..Sayangnya, istana belum merespons surat keinginan damai dari kelompok
bersenjata Papua itu. Juru bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha, mengatakan
Istana belum menerima surat. Tapi menurut Julian, Presiden Yudhoyono ingin
penyelesaikan Papua menggunakan pendekatan kesejahteraan. “Tidak seperti masa
lalu yang menggunakan pendekatan militer,” ujarnya. (Tempo, Edisi 5-11
September 2011)
Kebijakan
komprehensif non-militeristik menjadi begitu urgen dalam mengatasi konflik
daerah untuk diterapkan. Karena membiarkan pendekatan militer yang dihadapkan
dengan kelompok bersenjata hanya akan menambah korban nyawa yang sebagian besar
penduduk sipil dan tentunya daerah konflik tak akan pernah bisa menikmati kue
pembangunan.
Soal konflik daerah seperti itu bukan saja terjadi di Papua sebagaimana
yang dilakukan OPM (Organisasi Papua Merdeka). Kita juga pernah mendengar sepak
terjang gerakan Fretilin (Frente
Revolucionaria de Timor-Leste Independente) di Timor Timur, Propinsi
Indonesia yang ke-27, yang setelah diadakan referendum pada 30 Agustus 1999
mayoritas penduduknya memilih berpisah dari Indonesia dan lalu menjadi Negara
yang bernama Republica Democratica de Timor Leste. Selanjutnya ada pula RMS,
gerakan separatis di Maluku yang pernah beraksi mengibarkan bendera RMS melalui
tarian cakalele ketika Presiden SBY membuka upacara Hari Keluarga Nasional di
tahun 2007. Kemudian awal Oktober tahun lalu, RMS kembali beraksi, kali ini
John Wattilete (presiden RMS) menuntut ke Pengadilan Belanda untuk menangkap
Presiden SBY terkait pelanggaran HAM terhadap sejumlah aktivis RMS. Atas
tuntutan ini pula, SBY mengurungkan niatnya ke Belanda atas undangan Ratu
Beatrix pada 2010 lalu.
Pergolakan lainnya yang kita kenal adalah GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang alhamdullilah berhasil digagalkan
pemerintah RI dengan berbagai diplomasi dan perundingan. Saat ini NAD
mendapatkan status Otonomi khusus (UU No 18 Tahun 2001) sebagaimana juga yang
diberikan pada Papua (UU No 21 Tahun 2001).
Beberapa daerah lainnya baru-baru ini seperti Desa Mungguk Gelombang di
Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, dan beberapa Kecamatan di Kalimantan Timur
berkeinginan untuk bergabung dengan Malaysia hanya karena acap kali mendapatkan
bantuan Malaysia, dan lebih mudahnya akses ke negeri jiran itu.
Berbagai gejolak ketidak puasan seperti di atas, walaupun berhasil
diredam, tetap saja mengkhawatirkan kita sebagai anak bangsa. Betapa tidak? jerih payah, keringat dan darah
dari perjuangan para pahlawan yang
bercucuran di medan perang demi menyatukan Indonesia, seakan begitu mudahnya
luntur dan pupus hanya karena rasa ketidak-adilan yang dirasakan rakyat.
Kita juga jelas cemas, kalau gejolak ini dibiarkan begitu saja, dianggap
angin lalu, tanpa kebijakan yang jelas, tegas dan terarah, niscaya tidak ada
yang bisa memastikan, kita akan sampai pada masa di mana rakyat Indonesia tidak
dapat lagi dengan lantang dan bangga menyanyikan lagu “Dari Sabang Sampai
Merauke” !!!.
PNS Perekat Persatuan Bangsa
Saya fikir, bahwa salah satu faktor munculnya rasa kecemburuan, tidak
mendapat keadilan serta rasa tidak puas akan perhatian dari pemerintah yang
menimbulkan pemberontakan separatis tersebut yakni karena minimnya pemahaman
terhadap sila ketiga dari Pancasila, “Persatuan Indonesia”. Tentu saja faktor
kesalahan ini tidak saja bergantung pada pundak rakyat yang belum sadar akan
nilai-nilai sila ke-3 Pancasila itu, namun juga peran pemerintah yang belum
sepenuhnya serius menuangkan nilai-nilai Persatuan Indonesia ke dalam hati
rakyat.
Singkatnya, saya melihat peluang pemersatu bangsa itu ada pada PNS
(Pegawai Negeri Sipil). Selama ini baru TNI dan Polri yang secara nyata
mengemban tugas itu. Dalam menunaikan tugasnya, mereka di sebar ke seluruh
pelosok tanah air demi menjaga teritorial, batas negara, serta menjaga keamanan
dan ketertiban masyarakat di daerah, tanpa memandang apakah personil TNI/Polri
tersebut merupakan penduduk asli daerah setempat atau tidak.
Namun PNS tidaklah demikian nyatanya, dalam hal menjalankan tugas
pelayanan terhadap masyarakat, mereka masih bersifat lokalistik terutama pada
PNS Pemda, di mana dia menjadi PNS diri, di sanalah ia berkarir hingga pensiun.
Memang dibeberapa kasus ada dimungkinkan perpindahan PNS dari suatu daerah ke
daerah lainnya, namun itu atas keinginan pribadi PNS, belumlah penugasan wajib
dari Negara. Otoritas penempatan PNS di mana saja di wilayah NKRI belum
sepenuhnya ditegaskan Negara, padahal ironisnya setiap PNS telah disumpah untuk
bersedia ditempatkan di mana saja dalam NKRI.
Kalau dilihat secara statistik, bahwa dari data PNS 2010 dari Badan Kepegawaian Negara adalah sebanyak
4.598.100 orang sedangkan jumlah penduduk Indonesia di tahun 2010 menurut BPS
adalah 237.556.363 orang. Dengan prinsip bahwa satu orang PNS dapat melayani
100 orang masyarakat (rasio beban kerja) maka berarti ada kelebihan PNS di
Indonesia sekitar 2,2 juta orang. Namun realitanya, masih banyak daerah di
Indonesia yang mengaku masih kekurangan PNS.
Kelebihan PNS di beberapa
daerah jelas akan mengakibatkan anggaran APBD hanya terbebani pada belanja
pegawai, sehingga porsi anggaran yang diperuntukan bagi pembangunan daerah
menjadi lebih sedikit. Menurut data LSM FITRA ada sejumlah 124 daerah terancam
bangkrut karena menganggarkan belanja pegawai yang lebih besar yakni di atas 60%
daripada belanja modal, bahkan ada 16 daerah yang anggarannya tersedot 70%
hanya untuk belanja pegawai, dan Kabupaten Lumajang merupakan daerah yang
tertinggi, yakni 83% APBD nya untuk belanja pegawai.
Dari kementerian keuangan RI
juga menyebutkan bahwa Alokasi belanja pegawai pada 2011 tercatat Rp 180,6
Triliun atau 2,6% terhadap PDB. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp 91,2 triliun
dialokasikan pada pos belanja gaji dan tunjangan pegawai. Angka itu naik Rp
17,9 triliun atau 11% jika dibandingkan APBN-P 2010.
Dari beberapa data faktual di
atas, terlihat bahwa dengan jumlah PNS yang berlebih dan menelan biaya besar,
ini jelas-jelas suatu pemborosan. Sementara disisi lain masih banyak daerah
lain yang membutuhkan PNS. Untuk itu, kebijakan redistribusi atau penyebaran
kembali PNS tanpa memandang asal usul kedaerahan menjadi keharusan mutlak
mengatasi masalah kesenjangan jumlah PNS dan soal menipisnya rasa persatuan dan
kesatuan bangsa.
Sebagai gambaran, redistribusi
PNS ini paling tidak diprioritaskan pada pejabat di daerah yang telah
berjabatan (bukan staf) baik di eselon II,III dan IV untuk mengisi kekosongan
jabatan di daerah lain pada eselon yang sama atau setingkat lebih tinggi. Jadi
ketika PNS ini dipindahkan, akan langsung menempati jabatan struktural yang
setingkat atau setingkat lebih tinggi di daerah yang baru.
Misalkan seorang Camat di Kota
Pariaman bisa saja di pindahkan ke Kabupaten Boven Digul, Papua, menjadi Kepala
Dinas Kependudukan dan Capil. Atau seorang Sekretaris Camat di Kota Manado dipindahan
ke Kota Medan menjadi Sekretaris Dinas Pariwisata. Pokoknya, tidak ada lagi
istilah PAD,-Putra Asli Daerah- dalam pengisian jabatan selagi yang
bersangkutan hidup dan mengabdi di wilayah NKRI. Sehingga dengan demikian akan
menjadi hal yang wajar dan lumrah dimata masyarakat ketika adanya beberapa
pejabat yang berasal dari Maluku, Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Bali berada di
tengah-tengah mereka. Dan untuk menjalankan sistem seperti itu, kontrol berada
langsung di bawah Kementerian Dalam Negeri.
Bahwa PNS seharusnya menjadi
bagian rakyat Indonesia dan juga alat perekat kesatuan dan persatuan bangsa,
itulah yang harus menjadi kesadaran setiap elemen masyarakat. Otonomi daerah
bukanlah berarti pengkotak-kotakan potensi daerah yang hanya memunculkan egoisme
kedaerahan. Melalui strategi Redistribusi PNS sebagai sebuah pendekatan
non-militeristik diharapkan dapat mengantisipasi munculnya pergolakan, konflik
daerah hingga separatisme.
*******
Telah Terbit di Harian Pagi Singgalang, Senin 19
September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar