Pada Pasal 58 huruf h UU Nomor 12 Tahun 2008
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa salah satu persyaratan menjadi calon
kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah Warga Negara Repuplik Indonesia
yang memenuhi syarat salah satunya harus mengenal daerahnya dan dikenal oleh
masyarakat di daerahnya. Undang-undang 32/2004 tersebut juga telah memberikan
nuansa demokrasi baru dalam pemeritahan daerah yakni pemilihan kepala daerah
secara langsung oleh masyarakat.
Melalui sistem pemilihan
langsung, strategi pendekatan politik yang dilakukanpun lebih diarahkan kepada
pengenalan diri kepada masyarakat. Semakin dikenal masyarakat semakin baik.
Faktor popularitas semakin menentukan perolehan jumlah suara pemilih. Tak urung
hal ini membuat para calon kepala daerah memainkan perannya untuk mengejar
popularitas dan memanfaatkan media iklan demi mempromosikan diri. Sedangkan
bagi calon kepala daerah yang berlatar belakang artis dapat bernafas lega
karena telah lebih dulu berada di atas angin dalam hal popularitas.
Saat ini saja, untuk menyiapkan diri mengikuti ajang Pemilu
Kepala daerah sejumlah calon kepala daerah telah mensosialisaikan diri melalui
televisi. Sebut saja calon gubernur/wakil gubernur Jawa Tengah, Jawa Timur dan
Sumatera Selatan. Berbagai janji dan program terobosan demi kemajuan daerah
mereka tampilkan secara menarik dan simpatik melalui iklan-iklan politik.
Demikian pula di tingkat
nasional, untuk menghadapi Pemilihan Umum Presiden/Wakil Presiden RI 2009, juga
sering tampil Mantan Pangab Wiranto dengan pesannya mengenai pengentasan
kemiskinan dan kritikan terhadap janji presiden Susilo Bambang Yudoyono untuk
tidak menaikan BBM.
Mantan Pangkostrad yang saat
ini juga menjabat sebagai Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia
(HKTI) Prabowo Subianto juga tidak
ketinggalan, iklan yang ditampilkan juga sangat menyentuh akar rumput yakni
pengusaha tani dan masalah ketahanan pangan. Lalu ada pula Sutrisno Bachir
dengan pesan motivasi ’hidup adalah perbuatan’, yang mengajak rakyat untuk
bekerja keras dan berusaha nyata demi kejayaan Indonesia.
Itu baru iklan yang
ditampilkan di media televisi, belum lagi jenis iklan yang mengumandang di
radio, terpajang di spanduk, terpampang di baliho, tertera di selebaran dan
tertempel di mobil dan motor. Seluruh iklan tersebut semata-mata hanya
bertujuan membentuk image sang
politisi agar mengesankan masyarakat. Namun memang begitulah adanya, iklan
politik memang dianggap menjadi sebuah alat yang paling efektif dan efisien
dalam memperkenalkan diri kepada masyarakat.
Pengemasan iklan politik tidak
saja dilakukan di negara berkembang dalam berkampanye, Amerika Serikat juga
memfavoritkan metode iklan politik dalam strategi pemenangan pemilunya, namun
tentu dengan proses dan kajian yang berbeda dibanding Indonesia. Di Amerika,
baik itu untuk pemilihan umum presiden hingga kepala daerahnya, program
kampanye mereka disusun dan dirancang
sedemikian rupa oleh beberapa tenaga ahli yang tergabung dalam sebuah konsultan
penyedia jasa demokrasi. Kandidat yang diusung partai politik baik dari
Republik maupun Demokrat bahkan Calon Independent sekalipun dipastikan selalu
menyewa konsultan yang bertugas mengatur strategi kampanye.
Lembaga konsultan demokrasi
atau tim sukses tersebut bertugas secara profesional, mereka mensurvey isu
strategis yang mendapat perhatian masyarakat. Mulai dari isu perang hingga
narkoba, dari isu kekerasan rumah tangga hingga perkawinan homoseksual, bahkan
dari isu rasial hingga soal religi. Selanjutnya dari hasil survey ini, tim sukses
meraciknya bersama analisis teori masing-masing ahli untuk dijadikan iklan
politik dan bahan kampanye sang politisi.
Tidak saja menghabiskan dana
kampanye, tim sukses di Amerika justru mempunyai tanggung jawab pula untuk
menggalang dana kampanye bagi kandidat yang mereka usung. Walaupun secara
teknis, hal ini mereka kerjakan bersama dengan pengurus partai politik. Namun
tetap saja perencanaan dan analisis di lakukan terlebih dahulu oleh tim sukses.
Selain iklan politik dan penggalangan dana, tim sukses kampanye di
amerika juga menyiapkan pidato dan motto kandidat, penulisan artikel di media massa, bahan-bahan
strategi kandidat untuk debat publik, hingga soal penampilan kandidat dalam
berkampanye harus mendapatkan perhatian mereka.
Kembali ke Indonesia, pengemasan materi dalam Iklan politik
belumlah menjadi perhatian para kandidat. Iklan Sutrisno Bachir yang mengusung
motto ”hidup adalah perbuatan” pada kenyataannya belum mencerminkan perbuatan
atau pemikiran beliau terhadap persoalan bangsa. Iklan Wiranto, walaupun tema
yang disampaikan sangat aktual yakni menyangkut kenaikan Bahan Bakar Minyak
(BBM), namun dari segi skenario dan kualitas gambar iklan kurang menarik
perhatian. Iklan Prabowo lebih lumayan, kualitas gambar, skenario cerita hingga
tema yang disampaikan lebih tepat.
Kalau di daerah-daerah, iklan
politik dapat kita temui, dipasang dan dipampangkan sembarang saja. Tiang
listrik, pohon-pohon, pagar tembok menjadi sasaran pemasangan atribut kampanye.
Dari sisi materi penyampaian pesan juga belum jelas dan terarah. Namun
hebatnya, dari segi ukuran atribut dan pewarnaan sudah sangat mengesankan.
Kampanye politik dengan
strategi pengemasan iklan ini dinilai lebih jitu bila dilihat melalui kacamata
para kandidat, karena para kandidat tidak perlu repot-repot mencari pengalaman
dan belajar ber-pemerintahan, tapi cukup menyediakan sejumlah biaya demi
menyiapkan atribut kampanye.
Namun dari sudut pencerdasan
terhadap masyarakat maka strategi ini belum pantas disebut sebagai model
kampanye yang mencerdaskan masyarakat. Karena masyarakat hanya bisa menonton
figur sang kandidat yang sudah disusun melalui skenario sedemikian rupa agar
seakan lebih berwibawa, berkharisma dan
bersahaja.
Sejalan dengan penyiapan RUU
politik dalam rangka penyelenggaraan Pemilu Presiden 2009 serta revisi
menyeluruh Undang-undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka
pemikiran terhadap model kampanye yang mencerdaskan masyarakat sudah
sepantasnya diperjuangkan bersama.
Kampanye yang tidak baik dan
tidak terarah justru akan membawa masalah pasca pemilu presiden maupun pemilu
kepala daerah. Sebaliknya melalui kampanye yang mencerdaskan maka masyarakat
akan semakin dewasa dan politisi semakin matang dalam berdemokrasi serta yang
paling utama bahwa kandidat yang terpilih benar-benar mampu memegang dan
menjalankan amanah dengan baik.
Untuk itu, porsi kandidat
untuk mengiklankan diri, konvoi kendaraan dan pengumpulan massa sebaiknya
dibatasi dalam kerangka aturan yang tegas, jelas dan adil. Sedangkan model
kampanye dengan bentuk debat publik,
orasi politik dan dialog tanya jawab sudah saatnya semakin digiatkan. Karena di
sinilah masyarakat mengetahui karakter emosional, pengetahuan, pemahaman, dan analisis sang kandidat dalam menghadapi
masalah dan mencari terobosan demi kemajuan daerahnya.
*******
* Telah Terbit di Harian Pagi Padang Ekspres, Sabtu 21 Juni 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar