Senin, 20 Januari 2014

THE SPIRIT of SAWAHLUNTO*





 
Hari ini, tentu tak ada yang menyangka kalau ternyata Kota Sawahlunto tetap eksis pasca era defisitnya tambang terbuka. Semenjak menurunnya produksi tambang batu bara mulai tahun 2002,  dan dilanjutkan dengan kebijakan mem-pesiun dini-kan sejumlah karyawan oleh beberapa perusahaan penambangan batubara yang beraktivitas di Sawahlunto, sehingga hal ini berdampak pada eksodus sejumlah penduduk mencari penghasilan lain keluar dari Sawahlunto.
Mengutip pendapat filsuf ternama Prancis Jean Jacques Rousseau, bahwa salah satu ciri pemerintahan yang paling buruk adalah yang masyarakatnya menyusut dan berkurang. Dan hal itulah yang terjadi di Sawahlunto pada tahun 2002-2003. Efek domino ini juga terus berentetan hingga mengakibatkan lesunya perekonomian pasar waktu itu. Kegiatan jual-beli menurun dan aktivitas kehidupan masyarakat juga kurang bergairah.
Banyak kalangan ketika itu mengkhawatirkan bahwa Sawahlunto akan menjadi kota hantu bila keadaaan seperti ini akan terus berlanjut. Namun secara perlahan, seluruh anggapan tersebut di tepis satu persatu oleh Pemerintah Kota Sawahlunto bersama dukungan seluruh komponen masyarakat dengan melakukan eksistensi dan kerja nyata layaknya sebuah kota yang akan merebut kembali kejayaan masa lampau.
Masa Emas dan Kejayaan Sawahlunto
Di antara seluruh kabupaten dan kota yang ada di Propinsi Sumatera Barat, Kota Sawahlunto dapat dikatakan memiliki specific history yang membuat Sawahlunto menjadi sebuah kota yang tampil beda. Kalau daerah lainnya muncul karena berkembangnya penduduk asli minangkabau, namun Kota Sawahlunto berkembang karena adanya usaha pertambangan ‘permata hitam’ pada zaman penjajahan belanda. Itulah sebabnya kita tidak dapat menemukan rumah gadang di pusat kota lama Sawahlunto, yang ada justru beberapa bangunan megah dan kuno peninggalan Belanda.
Awal Kejayaan Sawahlunto dimulai pada tahun 1858, ketika Ir.De Groet menemukan Batubara di tepian Sungai Ombilin yang selanjutnya diteliti oleh Ir. De Greve dan Kalshoven di tahun 1867, dan penyelidikan yang lebih seksama dikerjakan oleh Ir. R.D.M. Verbeck di tahun 1875 dengan ditetapkannya kandungan batubara sejumlah 200 ton.
Sebelas tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 27 Juli 1886 dibuatkanlah Notarine Acte pertama oleh E.L Van Rauvery asisten residen Tanah Datar selaku notaries, antara Hendrik YacobusPilter Schuuring (pemegang Consessi) dengan Kepala Laras  Silungkang Djaar St pamuncak (mewakili rakyat) untuk melakukan penambangan batubara. Sejak saat itu, kawasan tersebut mulai ramai didatangi untuk mempersiapkan penambangan batubara. Keadaaan ini merupakan momentum awal bagi berdirinya Kota Sawahlunto.
Setahun kemudian (1887), Sawahlunto mulai menjadi tempat pemukiman bagi para pekerja tambang yang di impor dari pulau Jawa. Berbagai fasilitas seperti bangunan serta peralatan penambangan batubara dibangun oleh Pemerintah Belanda. Investasi sejumlah  5,5 juta goldenpun ditanamkan oleh Pemerintah Belanda demi melengkapi kebutuhan tersebut. Belanda  juga merencanakan pembangunan pelabuhan teluk bayur (Emma Heaven) yang mulai dikerjakan tahun 1888 dan selesai tahun 1893. Selain itu, sebagai salah satu syarat untuk  mendapatkan konsesi pertambangan batu bara  maka dilakukanlah pengerjaan rel kereta api dari Teluk Bayur-Padang Panjang-Sawahlunto yang dimulai tahun 1888 dan selesai tahun 1893 oleh Ir J.V Y. Zerman. (Sawahlunto Dulu Kini dan Esok, 2005;15)
Titik tolak bersejarah diakuinya keberadaan Sawahlunto dalam sistem administrasi Pemerintah Hindia Belanda terjadi pada tanggal 1 Desember 1888. Saat itu, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan keputusan tentang batas-batas ibukota Afdeling (pemeritahan admnistratif) yang ada di Sumatera Barat.  Moment ini selanjutnya ditetapkan sebagai dasar hari jadi Kota Sawahlunto melalui perda Nomor 9 tahun 2004 tentang Penetapan Hari Jadi Kota Sawahlunto yakni tanggal 1 Desember.
Setelah pembangunan jalur kereta api Sawahlunto-Padang selesai, maka pada tahun 1894 produksi batubara meningkat dari puluhan ribu ton menjadi ratusan  ribu ton sampai mencapai keuntungan sebesar 4,6 juta golden. Di tahun 1918 Sawahlunto dikategorikan sebagai Gemeentelijk Resort atau gemente berdasarkan Statsblad van Nederlansch dengan mendirikan satu dewan yang disebut Dewan Gemeente Sawahlunto.
Masa puncak kejayaan Sawahlunto terjadi + pada tahun 1930. Periode ini merupakan masa keemasan bagi Sawahlunto di tingkat Sumatera Barat bahkan menjadi daerah yang layak diperhitungkan dalam skala nasional. Hal ini tidak mengherankan bila dilihat dari jumlah penduduk yang mencapai 43.576 jiwa dengan 564 jiwa adalah orang Belanda/Eropa sedangkan Sawahlunto saat itu hanya seluas 779,6 Ha dapat dibayangkan betapa ramainya Sawahlunto kala itu.
Berbagai fasilitas layanan masyarakat serta pusat-pusat hiburan juga telah dibangun pada masa itu. Mulai dari kompleks Rumah Sakit, PLTU Sijantang, Kolam Renang Air Dingin, Penginapan, Gudang Ransom, lapangan bola kaki, bioskop, kantor pemerintahan dan rumah dinas, sekolah tambang hingga Gedung Pertemuan Masyarakat (GPM) didirikan guna memenuhi kebutuhan Pemerintahan Belanda  dalam menunjang aktifitas penambangan.
Berkembang Sebelum Layu
Sebagaimana diketahui, batubara merupakan Sumber Daya Alam yang tak dapat diperbaharui dan tentunya lambat laun akan habis. Dengan terjadinya penurunan aktivitas produksi penambangan pada tahun 2002. Maka Pemerintah Kota Sawahlunto mulai beralih kepada sektor pariwisata, pertanian dan perkebunan melalui usaha ekonomi kerakyatan serta tanpa melupakan sektor pendidikan, kesehatan, pertambangan dan pembangunan.
Sektor-sektor itulah yang menjadi ujung tombak pemerintahan Amran Nur- Fauzi Hasan sebagai Walikota dan Wakil Walikota Sawahlunto periode 2003-2008. Mimpi-mimpi akan kejayaan Sawahlunto yang mulai sirna, secara nyata mulai diaplikasikan secara bertahap.
Singkat cerita, siapapun yang mengetahui keadaan Sawahlunto sebelum tahun 2003 lalu membandingkannya dengan saat ini, tentu akan berdecak kagum sekaligus tercengang. Sebut saja objek wisata Waterbom dan Outbond, yang dulunya hanya sebuah kolam renang peninggalan Belanda yang tampak tak terurus. Lubang Suro, sebuah lubang berbilik-bilik bekas aktivitas pekerja tambang yang sekarang sudah disulap menjadi objek wisata seperti lubang kalam-nya Bukittinggi. Lalu Lapangan Pacuan Kuda taraf internasional dan Kebun Binatang Kandih yang  sebelumnya hanya hamparan tanah gersang timbunan sisa produksi batubara. Belum lagi berbagai macam kegiatan konservasi kota lama yang mengembalikan raut wajah unik, etnik, dan antik dari Kota Sawahlunto.
Terobosan dan keberanian yang telah dilakukan Sawahlunto memang patut diacungi jempol. Namun tidak perlu serta merta disikapi dengan meniru atau turut latah membuat kebijakan pembangunan yang serupa, karena  setiap daerah memiliki ciri khas, kebutuhan dan potensi unggulannya masing-masing yang sudah pasti akan berbeda antar daerah satu dengan lainnya.
Justru yang patut kita tiru dari Sawahlunto adalah semangatnya untuk berani mencoba, berani berinovasi dan yang terutama Sawahlunto berani mewujudkan mimpi-mimpinya.

*******



*Telah dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres, Jumat 16 Mei 2008 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar