“Saya sering menerima SMS dari
PNS yang menjelek-jelekan PNS lain. Saat diminta bukti, mereka tak bisa berikan
bukti” – Gubernur Sumbar Irwan Prayitno -
Demikian
kegusaran Gubernur Irwan terhadap budaya sikut menyikut dan fitnah yang acap
dilakukan PNS di lingkungan kerja Pemprov Sumbar. Hal ini diutarakannya saat
sosialisasi mengenai sistem penilaian kinerja bersama seluruh kepala SKPD di
gubernuran (22/9/2011). Tanpa menutup mata, soal jelek-menjelekan antar PNS ini
bukan saja jadi masalah di Pemprov Sumbar, namun di lingkungan birokrasi
manapun dalam jagat ini tentulah ada budaya seperti itu, hanya kadarnya saja
yang mungkin berbeda-beda.
Syukurlah,
Gubernur Irwan segera mencari solusi guna mengurangi kadar sikut menyikut antar
PNS di Pemprov Sumbar, yakni dengan mengeluarkan Pergub Sumbar nomor 42 tahun
2011 tentang Penyelenggaraan Penilaian Kinerja PNS di Lingkungan Pemerintah
Provinsi Sumbar. Sebuah terobosan yang
diharapkan dapat mengatur bagaimana
pengawasan dan penilaian kinerja seorang PNS berjalan objektif.
Sebenarnya,
soal penilaian terhadap pelaksanaan pekerjaan PNS di republik ini telah ada
payung hukumnya yakni PP Nomor 10 tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan
Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil yang kemudian ditindaklanjuti dengan Surat
Edaran Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 02/SE/1980 tentang Penilaian
Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil, aplikasi kebijakan ini dikenal
dikalangan PNS dengan DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan).
Adapun
unsur-unsur yang dinilai dalam DP3 tersebut adalah; Kesetiaan, Prestasi Kerja,
Tanggungjawab, Ketaatan, Kejujuran, Kerjasama, Prakarsa dan Kepemimpinan.
Penilaian dilakukan oleh atasan langsung si PNS, dan hasil penilaian digunakan
sebagai bahan pertimbangan pembinaan PNS antara lain kenaikan pangkat,
pemberian jabatan hingga pendidikan dan pelatihan.
Dalam
perjalanannya, DP3 lebih bersifat subyektif dan malahan hanya formalitas
belaka. Pejabat penilai bukanlah atasan langsung melainkan langsung PNS
bersangkutan. Artinya PNS menilai kinerjanya sendiri, mengira-ngira kenaikan
nilai dari tahun sebelumnya dan mengisi
sendiri DP3nya, lalu pejabat penilai tinggal tanda tangan saja. Soal inipun
sudah jadi rahasia umum. Boleh dikatakan di era tingginya tuntutan akan perbaikan
kinerja PNS, DP3 sudah ketinggalan zaman.
Kadaluarsanya
DP3 ini sesungguhnya sudah disikapi Kementerian PAN sejak 2009, yakni dengan
menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) pengganti PP 10/1979. Titik berat
penilaiannya pada Sasaran Kerja Individu (SIK) dan prilaku kerja. Namun entah
mengapa, hingga kini RPP tersebut belum juga berubah menjadi PP yang dapat kita
pedomani.
Dan
langkah pembaruan model penilaian kinerja PNS yang terlalu lama di godok
Kementerian PAN-RB ini langsung “ditelikung” Gubernur Sumbar, sebagaimana di
awal bahasan tadi, yakni dengan mengeluarkan Pergub Sumbar No 42/2011. Namun
model penilaian kinerja PNS yang ditawarkan dalam Pergub ini tergolong “unik”,
karena melibatkan partisipasi cukup banyak PNS (minimal 10 orang) untuk menilai
1 orang PNS. 10 orang penilai PNS tersebut merupakan atasan langsung, beberapa
rekan se-esselon dan beberapa bawahan.
Model
penilaian (maaf) “keroyokan” seperti ini menurut hemat saya justru tidak
efektif dan efisien sama sekali. Dalam fikiran awam saya, dengan PNS dalam
lingkungan Pemprov yang berjumlah 8.000 orang lebih, maka dengan asumsi 1 PNS
dinilai 10 PNS maka akan ada sebanyak 80.000 lembar blanko penilaian, kalau
dibuat rangkap 3 (untuk atasan, diri pribadi dan arsip) maka ada 240.000 lembar
blanko. Taruhlah selembar dicetak seharga Rp 500,- maka ada Rp 120.000.000,-
hanya untuk soal pengisian blanko penilaian kinerja.
Belum
lagi soal penyamaan persepsi kriteria penilaian. Seluruh PNS harus terlibat
karena dirinya akan dinilai dan juga sekaligus diberi kewenangan menilai
rekan-rekannya, atasan dan bawahannya. Bila tidak ada pemahaman yang sama
ketika memberi penilaian, maka ada beberapa kelompok PNS yang akan
“diuntungkan” sekaitan beberapa orang penilai dirinya tidak tahu atau tidak mau
tahu akan metode penilaian. Pemahaman dan penyamaan persepsi penilaian kepada
8.000 PNS tentulah memakan waktu lama dan biaya yang cukup besar, karena detail
turunan dari kriteria penilaian kinerja PNS sangatlah beragam, tergantung dari
beban kerja dan resiko kerja di mana posisi mereka ditempatkan.
Dengan
menunjuk 10 orang PNS untuk menilai 1 orang PNS juga akan memunculkan kongkalikong gaya baru. Bisa saja di
antara 10 orang PNS penilai karena kesibukannya, lalu bersepakat agar tugas
penilaian dikerjakan saja oleh salah satu atau dua orang saja di antara mereka,
sisanya tinggal beres saja dan siap membubuhkan tanda tangan.
Negosiasi-negosiasi dalam penilaian juga akan mudah dilakukan, apalagi bagi PNS
yang dinilai bawahan dan rekan sesama esselon. Alhasil penilaian kinerja
kembali menjadi formalitas saja.
Justru
dengan cara beramai-ramai untuk menilai seorang PNS lambat laun akan terjadi
kerancuan penilaian. Seorang bawahan yang menilai atasan akan memiliki beban
psikologis, takut bila atasannya mengetahui bahwa ternyata ia memberi nilai
rendah terhadap atasannya. Lalu apakah bawahan juga bisa menempatkan diri,
ketika dia merasa tersinggung karena atasan menegur hasil pekerjaannya? Sehingga
dia memberi nilai rendah kepada atasan. Hal-hal seperti ini harus dihindari
dalam mencari penilaian kinerja yang murni dan objektif.
Mengingat
keterbatasan dan kendala model “keroyokan” seperti di atas, ada baiknya sistem
penilaian kinerja diciptakan dengan membentuk Tim tersendiri yang benar-benar
memiliki kapasitas dan kualitas. Tim ini tidak saja terdiri dari PNS yang
direkrut berdasarkan kaitan tugas dan fungsinya namun juga kapasitas dirinya
yang dikenal mumpuni dalam hal penilaian kinerja PNS. Supaya tidak terjadi
miskomunikasi dan ketertinggalan informasi Tim harus bekerja langsung dibawah
Gubernur.
Guna
pengkayaan pengetahuan dan mentalitas Tim untuk bekerja profesional, Tim dapat
diberikan diklat dan ujian khusus terlebih dahulu. Yang jelas Tim tersebut
harus bekerja berdasarkan indikator penilaian yang terukur, transparan dan
dapat dipertanggungjawabkan.
*******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar