Senin, 20 Januari 2014

KERJASAMA DAERAH ; SEBUAH PELUANG PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT*






Penyelenggaraan pemerintahan di Negara Kesatuan Republik Indonesia  menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan (medebewind) dengan menggunakan prinsip otonomi yang seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab. Melalui asas desentralisasi kewenangan Pemerintahan diserahkan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat dengan tujuan  peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Ada berbagai keharusan daerah agar peningkatan kesejahteraan masyarakat terwujud sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, salah satunya adalah bahwa daerah harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya daerah dituntut untuk mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah serta perselisihan antar daerah dalam koridor keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kerja sama daerah merupakan wahana dan sarana untuk lebih memantapkan hubungan dan keterikatan daerah yang satu dengan daerah yang lain dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, menyerasikan pembangunan daerah, mensinergikan potensi antar daerah dan/atau dengan pihak ketiga serta meningkatkan pertukaran pengetahuan, teknologi dan kapasitas fiscal. Melalui kerja sama daerah juga diharapkan dapat mengurangi kesenjangan daerah dalam penyediaan pelayanan umum khususnya yang ada di wilayah terpencil, perbatasan antar daerah dan daerah tertinggal sebagaimana dimaksudkan PP Nomor 50 tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah. Intinya daerah harus memiliki inisiatif untuk membaca potensi daerahnya -sebagaimana urusan wajib maupun pilihan yang telah menjadi kewenangannya- yang dapat dikembangkan melalui kerjasama daerah dan/atau pihak ketiga yang pada hakikatnya demi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Inisiatif Pemerintah Daerah untuk melaksanakan kerjasama bahkan telah diprakarsai  sebelum ditetapkannya PP nomor 50 tahun 2007, artinya dengan hanya  mempedomani Undang-undang nomor 32 tahun 2004, daerah telah berinisiatif untuk melakukan perjanjian kerjasama dengan daerah lainnya dan/atau pihak ketiga oleh karena desakan hati nurani untuk segera mensejahterakan masyarakatnya.
Beberapa kesepakatan bersama (memorandum of understanding, MoU) yang telah dilakukan di antaranya adalah mengenai peningkatan pendayagunaan potensi daerah perbatasan yang ditandatangi oleh lima Gubernur dari Sumatera dan Menteri Dalam Negeri pada hari senin 7 Agustus 2006 di aula Departemen Dalam Negeri, Jakarta. Lima Gubernur tersebut adalah, Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi, Gubernur Riau Rusli Zainal, Gubernur Jambi Tengku Rizal Nurdin, Gubernur Bengkulu Agusrin M.Najamudin, dan Gubernur Sumatera Utara Rudolf Pardede. MoU tersebut bertujuan untuk mengatasi munculnya masalah konflik perbatasan, perebutan sumber daya alam diperbatasan, tumpang tindih pengeluaran perizian pengelolaan hasil alam, konflik sosial masyarakat, dan ketertiban umum kurang terorganisasi.
Pemerintah Daerah Propinsi Sumbar juga telah mampu memfasilitasi penjajakan hubungan kerjasama antara Bupati dan Walikota di Sumatera Barat melalui kesepakatan bersama tentang Kerjasama Antar Pemerintah Daerah dalam rangka peningkatan kapasitas ruas jalan dari Duku sampai batas Riau, serta melaksanakan pengembangan kerjasama daerah Kabupaten/ Kota melalui rencana pengembangan kawasan perbatasan Kabupaten/Kota se-SumateraBarat, yang telah ditandatangani di Padang pada tanggal 13 Juni 2005. Kepala daerah terkait itu adalah Bupati  Padang Pariaman, Tanah Datar, Agam, 50 Kota, Walikota Padang Panjang, Bukittinggi dan Payakumbuh.
Berbagai inisiatif kerjasama oleh masing-masing kepala daerah seperti mengoperasikan kembali Kereta Api Wisata antara Pemerintah Kota Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Padang dengan melibatkan pihak Ketiga yakni PT KAI yang dioperasikan pada tanggal 15 Februari 2007, mengenai pembiayaan operasional ditanggung oleh ketiga daerah hingga mencapai 100 juta perbulannya. Selanjutnya ada juga kerjasama antara Departemen Hukum dan HAM dengan Pemerintah Kota Sawahlunto untuk mendirikan Panti Rehabilitasi NARKOBA, serta masih banyak lagi daerah yang berinisiatif untuk memulai memprakarsai kerjasama daerah-daerah maupun dengan pihak ketiga. Namun pada intinya dalam melakukan kerjasama perlu dipedomani prinsip-prinsip kerjasama daerah agar tujuan yang dicapai benar-benar memberikan manfaat bagi daerah masing-masing.
 Prinsip Kerjasama Daerah
Pelaksanaan kerjasama daerah sebagaimana PP nomor 50/2007 harus memenuhi Prinsip-prinsip sebagai berikut :
a.       Efisiensi; adalah upaya pemerintah daerah melalui kerja sama untuk menekan biaya guna memperoleh suatu hasil tertentu atau menggunakan biaya yang sama tetapi dapat mencapai hasil yang maksimal.
b.      Efektivitas; adalah upaya pemerintah daerah melalui kerja sama untuk mendorong pemanfaatan sumber daya para pihak secara optimal dan bertanggungjawab untuk kesejahteraan masyarakat.
c.       Sinergi; adalah upaya untuk terwujudnya harmoni antara pemerintah, masyarakat dan swasta untuk melakukan kerja sama demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
d.      Saling menguntungkan; adalah pelaksanaan kerja sama harus dapat memberikan keuntungan bagi masing-masing pihak dan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.
e.       Kesepakatan bersama; adalah persetujuan para pihak untuk melakukan kerja sama.
f.       Itikad baik; adalah kemauan para pihak untuk secara sungguh-sungguh melaksanakan kerja sama.
g.      Mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; adalah seluruh pelaksanaan kerja sama daerah harus dapat memberikan dampak positif terhadap upaya mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan masyarakat dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
h.      Persamaan kedudukan; adalah persamaan dalam kesederajatan dan kedudukan hukum bagi para pihak yang melakukan kerja sama daerah.
i.        Transparansi; adalah adanya proses keterbukaan dalam kerja sama daerah.
j.        Keadilan; adalah adanya persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan para pihak dalam melaksanakan kerja sama daerah.
k.      Kepastian hukum; adalah bahwa kerja sama yang dilakukan dapat mengikat secara hukum bagi para pihak yang melakukan kerja sama daerah.
Prinsip-prinsip tersebut di atas juga merupakan pedoman bagi DPRD dalam pemeriksaan terhadap rancangan kerjasama daerah yang pembiayaannya akan membebani anggaran APBD tahun berjalan. Bila rancangan kerjasama daerah tersebut tidak memenuhi prinsip-prinsip kerjasama, maka DPRD dapat mengembalikan rancangan kerjasama dengan memberikan saran dan masukan penyempurnaan rancangan perjanjian kerjasama kepada kepala daerah. Dan selanjutnya rancangan yang disempurnakan tersebut dapat disetujui DPRD untuk ditandatangani Kepala Daerah. Namun yang menjadi permasalahan yakni ketika masing-masing DPRD pada daerah yang melakukan kerjasama memiliki persepsi yang berbeda dalam memahami prinsip yang terkandung pada rancangan Perjanjian kerjasama tersebut walaupun masing-masing kepala daerah telah saling memahami terhadap isi perjanjian. Hal ini tentu tidak dapat dihindari sebagai sesuatu yang dapat dimaklumi, untuk itu diperlukan kearifan bagi masing-masing daerah untuk lebih melihat tujuan kerjasama dari pada mempertahankan egoisme masing-masing daerah.  
Pemenuhan Kepentingan Daerah
Tidak ada daerah yang dapat berkembang sendiri tanpa dukungan maupun keberadaan daerah yang lainnya. Sebagai contoh, pasar atas Bukittinggi tidak akan berkembang bila tanpa adanya pasokan bordiran mukenah dari Pariaman, pasokan kerajinan tangan dari Agam dan Payakumbuh, atau pasokan ternak dari Lima Puluh Kota dan Tanah Datar serta Ikan segar dari Padang maupun beras pulen dari Solok. Demikian pula dengan WaterBoom Di Sawahlunto, yang tidak mungkin ramai kalau hanya dikunjungi oleh warganya saja, dan penjual buah markisa di gunung talang yang kebanjiran pembeli sejak dibukanya Waterboom Sawahlunto. Semua daerah saling memiliki keterkaitan dan keterikatan satu sama lainnya, dan tanpa disadari –atau tanpa tidak disadari-   ada peluang kerjasama agar pengembangan potensi yang dimiliki tidak tumpang tindih dengan potensi daerah lainnya. Untuk itu diperlukan kerjasama daerah.
Tentunya dalam melaksanakan suatu kerjasama antara dua pihak atau lebih harus diperhitungkan hasil atau manfaat yang didapatkan dari hubungan kerjasama tersebut. Tidak mungkin salah satu pihak ingin dirugikan dalam hasil akhir dari kerjasama itu, masing-masing pihak yang melakukan kerjasama dapat dipastikan memiliki kepentingan yang harus dipenuhi dan diperoleh dari hubungan kerjasama.
Kepentingan daerah yang paling umum sebagai alasan dilakukannya kerja sama adalah untuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah (uang), selain jasa maupun barang/asset, selain itu daerah juga berkepentingan agar dalam membangun sarana dan prasarana public di daerahnya akan semakin terkonsolidasi. Dapat dibayangkan apa yang terjadi bila masing-masing daerah yang bertetangga membangun sebuah rumah sakit bertaraf international, atau bersaing dalam membangun water boom atau objek wisata yang sejenis. Memang dalam era otonomi daerah wajar-wajar saja bila setiap daerah memacu pertumbuhan daerahnya dengan segala potensi yang dimilikinya, namun alangkah lebih indahnya bila masing-masing daerah memiliki ciri khas dan potensi unggulan yang saling menopang dan mendukung kehidupan ekonomi daerah tetangganya, bukannya malah saling bersaing dengan ego kedaerahan sendiri-sendiri. Untuk itu, program ‘one village one product’ hendaknya perlu menjadi pemikiran kembali guna mensiasati dan menghindari terjadinya keseragaman produk unggulan dari masing-masing daerah.
Dalam  menghindari sifat egoisme daerah tersebut dibutuhkan peran propinsi untuk menjadi fasilitator dan peran pemerintah bila kerjasama yang dilaksanakan menyangkut propinsi terkait. Selain itu Pemerintah Propinsi juga dapat bertindak sebagai innovator dan motivator dalam membangun kerja sama antar daerah di Propinsinya, tanpa menunggu prakarsa dari masing-masing daerah untuk memulai.
Kerjasama daerah juga merupakan solusi atas masalah beban pembiayaan yang begitu berat bagi suatu daerah, sehingga pembiayaan dan resiko dapat ditanggung oleh daerah yang melakukan kerjasama menjadi lebih ringan. Namun bila demikian halnya mengapa setiap daerah belum mengoptimalkan kerjasama daerah demi peningkatan kesejahteraan masyarakatnya ?
Hambatan Kerjasama Daerah
Beberapa hambatan yang mengakibatkan belum optimalnya dilaksanakan kerjasama daerah adalah :
  1. Belum tergalinya potensi yang dimiliki oleh daerah, sehingga daerah belum mengenal sejauhmana kemampuan daerahnya dalam memanfaatkan potensi yang dimiliki.
  2. Pemerintah daerah belum memahami urusan-urusan yang menjadi kewenangannya yang dapat dijadikan objek kerjasama, dan subjek yang akan diajak melakukan kerjasama serta manfaat yang didapatkan sebagai hasil dari kerjasama.
  3. Egoisme kedaerahan yang selalu ingin mendominasi dan merasa sebagai daerah yang lebih superior sehingga beranggapan tidak perlunya kerjasama dengan daerah lain, toh permasalahan dapat diselesaikan secara internal daerahnya sendiri.
  4. Ketakutan akan justru terjadinya konflik antar daerah atau perselisihan dan kerugian bila hasil kerjasama ternyata melenceng dari harapan.
  5. Political will maupun produk hukum yang dibuat oleh kepala daerah dan DPRD yang   tidak sejalan dengan semangat kerjasama daerah.
Mengatasi kebuntuan akan pelaksanaan kerjasama daerah, maka pemerintah melalui PP 50/2007 memberikan acuan jelas mengenai pelaksanaan kerjasama daerah yakni sebagai berikut :
1.           Kerjasama daerah harus dituangkan dalam bentuk perjanjian kerjasama dengan memperhatikan prinsip-prinsip kerjasama.
2.           Salah satu kepala daerah dapat memprakarsai kerjasama dan selanjutnya membuat sebuah rancangan perjanjian kerjasama yang memuat antara lain :  subjek kerja sama, objek kerja sama, ruang lingkup kerja sama, hak dan kewajiban para pihak, jangka waktu kerja sama, pengakhiran kerja sama, keadaan memaksa dan  penyelesaian perselisihan.
3.           Rencana kerjasama daerah yang membebani daerah dan masyarakat harus mendapat persetujuan dari DPRD apabila biaya belum teranggarkan dalam APBD tahun berjalan.
4.           Kerjasama daerah yang dilakukan dalam satu propinsi terjadi perselisihan dapat diselesaikan dengan cara musyawarah ataupun melalui keputusan gubernur.
5.           Kerjasama daerah tidak berakhir karena pergantian kepala daerah, artinya bahwa kerjasama darah dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan jangka waktu yang diatur dalam perjanjian kerjasama dan tidak terpengaruh oleh adanya pergantian kepala daerah.
6.           Masing-masing kepala daerah yang terkait dapat membentuk Badan Kerjasama daerah secara bersama dalam hal membantu kepala daerah melaksanakan kerjasama daerah yang membutuhkan waktu paling sedikit lima tahun, dengan pembiayaan ditanggung bersama sesuai perjanjian kerjasama. Namun Badan kerjasama bukan termasuk perangkat daerah atau di luar SOTK Pemerintah daerah.
Kerjasama Daerah-Luar Negeri
Dari 28 pasal pada PP nomor 50/2007 hanya mengatur hubungan teknis pelaksanaan kerjasama daerah dalam lingkup kesepakatan antara gubernur dengan gubernur atau gubernur dengan bupati/walikota atau antara bupati/walikota dengan bupati/walikota yang lain, dan atau gubernur, bupati/walikota dengan pihak ketiga, hanya itu. lalu bagaimana dengan kerjasama daerah dengan luar negeri ? toh saat ini banyak daerah yang telah berinisiatif melakukan kerjasama dengan luar negeri. Di bidang pertambangan, daerah yang banyak bekerja sama dengan negara luar adalah Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Untuk bidang pariwisata didominasi oleh Bali dan Yogyakarta. Untuk bidang ekonomi-perdagangan, daerah-daerah di Jawa dan Sumatera menjadi incaran negara asing untuk bekerja sama.
Bagaimana bila terjadi perselisihan dalam hubungan kerjasama daerah dan luar negeri ? agaknya PP nomor 50/2007 belum mencermati hal ini. Namun dalam kajian lebih khusus secara umumnya perlunya koordinasi antara daerah yang akan melakukan kerjasama dengan luar negeri kepada Departemen Luar Negeri (menyangkut masalah yuridis, politik, maupun keamanan) disamping berkoordinasi dengan Departemen Dalam Negeri (menyangkut fasilitasi subjek kerjasama) dan Departemen yang terkait (menyangkut fasilitasi objek kerjasama) dengan objek kerjasama serta Pemerintah Propinsi selaku wakil pemerintah di daerah juga harus dilibatkan dalam membuat rencana kerjasama dengan luar negeri tersebut, sehingga bila terjadi perselisihan dapat di atasi oleh pejabat yang berwenang dari masing-masing departemen terkait.
Kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh daerah tentu berbeda. Tergantung dengan paradigma apa daerah memandang potensi yang dimilikinya, bisa saja kelemahan suatu daerah akan diterjemahkan suatu peluang bagi Pemerintahnya demikian pula sebaliknya, sehingga di era otonomi daerah ini yang dibutuhkan bukan Pemerintah Daerah yang hanya menghabiskan APBDnya saja namun Bagaimana Pemerintah Daerah dapat berkreasi dan membuat terobosan baru dan beritikad baik demi mengatasi beratnya beban yang dipikul oleh APBD-nya. Salah satu terobosan itu adalah dengan melaksanakan kerjasama daerah.

*******

*Telah dimuat di Harian Pagi Singgalang, Rabu 28 November 2007



Tidak ada komentar:

Posting Komentar