Senin, 20 Januari 2014

TENDER JABATAN, SIAPA TAKUT? *




Baru-baru ini, Dosen Ilmu Politik FISIP UI Andrinof A Chaniago memperkirakan 60 persen pejabat eselon I dan II di Indonesia yang menjabat sekarang, tidak layak menduduki jabatannya. Cukup mengejutkan memang, karena pejabat struktural tersebut tentunya memegang posisi strategis dengan eselon I atau II-nya. Strategis terhadap anggaran, program kegiatan, akses kemana-mana dan terutama strategis dalam hal perumus kebijakan.
Lebih jauh Andrinof menilai, perlu adanya penilaian terhadap kompetensi, wawasan, konsep kerja, kecerdasan sosial, emosional dan kecerdasan intelektualnya. Hal ini sangat wajar diperlukan, mengingat pejabat eselon I dan II tersebut, dapat menduduki jabatan tertinggi hanya dikarenakan faktor usia, alasan pribadi tertentu, hingga alasan  balas jasa karena turut andil memenangkan kepala daerah dalam Pilkada.
Di Propinsi Sumatera Barat sendiri, saban hari kita dapat simak informasi yang disajikan media cetak/elektronik. Setiap kepala daerah yang memenangkan Pilkada dan telah dilantik, bersegera mengadakan rotasi dan mutasi di lingkungan pemerintahannya. Syukurlah bagi pejabat di Pemerintah Propinsi Sumbar bisa sedikit bernafas lega, karena paling tidak hingga akhir Tahun 2010 ini pasangan Irwan-MK sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih, lebih memilih mengadakan mutasi pejabat strukturalnya di awal tahun 2011. Sepertinya Irwan-MK tidak ingin terburu-buru dalam menentukan para calon “anggota kabinetnya”.
Setidaknya diberbagai kesempatan, Gubernur Irwan Prayitno meyakinkan, bahwa komitmennya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan reformasi birokrasi, akan  dibuktikan dalam penataan birokrasi di awal masa pemerintahannya. Irwan-MK bertekad menerapkan sekaligus memberi contoh kepada pemerintah kabupaten dan kota se-Sumbar bagaimana prinsip  The Right Man On The Right Place akan diterapkan dalam pengisian jabatan struktural di lingkungan Pemprop (salah satu program strategis Irwan-MK membangun Sumbar 2010-2015).
Prinsip  The Right Man On The Right Place, memang sebuah konsep yang tepat dalam mengatasi permasalahan birokrasi pemerintahan. Prinsip menempatkan seseorang pada tempat kerja yang semestinya ini, tentu akan bermanfaat bagi kelancaran peyanan dan pelaksanaan tugas. Sang pejabat mengerti terhadap bidang tugasnya, kewenangannya serta pengambilan keputusan  akan menjadi lebih cepat dan mudah, karena latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja pejabat tersebut sesuai dengan jabatannya. Jauh sebelum prinsip ini muncul, Nabi Muhammad SAW juga sudah wanti-wanti melalui hadits nya “bila suatu pekerjaan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggu saja masa kehancurannya”.
Itulah makanya prinsip The Right Man On The Right Place menjadi dasar pemikiran dalam reformasi kepegawaian yang selanjutnya menjadi agenda utama dalam mengawali reformasi birokrasi. Setelah soal penempatan ini selesai baru reformasi birokrasi dilanjutkan dengan reformasi organisasi dengan prinsip Miskin Struktur Kaya fungsi serta untuk memacu peningkatan kinerja melalui prinsip reward and punishment. Namun pada kesempatan ini, cukuplah kita berfokus pada bagaimana menempatkan orang pada tempatnya. 
Dari sekian banyak teori organisasi yang mengidealkan The Right man on the right place, tetap saja pada aplikasinya sering melenceng. Seperti pendapat Andrinof di atas, “pelencengan” tersebut 60% terdapat pada eselon I dan II, tidak terkecuali kemungkinan juga terjadi di Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Propinsi Sumbar. Artinya, mencari “the right man” untuk menempatkannya pada “the right place” tak semudah mengucapkannya, perlu sebuah sistem dan prosedur yang tepat agar prinsip tersebut dapat diwujudkan.
Bila boleh flashback kemasa lalu, diawal masa pemerintahan Gubernur Gamawan Fauzi yakni pada Tahun 2005, beliau juga bertekad memulai sistem dan prosedur seleksi PNS dengan melalui fit and proper test untuk menempati jabatan struktural di lingkungan Pemprop Sumbar. Bekerja sama dengan UNP waktu itu, Gamawan memberikan tes pengetahuan umum dan physico test. Namun tes ala Gamawan tersebut dinilai berbagai kalangan tidak efektif. Kelemahannya, materi tes tidak terkait langsung dengan jabatan yang akan diisi. Ilmu, minat, pengalaman dan bakat peserta tidak disesuaikan dengan formasi jabatan dan satu lagi..hasil tes tidak transparan.
Tender Jabatan
Istilah “tender’ lebih identik dengan proyek kegiatan. Peserta tender harus mengerti mengenai spesifikasi uraian pengerjaan proyek yang diminatinya. Secara fair, mereka diberikan kesempatan untuk memasukkan persyaratan, tawaran dan proposal. Pemenang tender pun dipilih dari peserta yang paling rendah memberikan tawaran atau taksiran, negara dan daerah tidak boleh dirugikan dalam proses ini.
Layaknya tender sebuah proyek, sebuah  jabatan mustinya dapat pula di tenderkan. Tender Jabatan di sini bukanlah sebuah ajang tawar menawar harga jabatan, yang mendapat jabatan adalah PNS yang paling tinggi menghargai jabatan, bukan.. bukan seperti itu. Tapi proses Tender Jabatan dimaksud, secara keseluruhan memang kurang lebih serupa dengan Tender Proyek. Ada persyaratan tender, peserta tender, dan jabatan yang di tenderkan. Tetapi pemenang tender bukan peserta yang mendaftar sesuai persyaratan saja, namun berhasil lolos melalui berbagai tes, seperti tes wawancara, physic test, pemahaman/konsep kerja akan jabatan yang diminatnya, bahkan untuk jabatan strategis tertentu dapat pula dilakukan tes tambahan seperti tes fisik.
Sebagai contoh, dibuka Tender Jabatan untuk Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Para peserta yang berminat mengisi jabatan ini, selain mesti memenuhi persyaratan mengenai pangkat, jabatan, masa kerja, pengalaman, pendidikan dan kemampuan, juga harus membuat proposal yang memuat visi misi ketika menjabat. Visi misi ini merupakan salah satu item kontrak kerja, dan juga sebagai tolak ukur keberhasilan/kegagalan pejabat ini dalam evaluasi kinerjanya, kalau terpilih nanti.
Setelah memenuhi persyaratan di atas, barulah sang calon pejabat mengikuti Tender Jabatan dengan berbagai tes sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Hasil tes dapat secara terbuka untuk umum, atau hanya terbatas dikalangan PNS, atau di antara peserta Tender.
Yang jelas, melalui Tender Jabatan ini paling tidak, kepala daerah selaku Pejabat Pembina Kepegawaian di Daerah tidak dipusingkan oleh desakan tim suksesnya untuk menempatkan si “badu” dalam jabatan tertentu. Tender Jabatan juga akan menutup peluang bagi calon pejabat yang hanya bermodal omdo (omong doang), modal uang, atau karena dibacking pejabat tertentu.
Tender jabatan, siapa takut ?

*******


*Telah Terbit di Harian Pagi Padang Ekspres, Selasa 12 Oktober 2010



Tidak ada komentar:

Posting Komentar