Penyelenggaraan pemerintahan di Negara Kesatuan
Republik Indonesia menganut asas
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan (medebewind) dengan menggunakan prinsip otonomi yang seluas-luasnya,
nyata dan bertanggung jawab. Melalui
asas desentralisasi kewenangan Pemerintahan diserahkan kepada daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sesuai kebutuhan dan aspirasi
masyarakat dengan tujuan peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Ada berbagai keharusan daerah agar peningkatan kesejahteraan masyarakat
terwujud sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, salah satunya adalah bahwa daerah harus menjamin
keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya daerah
dituntut untuk mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan
kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah serta perselisihan
antar daerah dalam koridor keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kerja sama daerah merupakan wahana dan sarana untuk lebih memantapkan
hubungan dan keterikatan daerah yang satu dengan daerah yang lain dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, menyerasikan pembangunan daerah,
mensinergikan potensi antar daerah dan/atau dengan pihak ketiga serta
meningkatkan pertukaran pengetahuan, teknologi dan kapasitas fiscal. Melalui
kerja sama daerah juga diharapkan dapat mengurangi kesenjangan daerah dalam
penyediaan pelayanan umum khususnya yang ada di wilayah terpencil, perbatasan
antar daerah dan daerah tertinggal sebagaimana dimaksudkan PP Nomor 50 tahun
2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah. Intinya daerah harus
memiliki inisiatif untuk membaca potensi daerahnya -sebagaimana urusan wajib
maupun pilihan yang telah menjadi kewenangannya- yang dapat dikembangkan
melalui kerjasama daerah dan/atau pihak ketiga yang pada hakikatnya demi
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Inisiatif Pemerintah Daerah untuk melaksanakan kerjasama bahkan telah
diprakarsai sebelum ditetapkannya PP
nomor 50 tahun 2007, artinya dengan hanya
mempedomani Undang-undang nomor 32 tahun 2004, daerah telah berinisiatif
untuk melakukan perjanjian kerjasama dengan daerah lainnya dan/atau pihak
ketiga oleh karena desakan hati nurani untuk segera mensejahterakan
masyarakatnya.
Beberapa kesepakatan bersama (memorandum of understanding, MoU) yang telah
dilakukan di antaranya adalah mengenai peningkatan pendayagunaan potensi daerah
perbatasan yang ditandatangi oleh lima Gubernur dari Sumatera dan Menteri Dalam
Negeri pada hari senin 7 Agustus 2006 di aula Departemen Dalam Negeri, Jakarta.
Lima Gubernur tersebut adalah, Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi, Gubernur
Riau Rusli Zainal, Gubernur Jambi Tengku Rizal Nurdin, Gubernur Bengkulu
Agusrin M.Najamudin, dan Gubernur Sumatera Utara Rudolf Pardede. MoU tersebut
bertujuan untuk mengatasi munculnya masalah konflik perbatasan, perebutan
sumber daya alam diperbatasan, tumpang tindih pengeluaran perizian pengelolaan
hasil alam, konflik sosial masyarakat, dan ketertiban umum kurang
terorganisasi.
Pemerintah Daerah Propinsi Sumbar juga telah mampu memfasilitasi penjajakan
hubungan kerjasama antara Bupati dan Walikota di Sumatera Barat melalui
kesepakatan bersama tentang Kerjasama Antar Pemerintah Daerah dalam rangka
peningkatan kapasitas ruas jalan dari Duku sampai batas Riau, serta
melaksanakan pengembangan kerjasama daerah Kabupaten/ Kota melalui rencana
pengembangan kawasan perbatasan Kabupaten/Kota se-SumateraBarat, yang telah
ditandatangani di Padang pada tanggal 13 Juni 2005. Kepala daerah terkait itu
adalah Bupati Padang Pariaman, Tanah
Datar, Agam, 50 Kota, Walikota Padang Panjang, Bukittinggi dan Payakumbuh.
Berbagai inisiatif kerjasama oleh masing-masing kepala daerah seperti
mengoperasikan kembali Kereta Api Wisata antara Pemerintah Kota Pariaman,
Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Padang dengan melibatkan pihak Ketiga yakni
PT KAI yang dioperasikan pada tanggal 15 Februari 2007, mengenai pembiayaan
operasional ditanggung oleh ketiga daerah hingga mencapai 100 juta perbulannya.
Selanjutnya ada juga kerjasama antara Departemen Hukum dan HAM dengan
Pemerintah Kota Sawahlunto untuk mendirikan Panti Rehabilitasi NARKOBA, serta
masih banyak lagi daerah yang berinisiatif untuk memulai memprakarsai kerjasama
daerah-daerah maupun dengan pihak ketiga. Namun pada intinya dalam melakukan
kerjasama perlu dipedomani prinsip-prinsip kerjasama daerah agar tujuan yang
dicapai benar-benar memberikan manfaat bagi daerah masing-masing.
Prinsip Kerjasama Daerah
Pelaksanaan kerjasama daerah sebagaimana PP nomor
50/2007 harus memenuhi Prinsip-prinsip sebagai berikut :
a.
Efisiensi;
adalah upaya pemerintah daerah melalui kerja sama untuk menekan biaya guna
memperoleh suatu hasil tertentu atau menggunakan biaya yang sama tetapi dapat
mencapai hasil yang maksimal.
b.
Efektivitas;
adalah upaya pemerintah daerah melalui kerja sama untuk mendorong pemanfaatan
sumber daya para pihak secara optimal dan bertanggungjawab untuk kesejahteraan
masyarakat.
c.
Sinergi;
adalah upaya untuk terwujudnya harmoni antara pemerintah, masyarakat dan swasta
untuk melakukan kerja sama demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
d.
Saling
menguntungkan; adalah pelaksanaan kerja sama harus dapat memberikan keuntungan
bagi masing-masing pihak dan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.
e.
Kesepakatan
bersama; adalah persetujuan para pihak untuk melakukan kerja sama.
f.
Itikad
baik; adalah kemauan para pihak untuk secara sungguh-sungguh melaksanakan kerja
sama.
g.
Mengutamakan
kepentingan nasional dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
adalah seluruh pelaksanaan kerja sama daerah harus dapat memberikan dampak
positif terhadap upaya mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan masyarakat dan
memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
h.
Persamaan
kedudukan; adalah persamaan dalam kesederajatan dan kedudukan hukum bagi para
pihak yang melakukan kerja sama daerah.
i.
Transparansi;
adalah adanya proses keterbukaan dalam kerja sama daerah.
j.
Keadilan;
adalah adanya persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan para pihak dalam
melaksanakan kerja sama daerah.
k.
Kepastian
hukum; adalah bahwa kerja sama yang dilakukan dapat mengikat secara hukum bagi
para pihak yang melakukan kerja sama daerah.
Prinsip-prinsip
tersebut di atas juga merupakan pedoman bagi DPRD dalam pemeriksaan terhadap
rancangan kerjasama daerah yang pembiayaannya akan membebani anggaran APBD
tahun berjalan. Bila rancangan kerjasama daerah tersebut tidak memenuhi
prinsip-prinsip kerjasama, maka DPRD dapat mengembalikan rancangan kerjasama
dengan memberikan saran dan masukan penyempurnaan rancangan perjanjian
kerjasama kepada kepala daerah. Dan selanjutnya rancangan yang disempurnakan
tersebut dapat disetujui DPRD untuk ditandatangani Kepala Daerah. Namun yang
menjadi permasalahan yakni ketika masing-masing DPRD pada daerah yang melakukan
kerjasama memiliki persepsi yang berbeda dalam memahami prinsip yang terkandung
pada rancangan Perjanjian kerjasama tersebut walaupun masing-masing kepala
daerah telah saling memahami terhadap isi perjanjian. Hal ini tentu tidak dapat
dihindari sebagai sesuatu yang dapat dimaklumi, untuk itu diperlukan kearifan
bagi masing-masing daerah untuk lebih melihat tujuan kerjasama dari pada
mempertahankan egoisme masing-masing daerah.
Pemenuhan Kepentingan Daerah
Tidak ada
daerah yang dapat berkembang sendiri tanpa dukungan maupun keberadaan daerah
yang lainnya. Sebagai contoh, pasar atas Bukittinggi tidak akan berkembang bila
tanpa adanya pasokan bordiran mukenah dari Pariaman, pasokan kerajinan tangan
dari Agam dan Payakumbuh, atau pasokan ternak dari Lima Puluh Kota dan Tanah
Datar serta Ikan segar dari Padang maupun beras pulen dari Solok. Demikian pula
dengan WaterBoom Di Sawahlunto, yang tidak mungkin ramai kalau hanya dikunjungi
oleh warganya saja, dan penjual buah markisa di gunung talang yang kebanjiran
pembeli sejak dibukanya Waterboom Sawahlunto. Semua daerah saling memiliki
keterkaitan dan keterikatan satu sama lainnya, dan tanpa disadari –atau tanpa
tidak disadari- ada peluang kerjasama
agar pengembangan potensi yang dimiliki tidak tumpang tindih dengan potensi
daerah lainnya. Untuk itu diperlukan kerjasama daerah.
Tentunya dalam melaksanakan suatu kerjasama antara dua pihak atau lebih
harus diperhitungkan hasil atau manfaat yang didapatkan dari hubungan kerjasama
tersebut. Tidak mungkin salah satu pihak ingin dirugikan dalam hasil akhir dari
kerjasama itu, masing-masing pihak yang melakukan kerjasama dapat dipastikan
memiliki kepentingan yang harus dipenuhi dan diperoleh dari hubungan kerjasama.
Kepentingan
daerah yang paling umum sebagai alasan dilakukannya kerja sama adalah untuk
peningkatan Pendapatan Asli Daerah (uang), selain jasa maupun barang/asset, selain
itu daerah juga berkepentingan agar dalam membangun sarana dan prasarana public
di daerahnya akan semakin terkonsolidasi. Dapat dibayangkan apa yang terjadi
bila masing-masing daerah yang bertetangga membangun sebuah rumah sakit
bertaraf international, atau bersaing dalam membangun water boom atau objek
wisata yang sejenis. Memang dalam era otonomi daerah wajar-wajar saja bila
setiap daerah memacu pertumbuhan daerahnya dengan segala potensi yang
dimilikinya, namun alangkah lebih indahnya bila masing-masing daerah memiliki
ciri khas dan potensi unggulan yang saling menopang dan mendukung kehidupan
ekonomi daerah tetangganya, bukannya malah saling bersaing dengan ego
kedaerahan sendiri-sendiri. Untuk itu, program ‘one village one product’ hendaknya perlu menjadi pemikiran kembali
guna mensiasati dan menghindari terjadinya keseragaman produk unggulan dari
masing-masing daerah.
Dalam menghindari sifat egoisme
daerah tersebut dibutuhkan peran propinsi untuk menjadi fasilitator dan peran
pemerintah bila kerjasama yang dilaksanakan menyangkut propinsi terkait. Selain
itu Pemerintah Propinsi juga dapat bertindak sebagai innovator dan motivator
dalam membangun kerja sama antar daerah di Propinsinya, tanpa menunggu prakarsa
dari masing-masing daerah untuk memulai.
Kerjasama
daerah juga merupakan solusi atas masalah beban pembiayaan yang begitu berat
bagi suatu daerah, sehingga pembiayaan dan resiko dapat ditanggung oleh daerah
yang melakukan kerjasama menjadi lebih ringan. Namun bila demikian halnya
mengapa setiap daerah belum mengoptimalkan kerjasama daerah demi peningkatan
kesejahteraan masyarakatnya ?
Hambatan Kerjasama Daerah
Beberapa
hambatan yang mengakibatkan belum optimalnya dilaksanakan kerjasama daerah
adalah :
- Belum tergalinya potensi yang dimiliki oleh daerah, sehingga daerah belum mengenal sejauhmana kemampuan daerahnya dalam memanfaatkan potensi yang dimiliki.
- Pemerintah daerah belum memahami urusan-urusan yang menjadi kewenangannya yang dapat dijadikan objek kerjasama, dan subjek yang akan diajak melakukan kerjasama serta manfaat yang didapatkan sebagai hasil dari kerjasama.
- Egoisme kedaerahan yang selalu ingin mendominasi dan merasa sebagai daerah yang lebih superior sehingga beranggapan tidak perlunya kerjasama dengan daerah lain, toh permasalahan dapat diselesaikan secara internal daerahnya sendiri.
- Ketakutan akan justru terjadinya konflik antar daerah atau perselisihan dan kerugian bila hasil kerjasama ternyata melenceng dari harapan.
- Political will maupun produk hukum yang dibuat oleh kepala daerah dan DPRD yang tidak sejalan dengan semangat kerjasama daerah.
Mengatasi kebuntuan akan pelaksanaan kerjasama daerah, maka pemerintah
melalui PP 50/2007 memberikan acuan jelas mengenai pelaksanaan kerjasama daerah
yakni sebagai berikut :
1.
Kerjasama
daerah harus dituangkan dalam bentuk perjanjian kerjasama dengan memperhatikan
prinsip-prinsip kerjasama.
2.
Salah
satu kepala daerah dapat memprakarsai kerjasama dan selanjutnya membuat sebuah
rancangan perjanjian kerjasama yang memuat antara lain : subjek kerja sama, objek kerja
sama, ruang lingkup kerja sama, hak dan kewajiban para pihak, jangka waktu
kerja sama, pengakhiran kerja sama, keadaan memaksa dan penyelesaian perselisihan.
3.
Rencana kerjasama daerah yang membebani daerah dan masyarakat harus mendapat
persetujuan dari DPRD apabila biaya belum teranggarkan dalam APBD tahun
berjalan.
4.
Kerjasama daerah yang dilakukan dalam satu propinsi terjadi perselisihan
dapat diselesaikan dengan cara musyawarah ataupun melalui keputusan gubernur.
5.
Kerjasama daerah tidak berakhir karena pergantian kepala daerah, artinya
bahwa kerjasama darah dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan jangka waktu yang
diatur dalam perjanjian kerjasama dan tidak terpengaruh oleh adanya pergantian
kepala daerah.
6.
Masing-masing kepala daerah yang terkait dapat membentuk Badan Kerjasama
daerah secara bersama dalam hal membantu kepala daerah melaksanakan kerjasama
daerah yang membutuhkan waktu paling sedikit lima tahun, dengan pembiayaan
ditanggung bersama sesuai perjanjian kerjasama. Namun Badan kerjasama bukan
termasuk perangkat daerah atau di luar SOTK Pemerintah daerah.
Kerjasama Daerah-Luar Negeri
Dari 28
pasal pada PP nomor 50/2007 hanya mengatur hubungan teknis pelaksanaan
kerjasama daerah dalam lingkup kesepakatan antara gubernur dengan gubernur atau
gubernur dengan bupati/walikota atau antara bupati/walikota dengan
bupati/walikota yang lain, dan atau gubernur, bupati/walikota dengan pihak
ketiga, hanya itu. lalu bagaimana dengan kerjasama daerah dengan luar negeri ?
toh saat ini banyak daerah yang telah berinisiatif melakukan kerjasama dengan
luar negeri. Di bidang pertambangan, daerah yang
banyak bekerja sama dengan negara luar adalah Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Untuk bidang pariwisata didominasi oleh Bali dan Yogyakarta. Untuk bidang ekonomi-perdagangan,
daerah-daerah di Jawa dan Sumatera menjadi incaran negara asing untuk bekerja
sama.
Bagaimana
bila terjadi perselisihan dalam hubungan kerjasama daerah dan luar negeri ?
agaknya PP nomor 50/2007 belum mencermati hal ini. Namun dalam kajian lebih
khusus secara umumnya perlunya koordinasi antara daerah yang akan melakukan
kerjasama dengan luar negeri kepada Departemen Luar Negeri (menyangkut masalah
yuridis, politik, maupun keamanan) disamping berkoordinasi dengan Departemen
Dalam Negeri (menyangkut fasilitasi subjek kerjasama) dan Departemen yang
terkait (menyangkut fasilitasi objek kerjasama) dengan objek kerjasama serta
Pemerintah Propinsi selaku wakil pemerintah di daerah juga harus dilibatkan
dalam membuat rencana kerjasama dengan luar negeri tersebut, sehingga bila
terjadi perselisihan dapat di atasi oleh pejabat yang berwenang dari
masing-masing departemen terkait.
Kemampuan
dan potensi yang dimiliki oleh daerah tentu berbeda. Tergantung dengan
paradigma apa daerah memandang potensi yang dimilikinya, bisa saja kelemahan
suatu daerah akan diterjemahkan suatu peluang bagi Pemerintahnya demikian pula
sebaliknya, sehingga di era otonomi daerah ini yang dibutuhkan bukan Pemerintah
Daerah yang hanya menghabiskan APBDnya saja namun Bagaimana Pemerintah Daerah
dapat berkreasi dan membuat terobosan baru dan beritikad baik demi mengatasi
beratnya beban yang dipikul oleh APBD-nya. Salah satu terobosan itu adalah
dengan melaksanakan kerjasama daerah.
*******
*Telah dimuat di Harian Pagi Singgalang, Rabu 28 November 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar