Senin, 20 Januari 2014

REDISTRIBUSI PNS UPAYA ATASI SEPARATISME*




 
..Sayangnya, istana belum merespons surat keinginan damai dari kelompok bersenjata Papua itu. Juru bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha, mengatakan Istana belum menerima surat. Tapi menurut Julian, Presiden Yudhoyono ingin penyelesaikan Papua menggunakan pendekatan kesejahteraan. “Tidak seperti masa lalu yang menggunakan pendekatan militer,” ujarnya. (Tempo, Edisi 5-11 September 2011)
  
Kebijakan komprehensif non-militeristik menjadi begitu urgen dalam mengatasi konflik daerah untuk diterapkan. Karena membiarkan pendekatan militer yang dihadapkan dengan kelompok bersenjata hanya akan menambah korban nyawa yang sebagian besar penduduk sipil dan tentunya daerah konflik tak akan pernah bisa menikmati kue pembangunan.  
Soal konflik daerah seperti itu bukan saja terjadi di Papua sebagaimana yang dilakukan OPM (Organisasi Papua Merdeka). Kita juga pernah mendengar sepak terjang gerakan Fretilin (Frente Revolucionaria de Timor-Leste Independente) di Timor Timur, Propinsi Indonesia yang ke-27, yang setelah diadakan referendum pada 30 Agustus 1999 mayoritas penduduknya memilih berpisah dari Indonesia dan lalu menjadi Negara yang bernama Republica Democratica de Timor Leste. Selanjutnya ada pula RMS, gerakan separatis di Maluku yang pernah beraksi mengibarkan bendera RMS melalui tarian cakalele ketika Presiden SBY membuka upacara Hari Keluarga Nasional di tahun 2007. Kemudian awal Oktober tahun lalu, RMS kembali beraksi, kali ini John Wattilete (presiden RMS) menuntut ke Pengadilan Belanda untuk menangkap Presiden SBY terkait pelanggaran HAM terhadap sejumlah aktivis RMS. Atas tuntutan ini pula, SBY mengurungkan niatnya ke Belanda atas undangan Ratu Beatrix pada 2010 lalu.
Pergolakan lainnya yang kita kenal adalah GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang alhamdullilah berhasil digagalkan pemerintah RI dengan berbagai diplomasi dan perundingan. Saat ini NAD mendapatkan status Otonomi khusus (UU No 18 Tahun 2001) sebagaimana juga yang diberikan pada Papua (UU No 21 Tahun 2001).
Beberapa daerah lainnya baru-baru ini seperti Desa Mungguk Gelombang di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, dan beberapa Kecamatan di Kalimantan Timur berkeinginan untuk bergabung dengan Malaysia hanya karena acap kali mendapatkan bantuan Malaysia, dan lebih mudahnya akses ke negeri jiran itu.
Berbagai gejolak ketidak puasan seperti di atas, walaupun berhasil diredam, tetap saja mengkhawatirkan kita sebagai anak bangsa.  Betapa tidak? jerih payah, keringat dan darah dari  perjuangan para pahlawan yang bercucuran di medan perang demi menyatukan Indonesia, seakan begitu mudahnya luntur dan pupus hanya karena rasa ketidak-adilan yang dirasakan rakyat.
Kita juga jelas cemas, kalau gejolak ini dibiarkan begitu saja, dianggap angin lalu, tanpa kebijakan yang jelas, tegas dan terarah, niscaya tidak ada yang bisa memastikan, kita akan sampai pada masa di mana rakyat Indonesia tidak dapat lagi dengan lantang dan bangga menyanyikan lagu “Dari Sabang Sampai Merauke” !!!.
PNS Perekat Persatuan Bangsa
Saya fikir, bahwa salah satu faktor munculnya rasa kecemburuan, tidak mendapat keadilan serta rasa tidak puas akan perhatian dari pemerintah yang menimbulkan pemberontakan separatis tersebut yakni karena minimnya pemahaman terhadap sila ketiga dari Pancasila, “Persatuan Indonesia”. Tentu saja faktor kesalahan ini tidak saja bergantung pada pundak rakyat yang belum sadar akan nilai-nilai sila ke-3 Pancasila itu, namun juga peran pemerintah yang belum sepenuhnya serius menuangkan nilai-nilai Persatuan Indonesia ke dalam hati rakyat.
Singkatnya, saya melihat peluang pemersatu bangsa itu ada pada PNS (Pegawai Negeri Sipil). Selama ini baru TNI dan Polri yang secara nyata mengemban tugas itu. Dalam menunaikan tugasnya, mereka di sebar ke seluruh pelosok tanah air demi menjaga teritorial, batas negara, serta menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat di daerah, tanpa memandang apakah personil TNI/Polri tersebut merupakan penduduk asli daerah setempat atau tidak.
Namun PNS tidaklah demikian nyatanya, dalam hal menjalankan tugas pelayanan terhadap masyarakat, mereka masih bersifat lokalistik terutama pada PNS Pemda, di mana dia menjadi PNS diri, di sanalah ia berkarir hingga pensiun. Memang dibeberapa kasus ada dimungkinkan perpindahan PNS dari suatu daerah ke daerah lainnya, namun itu atas keinginan pribadi PNS, belumlah penugasan wajib dari Negara. Otoritas penempatan PNS di mana saja di wilayah NKRI belum sepenuhnya ditegaskan Negara, padahal ironisnya setiap PNS telah disumpah untuk bersedia ditempatkan di mana saja dalam NKRI.
Kalau dilihat secara statistik, bahwa dari data PNS 2010 dari Badan Kepegawaian Negara adalah sebanyak 4.598.100 orang sedangkan jumlah penduduk Indonesia di tahun 2010 menurut BPS adalah 237.556.363 orang. Dengan prinsip bahwa satu orang PNS dapat melayani 100 orang masyarakat (rasio beban kerja) maka berarti ada kelebihan PNS di Indonesia sekitar 2,2 juta orang. Namun realitanya, masih banyak daerah di Indonesia yang mengaku masih kekurangan PNS.
Kelebihan PNS di beberapa daerah jelas akan mengakibatkan anggaran APBD hanya terbebani pada belanja pegawai, sehingga porsi anggaran yang diperuntukan bagi pembangunan daerah menjadi lebih sedikit. Menurut data LSM FITRA ada sejumlah 124 daerah terancam bangkrut karena menganggarkan belanja pegawai yang lebih besar yakni di atas 60% daripada belanja modal, bahkan ada 16 daerah yang anggarannya tersedot 70% hanya untuk belanja pegawai, dan Kabupaten Lumajang merupakan daerah yang tertinggi, yakni 83% APBD nya untuk belanja pegawai.
Dari kementerian keuangan RI juga menyebutkan bahwa Alokasi belanja pegawai pada 2011 tercatat Rp 180,6 Triliun atau 2,6% terhadap PDB. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp 91,2 triliun dialokasikan pada pos belanja gaji dan tunjangan pegawai. Angka itu naik Rp 17,9 triliun atau 11% jika dibandingkan APBN-P 2010.   
Dari beberapa data faktual di atas, terlihat bahwa dengan jumlah PNS yang berlebih dan menelan biaya besar, ini jelas-jelas suatu pemborosan. Sementara disisi lain masih banyak daerah lain yang membutuhkan PNS. Untuk itu, kebijakan redistribusi atau penyebaran kembali PNS tanpa memandang asal usul kedaerahan menjadi keharusan mutlak mengatasi masalah kesenjangan jumlah PNS dan soal menipisnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
Sebagai gambaran, redistribusi PNS ini paling tidak diprioritaskan pada pejabat di daerah yang telah berjabatan (bukan staf) baik di eselon II,III dan IV untuk mengisi kekosongan jabatan di daerah lain pada eselon yang sama atau setingkat lebih tinggi. Jadi ketika PNS ini dipindahkan, akan langsung menempati jabatan struktural yang setingkat atau setingkat lebih tinggi di daerah yang baru.
Misalkan seorang Camat di Kota Pariaman bisa saja di pindahkan ke Kabupaten Boven Digul, Papua, menjadi Kepala Dinas Kependudukan dan Capil. Atau seorang Sekretaris Camat di Kota Manado dipindahan ke Kota Medan menjadi Sekretaris Dinas Pariwisata. Pokoknya, tidak ada lagi istilah PAD,-Putra Asli Daerah- dalam pengisian jabatan selagi yang bersangkutan hidup dan mengabdi di wilayah NKRI. Sehingga dengan demikian akan menjadi hal yang wajar dan lumrah dimata masyarakat ketika adanya beberapa pejabat yang berasal dari Maluku, Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Bali berada di tengah-tengah mereka. Dan untuk menjalankan sistem seperti itu, kontrol berada langsung di bawah Kementerian Dalam Negeri.
Bahwa PNS seharusnya menjadi bagian rakyat Indonesia dan juga alat perekat kesatuan dan persatuan bangsa, itulah yang harus menjadi kesadaran setiap elemen masyarakat. Otonomi daerah bukanlah berarti pengkotak-kotakan potensi daerah yang hanya memunculkan egoisme kedaerahan. Melalui strategi Redistribusi PNS sebagai sebuah pendekatan non-militeristik diharapkan dapat mengantisipasi munculnya pergolakan, konflik daerah hingga separatisme.

*******

 Telah Terbit di Harian Pagi Singgalang, Senin 19 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar