Senin, 20 Januari 2014

IKLAN POLITIK DAN KUALITAS POLITISI*






Pada Pasal 58 huruf h UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa salah satu persyaratan menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah Warga Negara Repuplik Indonesia yang memenuhi syarat salah satunya harus mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya. Undang-undang 32/2004 tersebut juga telah memberikan nuansa demokrasi baru dalam pemeritahan daerah yakni pemilihan kepala daerah secara langsung oleh masyarakat.
Melalui sistem pemilihan langsung, strategi pendekatan politik yang dilakukanpun lebih diarahkan kepada pengenalan diri kepada masyarakat. Semakin dikenal masyarakat semakin baik. Faktor popularitas semakin menentukan perolehan jumlah suara pemilih. Tak urung hal ini membuat para calon kepala daerah memainkan perannya untuk mengejar popularitas dan memanfaatkan media iklan demi mempromosikan diri. Sedangkan bagi calon kepala daerah yang berlatar belakang artis dapat bernafas lega karena telah lebih dulu berada di atas angin dalam hal popularitas.
Saat ini saja,  untuk menyiapkan diri mengikuti ajang Pemilu Kepala daerah sejumlah calon kepala daerah telah mensosialisaikan diri melalui televisi. Sebut saja calon gubernur/wakil gubernur Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Selatan. Berbagai janji dan program terobosan demi kemajuan daerah mereka tampilkan secara menarik dan simpatik melalui iklan-iklan politik. 
Demikian pula di tingkat nasional, untuk menghadapi Pemilihan Umum Presiden/Wakil Presiden RI 2009, juga sering tampil Mantan Pangab Wiranto dengan pesannya mengenai pengentasan kemiskinan dan kritikan terhadap janji presiden Susilo Bambang Yudoyono untuk tidak menaikan BBM.
Mantan Pangkostrad yang saat ini juga menjabat sebagai Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI)  Prabowo Subianto juga tidak ketinggalan, iklan yang ditampilkan juga sangat menyentuh akar rumput yakni pengusaha tani dan masalah ketahanan pangan. Lalu ada pula Sutrisno Bachir dengan pesan motivasi ’hidup adalah perbuatan’, yang mengajak rakyat untuk bekerja keras dan berusaha nyata demi kejayaan Indonesia.
Itu baru iklan yang ditampilkan di media televisi, belum lagi jenis iklan yang mengumandang di radio, terpajang di spanduk, terpampang di baliho, tertera di selebaran dan tertempel di mobil dan motor. Seluruh iklan tersebut semata-mata hanya bertujuan membentuk image sang politisi agar mengesankan masyarakat. Namun memang begitulah adanya, iklan politik memang dianggap menjadi sebuah alat yang paling efektif dan efisien dalam memperkenalkan diri kepada masyarakat. 
Pengemasan iklan politik tidak saja dilakukan di negara berkembang dalam berkampanye, Amerika Serikat juga memfavoritkan metode iklan politik dalam strategi pemenangan pemilunya, namun tentu dengan proses dan kajian yang berbeda dibanding Indonesia. Di Amerika, baik itu untuk pemilihan umum presiden hingga kepala daerahnya, program kampanye mereka  disusun dan dirancang sedemikian rupa oleh beberapa tenaga ahli yang tergabung dalam sebuah konsultan penyedia jasa demokrasi. Kandidat yang diusung partai politik baik dari Republik maupun Demokrat bahkan Calon Independent sekalipun dipastikan selalu menyewa konsultan yang bertugas mengatur strategi kampanye.
Lembaga konsultan demokrasi atau tim sukses tersebut bertugas secara profesional, mereka mensurvey isu strategis yang mendapat perhatian masyarakat. Mulai dari isu perang hingga narkoba, dari isu kekerasan rumah tangga hingga perkawinan homoseksual, bahkan dari isu rasial hingga soal religi. Selanjutnya dari hasil survey ini, tim sukses meraciknya bersama analisis teori masing-masing ahli untuk dijadikan iklan politik dan bahan kampanye sang politisi.
Tidak saja menghabiskan dana kampanye, tim sukses di Amerika justru mempunyai tanggung jawab pula untuk menggalang dana kampanye bagi kandidat yang mereka usung. Walaupun secara teknis, hal ini mereka kerjakan bersama dengan pengurus partai politik. Namun tetap saja perencanaan dan analisis di lakukan terlebih dahulu oleh tim sukses.
Selain iklan politik dan  penggalangan dana, tim sukses kampanye di amerika juga menyiapkan pidato dan motto kandidat,  penulisan artikel di media massa, bahan-bahan strategi kandidat untuk debat publik, hingga soal penampilan kandidat dalam berkampanye harus mendapatkan perhatian mereka.   
Kembali ke Indonesia,  pengemasan materi dalam Iklan politik belumlah menjadi perhatian para kandidat. Iklan Sutrisno Bachir yang mengusung motto ”hidup adalah perbuatan” pada kenyataannya belum mencerminkan perbuatan atau pemikiran beliau terhadap persoalan bangsa. Iklan Wiranto, walaupun tema yang disampaikan sangat aktual yakni menyangkut kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), namun dari segi skenario dan kualitas gambar iklan kurang menarik perhatian. Iklan Prabowo lebih lumayan, kualitas gambar, skenario cerita hingga tema yang disampaikan lebih tepat.
Kalau di daerah-daerah, iklan politik dapat kita temui, dipasang dan dipampangkan sembarang saja. Tiang listrik, pohon-pohon, pagar tembok menjadi sasaran pemasangan atribut kampanye. Dari sisi materi penyampaian pesan juga belum jelas dan terarah. Namun hebatnya, dari segi ukuran atribut dan pewarnaan sudah sangat mengesankan. 
Kampanye politik dengan strategi pengemasan iklan ini dinilai lebih jitu bila dilihat melalui kacamata para kandidat, karena para kandidat tidak perlu repot-repot mencari pengalaman dan belajar ber-pemerintahan, tapi cukup menyediakan sejumlah biaya demi menyiapkan atribut kampanye.
Namun dari sudut pencerdasan terhadap masyarakat maka strategi ini belum pantas disebut sebagai model kampanye yang mencerdaskan masyarakat. Karena masyarakat hanya bisa menonton figur sang kandidat yang sudah disusun melalui skenario sedemikian rupa agar seakan lebih berwibawa, berkharisma dan  bersahaja.
Sejalan dengan penyiapan RUU politik dalam rangka penyelenggaraan Pemilu Presiden 2009 serta revisi menyeluruh Undang-undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka pemikiran terhadap model kampanye yang mencerdaskan masyarakat sudah sepantasnya diperjuangkan bersama.
Kampanye yang tidak baik dan tidak terarah justru akan membawa masalah pasca pemilu presiden maupun pemilu kepala daerah. Sebaliknya melalui kampanye yang mencerdaskan maka masyarakat akan semakin dewasa dan politisi semakin matang dalam berdemokrasi serta yang paling utama bahwa kandidat yang terpilih benar-benar mampu memegang dan menjalankan amanah dengan baik.
Untuk itu, porsi kandidat untuk mengiklankan diri, konvoi kendaraan dan pengumpulan massa sebaiknya dibatasi dalam kerangka aturan yang tegas, jelas dan adil. Sedangkan model kampanye  dengan bentuk debat publik, orasi politik dan dialog tanya jawab sudah saatnya semakin digiatkan. Karena di sinilah masyarakat mengetahui karakter emosional, pengetahuan, pemahaman,  dan analisis sang kandidat dalam menghadapi masalah dan mencari terobosan demi kemajuan daerahnya.

*******

* Telah Terbit di Harian Pagi Padang Ekspres, Sabtu 21 Juni 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar