Hari ini, tentu
tak ada yang menyangka kalau ternyata Kota Sawahlunto tetap eksis pasca era
defisitnya tambang terbuka. Semenjak menurunnya produksi tambang batu bara
mulai tahun 2002, dan dilanjutkan dengan
kebijakan mem-pesiun dini-kan sejumlah karyawan oleh beberapa perusahaan
penambangan batubara yang beraktivitas di Sawahlunto, sehingga hal ini
berdampak pada eksodus sejumlah penduduk mencari penghasilan lain keluar dari
Sawahlunto.
Mengutip
pendapat filsuf ternama Prancis Jean Jacques Rousseau, bahwa salah satu ciri
pemerintahan yang paling buruk adalah yang masyarakatnya menyusut dan
berkurang. Dan hal itulah yang terjadi di Sawahlunto pada tahun 2002-2003. Efek
domino ini juga terus berentetan hingga mengakibatkan lesunya perekonomian
pasar waktu itu. Kegiatan jual-beli
menurun dan aktivitas kehidupan masyarakat juga kurang bergairah.
Banyak kalangan ketika itu mengkhawatirkan
bahwa Sawahlunto akan menjadi kota hantu bila keadaaan seperti ini akan terus
berlanjut. Namun secara perlahan, seluruh anggapan tersebut di tepis satu
persatu oleh Pemerintah Kota Sawahlunto bersama dukungan seluruh komponen
masyarakat dengan melakukan eksistensi dan kerja nyata layaknya sebuah kota
yang akan merebut kembali kejayaan masa lampau.
Masa Emas dan Kejayaan Sawahlunto
Di antara seluruh kabupaten dan kota yang ada di
Propinsi Sumatera Barat, Kota Sawahlunto dapat dikatakan memiliki specific history yang membuat Sawahlunto
menjadi sebuah kota yang tampil beda. Kalau daerah lainnya muncul karena
berkembangnya penduduk asli minangkabau, namun Kota Sawahlunto berkembang
karena adanya usaha pertambangan ‘permata hitam’ pada zaman penjajahan belanda.
Itulah sebabnya kita tidak dapat menemukan rumah gadang di pusat kota lama
Sawahlunto, yang ada justru beberapa bangunan megah dan kuno peninggalan
Belanda.
Awal Kejayaan Sawahlunto dimulai pada
tahun 1858, ketika Ir.De Groet menemukan Batubara di tepian Sungai Ombilin yang
selanjutnya diteliti oleh Ir. De Greve dan Kalshoven di tahun 1867, dan
penyelidikan yang lebih seksama dikerjakan oleh Ir. R.D.M. Verbeck di tahun
1875 dengan ditetapkannya kandungan batubara sejumlah 200 ton.
Sebelas tahun kemudian, tepatnya pada
tanggal 27 Juli 1886 dibuatkanlah Notarine Acte pertama oleh E.L Van Rauvery
asisten residen Tanah Datar selaku notaries, antara Hendrik YacobusPilter
Schuuring (pemegang Consessi) dengan Kepala Laras Silungkang Djaar St pamuncak (mewakili
rakyat) untuk melakukan penambangan batubara. Sejak saat itu, kawasan tersebut
mulai ramai didatangi untuk mempersiapkan penambangan batubara. Keadaaan ini
merupakan momentum awal bagi berdirinya Kota Sawahlunto.
Setahun kemudian (1887), Sawahlunto mulai
menjadi tempat pemukiman bagi para pekerja tambang yang di impor dari pulau
Jawa. Berbagai fasilitas seperti bangunan serta peralatan penambangan batubara
dibangun oleh Pemerintah Belanda. Investasi sejumlah 5,5 juta goldenpun ditanamkan oleh Pemerintah
Belanda demi melengkapi kebutuhan tersebut. Belanda juga merencanakan pembangunan pelabuhan teluk
bayur (Emma Heaven) yang mulai
dikerjakan tahun 1888 dan selesai tahun 1893. Selain itu, sebagai salah satu
syarat untuk mendapatkan konsesi
pertambangan batu bara maka dilakukanlah
pengerjaan rel kereta api dari Teluk Bayur-Padang Panjang-Sawahlunto yang
dimulai tahun 1888 dan selesai tahun 1893 oleh Ir J.V Y. Zerman. (Sawahlunto
Dulu Kini dan Esok, 2005;15)
Titik tolak bersejarah diakuinya
keberadaan Sawahlunto dalam sistem administrasi Pemerintah Hindia Belanda
terjadi pada tanggal 1 Desember 1888. Saat itu, Pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan keputusan tentang batas-batas ibukota Afdeling (pemeritahan admnistratif) yang ada di Sumatera
Barat. Moment ini selanjutnya ditetapkan
sebagai dasar hari jadi Kota Sawahlunto melalui perda Nomor 9 tahun 2004
tentang Penetapan Hari Jadi Kota Sawahlunto yakni tanggal 1 Desember.
Setelah pembangunan jalur kereta api
Sawahlunto-Padang selesai, maka pada tahun 1894 produksi batubara meningkat
dari puluhan ribu ton menjadi ratusan
ribu ton sampai mencapai keuntungan sebesar 4,6 juta golden. Di tahun
1918 Sawahlunto dikategorikan sebagai Gemeentelijk
Resort atau gemente berdasarkan Statsblad
van Nederlansch dengan mendirikan satu dewan yang disebut Dewan Gemeente
Sawahlunto.
Masa puncak kejayaan Sawahlunto terjadi +
pada tahun 1930. Periode ini merupakan masa keemasan bagi Sawahlunto di tingkat
Sumatera Barat bahkan menjadi daerah yang layak diperhitungkan dalam skala
nasional. Hal ini tidak mengherankan bila dilihat dari jumlah penduduk yang
mencapai 43.576 jiwa dengan 564 jiwa adalah orang Belanda/Eropa sedangkan
Sawahlunto saat itu hanya seluas 779,6 Ha dapat dibayangkan betapa ramainya
Sawahlunto kala itu.
Berbagai fasilitas layanan masyarakat
serta pusat-pusat hiburan juga telah dibangun pada masa itu. Mulai dari
kompleks Rumah Sakit, PLTU Sijantang, Kolam Renang Air Dingin, Penginapan,
Gudang Ransom, lapangan bola kaki, bioskop, kantor pemerintahan dan rumah
dinas, sekolah tambang hingga Gedung Pertemuan Masyarakat (GPM) didirikan guna
memenuhi kebutuhan Pemerintahan Belanda
dalam menunjang aktifitas penambangan.
Berkembang Sebelum Layu
Sebagaimana diketahui, batubara merupakan Sumber
Daya Alam yang tak dapat diperbaharui dan tentunya lambat laun akan habis.
Dengan terjadinya penurunan aktivitas produksi penambangan pada tahun 2002.
Maka Pemerintah Kota Sawahlunto mulai beralih kepada sektor pariwisata,
pertanian dan perkebunan melalui usaha ekonomi kerakyatan serta tanpa melupakan
sektor pendidikan, kesehatan, pertambangan dan pembangunan.
Sektor-sektor itulah yang menjadi ujung tombak
pemerintahan Amran Nur- Fauzi Hasan sebagai Walikota dan Wakil Walikota
Sawahlunto periode 2003-2008. Mimpi-mimpi akan kejayaan Sawahlunto yang mulai
sirna, secara nyata mulai diaplikasikan secara bertahap.
Singkat cerita, siapapun yang mengetahui keadaan
Sawahlunto sebelum tahun 2003 lalu membandingkannya dengan saat ini, tentu akan
berdecak kagum sekaligus tercengang. Sebut saja objek wisata Waterbom dan Outbond, yang dulunya hanya sebuah kolam
renang peninggalan Belanda yang tampak tak terurus. Lubang Suro, sebuah lubang
berbilik-bilik bekas aktivitas pekerja tambang yang sekarang sudah disulap
menjadi objek wisata seperti lubang kalam-nya Bukittinggi. Lalu Lapangan Pacuan
Kuda taraf internasional dan Kebun Binatang Kandih yang sebelumnya hanya hamparan tanah gersang
timbunan sisa produksi batubara. Belum lagi berbagai macam kegiatan konservasi
kota lama yang mengembalikan raut wajah unik, etnik, dan antik dari Kota
Sawahlunto.
Terobosan dan
keberanian yang telah dilakukan Sawahlunto memang patut diacungi jempol. Namun
tidak perlu serta merta disikapi dengan meniru atau turut latah membuat
kebijakan pembangunan yang serupa, karena
setiap daerah memiliki ciri khas, kebutuhan dan potensi unggulannya
masing-masing yang sudah pasti akan berbeda antar daerah satu dengan lainnya.
Justru
yang patut kita tiru dari Sawahlunto adalah semangatnya untuk berani mencoba,
berani berinovasi dan yang terutama Sawahlunto berani mewujudkan
mimpi-mimpinya.
*******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar