Senin, 20 Januari 2014

KEROYOKAN MENILAI PNS*




                       
                         
“Saya sering menerima SMS dari PNS yang menjelek-jelekan PNS lain. Saat diminta bukti, mereka tak bisa berikan bukti” – Gubernur Sumbar Irwan Prayitno -

Demikian kegusaran Gubernur Irwan terhadap budaya sikut menyikut dan fitnah yang acap dilakukan PNS di lingkungan kerja Pemprov Sumbar. Hal ini diutarakannya saat sosialisasi mengenai sistem penilaian kinerja bersama seluruh kepala SKPD di gubernuran (22/9/2011). Tanpa menutup mata, soal jelek-menjelekan antar PNS ini bukan saja jadi masalah di Pemprov Sumbar, namun di lingkungan birokrasi manapun dalam jagat ini tentulah ada budaya seperti itu, hanya kadarnya saja yang mungkin berbeda-beda.
Syukurlah, Gubernur Irwan segera mencari solusi guna mengurangi kadar sikut menyikut antar PNS di Pemprov Sumbar, yakni dengan mengeluarkan Pergub Sumbar nomor 42 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Penilaian Kinerja PNS di Lingkungan Pemerintah Provinsi Sumbar.  Sebuah terobosan yang diharapkan dapat  mengatur bagaimana pengawasan dan penilaian kinerja seorang PNS berjalan objektif.
Sebenarnya, soal penilaian terhadap pelaksanaan pekerjaan PNS di republik ini telah ada payung hukumnya yakni PP Nomor 10 tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil yang kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 02/SE/1980 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil, aplikasi kebijakan ini dikenal dikalangan PNS dengan DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan).
Adapun unsur-unsur yang dinilai dalam DP3 tersebut adalah; Kesetiaan, Prestasi Kerja, Tanggungjawab, Ketaatan, Kejujuran, Kerjasama, Prakarsa dan Kepemimpinan. Penilaian dilakukan oleh atasan langsung si PNS, dan hasil penilaian digunakan sebagai bahan pertimbangan pembinaan PNS antara lain kenaikan pangkat, pemberian jabatan hingga pendidikan dan pelatihan.
Dalam perjalanannya, DP3 lebih bersifat subyektif dan malahan hanya formalitas belaka. Pejabat penilai bukanlah atasan langsung melainkan langsung PNS bersangkutan. Artinya PNS menilai kinerjanya sendiri, mengira-ngira kenaikan nilai dari  tahun sebelumnya dan mengisi sendiri DP3nya, lalu pejabat penilai tinggal tanda tangan saja. Soal inipun sudah jadi rahasia umum. Boleh dikatakan di era tingginya tuntutan akan perbaikan kinerja PNS, DP3 sudah ketinggalan zaman.
Kadaluarsanya DP3 ini sesungguhnya sudah disikapi Kementerian PAN sejak 2009, yakni dengan menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) pengganti PP 10/1979. Titik berat penilaiannya pada Sasaran Kerja Individu (SIK) dan prilaku kerja. Namun entah mengapa, hingga kini RPP tersebut belum juga berubah menjadi PP yang dapat kita pedomani.
Dan langkah pembaruan model penilaian kinerja PNS yang terlalu lama di godok Kementerian PAN-RB ini langsung “ditelikung” Gubernur Sumbar, sebagaimana di awal bahasan tadi, yakni dengan mengeluarkan Pergub Sumbar No 42/2011. Namun model penilaian kinerja PNS yang ditawarkan dalam Pergub ini tergolong “unik”, karena melibatkan partisipasi cukup banyak PNS (minimal 10 orang) untuk menilai 1 orang PNS. 10 orang penilai PNS tersebut merupakan atasan langsung, beberapa rekan se-esselon dan beberapa bawahan.
Model penilaian (maaf) “keroyokan” seperti ini menurut hemat saya justru tidak efektif dan efisien sama sekali. Dalam fikiran awam saya, dengan PNS dalam lingkungan Pemprov yang berjumlah 8.000 orang lebih, maka dengan asumsi 1 PNS dinilai 10 PNS maka akan ada sebanyak 80.000 lembar blanko penilaian, kalau dibuat rangkap 3 (untuk atasan, diri pribadi dan arsip) maka ada 240.000 lembar blanko. Taruhlah selembar dicetak seharga Rp 500,- maka ada Rp 120.000.000,- hanya untuk soal pengisian blanko penilaian kinerja.
Belum lagi soal penyamaan persepsi kriteria penilaian. Seluruh PNS harus terlibat karena dirinya akan dinilai dan juga sekaligus diberi kewenangan menilai rekan-rekannya, atasan dan bawahannya. Bila tidak ada pemahaman yang sama ketika memberi penilaian, maka ada beberapa kelompok PNS yang akan “diuntungkan” sekaitan beberapa orang penilai dirinya tidak tahu atau tidak mau tahu akan metode penilaian. Pemahaman dan penyamaan persepsi penilaian kepada 8.000 PNS tentulah memakan waktu lama dan biaya yang cukup besar, karena detail turunan dari kriteria penilaian kinerja PNS sangatlah beragam, tergantung dari beban kerja dan resiko kerja di mana posisi mereka ditempatkan.
Dengan menunjuk 10 orang PNS untuk menilai 1 orang PNS juga akan memunculkan kongkalikong gaya baru. Bisa saja di antara 10 orang PNS penilai karena kesibukannya, lalu bersepakat agar tugas penilaian dikerjakan saja oleh salah satu atau dua orang saja di antara mereka, sisanya tinggal beres saja dan siap membubuhkan tanda tangan. Negosiasi-negosiasi dalam penilaian juga akan mudah dilakukan, apalagi bagi PNS yang dinilai bawahan dan rekan sesama esselon. Alhasil penilaian kinerja kembali menjadi formalitas saja.
Justru dengan cara beramai-ramai untuk menilai seorang PNS lambat laun akan terjadi kerancuan penilaian. Seorang bawahan yang menilai atasan akan memiliki beban psikologis, takut bila atasannya mengetahui bahwa ternyata ia memberi nilai rendah terhadap atasannya. Lalu apakah bawahan juga bisa menempatkan diri, ketika dia merasa tersinggung karena atasan menegur hasil pekerjaannya? Sehingga dia memberi nilai rendah kepada atasan. Hal-hal seperti ini harus dihindari dalam mencari penilaian kinerja yang murni dan objektif.
Mengingat keterbatasan dan kendala model “keroyokan” seperti di atas, ada baiknya sistem penilaian kinerja diciptakan dengan membentuk Tim tersendiri yang benar-benar memiliki kapasitas dan kualitas. Tim ini tidak saja terdiri dari PNS yang direkrut berdasarkan kaitan tugas dan fungsinya namun juga kapasitas dirinya yang dikenal mumpuni dalam hal penilaian kinerja PNS. Supaya tidak terjadi miskomunikasi dan ketertinggalan informasi Tim harus bekerja langsung dibawah Gubernur.
Guna pengkayaan pengetahuan dan mentalitas Tim untuk bekerja profesional, Tim dapat diberikan diklat dan ujian khusus terlebih dahulu. Yang jelas Tim tersebut harus bekerja berdasarkan indikator penilaian yang terukur, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.

*******


Telah Terbit di Harian Pagi Padang Ekspres, Sabtu 1 Oktober 2011
                      





Tidak ada komentar:

Posting Komentar