antara dua pihak atau lebih harus diperhitungkan hasil atau manfaat yang didapatkan dari hubungan kerjasama tersebut. Tidak mungkin salah satu pihak ingin dirugikan dalam hasil akhir dari kerjasama itu, masing-masing pihak yang melakukan kerjasama dapat dipastikan memiliki kepentingan yang harus dipenuhi dan diperoleh dari hubungan kerjasama.
Kepentingan daerah yang paling umum sebagai alasan dilakukannya kerja sama adalah untuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah (uang), selain jasa maupun barang/asset, selain itu daerah juga berkepentingan agar dalam membangun sarana dan prasarana public di daerahnya akan semakin terkonsolidasi. Dapat dibayangkan apa yang terjadi bila masing-masing daerah yang bertetangga membangun sebuah rumah sakit bertaraf international, atau bersaing dalam membangun water boom atau objek wisata yang sejenis. Memang dalam era otonomi daerah wajar-wajar saja bila setiap daerah memacu pertumbuhan daerahnya dengan segala potensi yang dimilikinya, namun alangkah lebih indahnya bila masing-masing daerah memiliki ciri khas dan potensi unggulan yang saling menopang dan mendukung kehidupan ekonomi daerah tetangganya, bukannya malah saling bersaing dengan ego kedaerahan sendiri-sendiri. Untuk itu, program ‘one village one product’ hendaknya perlu menjadi pemikiran kembali guna mensiasati dan menghindari terjadinya keseragaman produk unggulan dari masing-masing daerah.
Dalam  menghindari sifat egoisme daerah tersebut dibutuhkan peran propinsi untuk menjadi fasilitator dan peran pemerintah bila kerjasama yang dilaksanakan menyangkut propinsi terkait. Selain itu Pemerintah Propinsi juga dapat bertindak sebagai innovator dan motivator dalam membangun kerja sama antar daerah di Propinsinya, tanpa menunggu prakarsa dari masing-masing daerah untuk memulai.
Kerjasama daerah juga merupakan solusi atas masalah beban pembiayaan yang begitu berat bagi suatu daerah, sehingga pembiayaan dan resiko dapat ditanggung oleh daerah yang melakukan kerjasama menjadi lebih ringan. Namun bila demikian halnya mengapa setiap daerah belum mengoptimalkan kerjasama daerah demi peningkatan kesejahteraan masyarakatnya ?
Hambatan Kerjasama Daerah
Beberapa hambatan yang mengakibatkan belum optimalnya dilaksanakan kerjasama daerah adalah :
  1. Belum tergalinya potensi yang dimiliki oleh daerah, sehingga daerah belum mengenal sejauhmana kemampuan daerahnya dalam memanfaatkan potensi yang dimiliki.
  2. Pemerintah daerah belum memahami urusan-urusan yang menjadi kewenangannya yang dapat dijadikan objek kerjasama, dan subjek yang akan diajak melakukan kerjasama serta manfaat yang didapatkan sebagai hasil dari kerjasama.
  3. Egoisme kedaerahan yang selalu ingin mendominasi dan merasa sebagai daerah yang lebih superior sehingga beranggapan tidak perlunya kerjasama dengan daerah lain, toh permasalahan dapat diselesaikan secara internal daerahnya sendiri.
  4. Ketakutan akan justru terjadinya konflik antar daerah atau perselisihan dan kerugian bila hasil kerjasama ternyata melenceng dari harapan.
  5. Political will maupun produk hukum yang dibuat oleh kepala daerah dan DPRD yang   tidak sejalan dengan semangat kerjasama daerah.
Mengatasi kebuntuan akan pelaksanaan kerjasama daerah, maka pemerintah melalui PP 50/2007 memberikan acuan jelas mengenai pelaksanaan kerjasama daerah yakni sebagai berikut :
1.           Kerjasama daerah harus dituangkan dalam bentuk perjanjian kerjasama dengan memperhatikan prinsip-prinsip kerjasama.
2.           Salah satu kepala daerah dapat memprakarsai kerjasama dan selanjutnya membuat sebuah rancangan perjanjian kerjasama yang memuat antara lain :  subjek kerja sama, objek kerja sama, ruang lingkup kerja sama, hak dan kewajiban para pihak, jangka waktu kerja sama, pengakhiran kerja sama, keadaan memaksa dan  penyelesaian perselisihan.
3.           Rencana kerjasama daerah yang membebani daerah dan masyarakat harus mendapat persetujuan dari DPRD apabila biaya belum teranggarkan dalam APBD tahun berjalan.
4.           Kerjasama daerah yang dilakukan dalam satu propinsi terjadi perselisihan dapat diselesaikan dengan cara musyawarah ataupun melalui keputusan gubernur.
5.           Kerjasama daerah tidak berakhir karena pergantian kepala daerah, artinya bahwa kerjasama darah dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan jangka waktu yang diatur dalam perjanjian kerjasama dan tidak terpengaruh oleh adanya pergantian kepala daerah.
6.           Masing-masing kepala daerah yang terkait dapat membentuk Badan Kerjasama daerah secara bersama dalam hal membantu kepala daerah melaksanakan kerjasama daerah yang membutuhkan waktu paling sedikit lima tahun, dengan pembiayaan ditanggung bersama sesuai perjanjian kerjasama. Namun Badan kerjasama bukan termasuk perangkat daerah atau di luar SOTK Pemerintah daerah.
Kerjasama Daerah-Luar Negeri
Dari 28 pasal pada PP nomor 50/2007 hanya mengatur hubungan teknis pelaksanaan kerjasama daerah dalam lingkup kesepakatan antara gubernur dengan gubernur atau gubernur dengan bupati/walikota atau antara bupati/walikota dengan bupati/walikota yang lain, dan atau gubernur, bupati/walikota dengan pihak ketiga, hanya itu. lalu bagaimana dengan kerjasama daerah dengan luar negeri ? toh saat ini banyak daerah yang telah berinisiatif melakukan kerjasama dengan luar negeri. Di bidang pertambangan, daerah yang banyak bekerja sama dengan negara luar adalah Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Untuk bidang pariwisata didominasi oleh Bali dan Yogyakarta. Untuk bidang ekonomi-perdagangan, daerah-daerah di Jawa dan Sumatera menjadi incaran negara asing untuk bekerja sama.
Bagaimana bila terjadi perselisihan dalam hubungan kerjasama daerah dan luar negeri ? agaknya PP nomor 50/2007 belum mencermati hal ini. Namun dalam kajian lebih khusus secara umumnya perlunya koordinasi antara daerah yang akan melakukan kerjasama dengan luar negeri kepada Departemen Luar Negeri (menyangkut masalah yuridis, politik, maupun keamanan) disamping berkoordinasi dengan Departemen Dalam Negeri (menyangkut fasilitasi subjek kerjasama) dan Departemen yang terkait (menyangkut fasilitasi objek kerjasama) dengan objek kerjasama serta Pemerintah Propinsi selaku wakil pemerintah di daerah juga harus dilibatkan dalam membuat rencana kerjasama dengan luar negeri tersebut, sehingga bila terjadi perselisihan dapat di atasi oleh pejabat yang berwenang dari masing-masing departemen terkait.
Kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh daerah tentu berbeda. Tergantung dengan paradigma apa daerah memandang potensi yang dimilikinya, bisa saja kelemahan suatu daerah akan diterjemahkan suatu peluang bagi Pemerintahnya demikian pula sebaliknya, sehingga di era otonomi daerah ini yang dibutuhkan bukan Pemerintah Daerah yang hanya menghabiskan APBDnya saja namun Bagaimana Pemerintah Daerah dapat berkreasi dan membuat terobosan baru dan beritikad baik demi mengatasi beratnya beban yang dipikul oleh APBD-nya. Salah satu terobosan itu adalah dengan melaksanakan kerjasama daerah.

*******

*Telah dimuat di Harian Pagi Singgalang, Rabu 28 November 2007