Baru-baru ini,
Dosen Ilmu Politik FISIP UI Andrinof A Chaniago memperkirakan 60 persen pejabat
eselon I dan II di Indonesia yang menjabat sekarang, tidak layak menduduki
jabatannya. Cukup mengejutkan memang, karena pejabat struktural tersebut
tentunya memegang posisi strategis dengan eselon I atau II-nya. Strategis terhadap
anggaran, program kegiatan, akses kemana-mana dan terutama strategis dalam hal
perumus kebijakan.
Lebih
jauh Andrinof menilai, perlu adanya penilaian terhadap kompetensi, wawasan,
konsep kerja, kecerdasan sosial, emosional dan kecerdasan intelektualnya. Hal
ini sangat wajar diperlukan, mengingat pejabat eselon I dan II tersebut, dapat
menduduki jabatan tertinggi hanya dikarenakan faktor usia, alasan pribadi
tertentu, hingga alasan balas jasa
karena turut andil memenangkan kepala daerah dalam Pilkada.
Di
Propinsi Sumatera Barat sendiri, saban hari kita dapat simak informasi yang
disajikan media cetak/elektronik. Setiap kepala daerah yang memenangkan Pilkada
dan telah dilantik, bersegera mengadakan rotasi dan mutasi di lingkungan
pemerintahannya. Syukurlah bagi pejabat di Pemerintah Propinsi Sumbar bisa
sedikit bernafas lega, karena paling tidak hingga akhir Tahun 2010 ini pasangan
Irwan-MK sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih, lebih memilih mengadakan
mutasi pejabat strukturalnya di awal tahun 2011. Sepertinya Irwan-MK tidak
ingin terburu-buru dalam menentukan para calon “anggota kabinetnya”.
Setidaknya
diberbagai kesempatan, Gubernur Irwan Prayitno meyakinkan, bahwa komitmennya
untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan reformasi birokrasi, akan dibuktikan dalam penataan birokrasi di awal
masa pemerintahannya. Irwan-MK bertekad menerapkan sekaligus memberi contoh
kepada pemerintah kabupaten dan kota se-Sumbar bagaimana prinsip The
Right Man On The Right Place akan diterapkan dalam pengisian jabatan
struktural di lingkungan Pemprop (salah satu program strategis Irwan-MK
membangun Sumbar 2010-2015).
Prinsip The
Right Man On The Right Place, memang sebuah konsep yang tepat dalam
mengatasi permasalahan birokrasi pemerintahan. Prinsip menempatkan seseorang
pada tempat kerja yang semestinya ini, tentu akan bermanfaat bagi kelancaran
peyanan dan pelaksanaan tugas. Sang pejabat mengerti terhadap bidang tugasnya,
kewenangannya serta pengambilan keputusan
akan menjadi lebih cepat dan mudah, karena latar belakang pendidikan dan
pengalaman kerja pejabat tersebut sesuai dengan jabatannya. Jauh sebelum
prinsip ini muncul, Nabi Muhammad SAW juga sudah wanti-wanti melalui hadits nya
“bila suatu pekerjaan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggu saja masa
kehancurannya”.
Itulah
makanya prinsip The Right Man On The
Right Place menjadi dasar pemikiran dalam reformasi kepegawaian yang
selanjutnya menjadi agenda utama dalam mengawali reformasi birokrasi. Setelah
soal penempatan ini selesai baru reformasi birokrasi dilanjutkan dengan
reformasi organisasi dengan prinsip Miskin Struktur Kaya fungsi serta untuk
memacu peningkatan kinerja melalui prinsip reward and punishment. Namun pada
kesempatan ini, cukuplah kita berfokus pada bagaimana menempatkan orang pada tempatnya.
Dari
sekian banyak teori organisasi yang mengidealkan The Right man on the right place, tetap saja pada aplikasinya
sering melenceng. Seperti pendapat Andrinof di atas, “pelencengan” tersebut 60%
terdapat pada eselon I dan II, tidak terkecuali kemungkinan juga terjadi di
Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Propinsi Sumbar. Artinya, mencari
“the right man” untuk menempatkannya
pada “the right place” tak semudah
mengucapkannya, perlu sebuah sistem dan prosedur yang tepat agar prinsip tersebut
dapat diwujudkan.
Bila
boleh flashback kemasa lalu, diawal
masa pemerintahan Gubernur Gamawan Fauzi yakni pada Tahun 2005, beliau juga
bertekad memulai sistem dan prosedur seleksi PNS dengan melalui fit and proper test untuk menempati
jabatan struktural di lingkungan Pemprop Sumbar. Bekerja sama dengan UNP waktu
itu, Gamawan memberikan tes pengetahuan umum dan physico test. Namun tes ala Gamawan tersebut dinilai berbagai
kalangan tidak efektif. Kelemahannya, materi tes tidak terkait langsung dengan
jabatan yang akan diisi. Ilmu, minat, pengalaman dan bakat peserta tidak
disesuaikan dengan formasi jabatan dan satu lagi..hasil tes tidak transparan.
Tender Jabatan
Istilah “tender’
lebih identik dengan proyek kegiatan. Peserta tender harus mengerti mengenai
spesifikasi uraian pengerjaan proyek yang diminatinya. Secara fair, mereka diberikan kesempatan untuk
memasukkan persyaratan, tawaran dan proposal. Pemenang tender pun dipilih dari
peserta yang paling rendah memberikan tawaran atau taksiran, negara dan daerah
tidak boleh dirugikan dalam proses ini.
Layaknya tender
sebuah proyek, sebuah jabatan mustinya
dapat pula di tenderkan. Tender Jabatan di sini bukanlah sebuah ajang tawar
menawar harga jabatan, yang mendapat jabatan adalah PNS yang paling tinggi menghargai
jabatan, bukan.. bukan seperti itu. Tapi proses Tender Jabatan dimaksud, secara
keseluruhan memang kurang lebih serupa dengan Tender Proyek. Ada persyaratan
tender, peserta tender, dan jabatan yang di tenderkan. Tetapi pemenang tender
bukan peserta yang mendaftar sesuai persyaratan saja, namun berhasil lolos
melalui berbagai tes, seperti tes wawancara, physic test, pemahaman/konsep kerja akan jabatan yang diminatnya,
bahkan untuk jabatan strategis tertentu dapat pula dilakukan tes tambahan
seperti tes fisik.
Sebagai
contoh, dibuka Tender Jabatan untuk Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
Para peserta yang berminat mengisi jabatan ini, selain mesti memenuhi
persyaratan mengenai pangkat, jabatan, masa kerja, pengalaman, pendidikan dan
kemampuan, juga harus membuat proposal yang memuat visi misi ketika menjabat.
Visi misi ini merupakan salah satu item kontrak kerja, dan juga sebagai tolak
ukur keberhasilan/kegagalan pejabat ini dalam evaluasi kinerjanya, kalau
terpilih nanti.
Setelah memenuhi
persyaratan di atas, barulah sang calon pejabat mengikuti Tender Jabatan dengan
berbagai tes sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Hasil tes dapat secara terbuka
untuk umum, atau hanya terbatas dikalangan PNS, atau di antara peserta Tender.
Yang
jelas, melalui Tender Jabatan ini paling tidak, kepala daerah selaku Pejabat
Pembina Kepegawaian di Daerah tidak dipusingkan oleh desakan tim suksesnya
untuk menempatkan si “badu” dalam jabatan tertentu. Tender Jabatan juga akan
menutup peluang bagi calon pejabat yang hanya bermodal omdo (omong doang), modal
uang, atau karena dibacking pejabat tertentu.
Tender jabatan,
siapa takut ?
*******
*Telah Terbit di Harian Pagi Padang Ekspres, Selasa 12
Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar