Senin, 20 Januari 2014

WAKTU*




“TIME IS MONEY”
Demikian peribahasa Inggris yang menganggap arti sebuah waktu yang sama bernilainya dengan uang. Bagi orang Inggris, Setiap detik dalam hidup musti sebanding dengan nilai dolar yang akan diperolehnya. Terlambat masuk kantor, tidak menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, apalagi bolos kerja sudah pasti akan terkena pemotongan gaji atau malah bayar denda. Sedemikian rupa hingga mereka selalu melakukan kegiatan dengan terencana, terjadwal dan disiplin. Kesemuanya dilakukan agar waktu tidak terbuang percuma.
Tentu pernah kita saksikan baik langsung dan tak langsung bagaimana mereka pergunakan waktu agar tak terbuang percuma. Sambil menunggu bis mereka baca buku, naik lift baca Koran, pergi bergegas ke kantor, hingga selalu menghidupkan alarm untuk mengingatkan jadwal-jadwal pertemuan penting.
Salah seorang yang terkenal menghargai waktu adalah Benjamin Franklin (1706-1790). Tokoh dari Amerika ini dikenal selalu mengatakan “Time Is Money” guna memotivasi diri sekaligus karyawannya. Suatu ketika, Franklin yang merupakan pemilik toko buku sekaligus penerbit ini terlibat tawar menawar dengan pembeli buku. Padahal Franklin saat itu sedang rapat, namun karena desakan pembeli yang ingin menawar buku langsung kepada Franklin, terpaksa pegawai toko melaporkannya pada Franklin.
Pembeli Buku             : Berapa harga buku ini?
Franklin                       : 1 dolar 25 sen
Pembeli Buku             : Loh.. tapi pegawai anda mengatakan hanya 1 dolar
Franklin                       : 25 sen karena anda mengganggu waktu rapat saya
Pembeli Buku             : Ayolah..Bisakah harganya lebih murah lagi?
Franklin                       : 1 dolar 50 sen
Pembeli Buku             : Hah..? mengapa bertambah mahal ?
Franklin                       : Ini karena anda telah menyita waktu saya untuk
  tawar menawar..
Tanpa basa basi lagi, si pembeli buku langsung menyerahkan 1.50 dolar kepada Franklin.      

Demikian kisah Benjamin Franklin yang sudah tentu acap kita dengar.  Baginya “time is money” tidak saja dibibir, namun benar-benar diaplikasikan dalam hidupnya. Bagi Franklin, orang yang menyita waktunya sama dengan mencuri uangnya. Artinya Franklin selalu menempa dirinya untuk selalu disiplin waktu.
Cerita soal ‘disiplin waktu’, Bangsa Jepang adalah “juaranya”. Tak heran banyak yang menilai orang jepang seperti robot yang sudah diprogram untuk mengerjakan sesuatu sesuai waktunya. Positifnya, sikap ini memunculkan budaya hidup bersih, menghormati yang lebih tua, bertanggung jawab, serta berani mengakui kesalahan dan lain sebagainya. Seluruh efektifitas dan efisiensi yang terjadi ini, lahir hanya dari gaya hidup yang sangat menghargai waktu.  
Bagi kita orang muslim, kita percaya konteks waktu ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-‘Asr. Bahwa dalam surah ini, Allah  bersumpah demi masa/waktu. Manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran. Ini menunjukan bahwa Allah memberi perhatian yang sangat besar terhadap waktu, agar tidak ada penyesalan dan kerugian bagi umat-Nya di kemudian hari.
Nabi Muhammad SAW juga mewanti-wanti kita agar memperhatikan soal waktu ini. Rasullullah bersabda, manusia yang beruntung adalah manusia yang hari ini lebih baik dari hari kemarin. Manusia yang merugi adalah manusia yang hari ini sama dengan kemarin, dan celakalah manusia yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang beruntung.
Namun, terkadang atau bahkan acap kali kita kesulitan untuk menjadi orang yang beruntung tersebut. Kadang tanpa disadari, ternyata kita masih berada dalam golongan orang yang merugi, atau bahkan celaka. Hal ini karena -hari demi hari- pikiran, daya dan upaya kita ternyata monoton, tanpa kreatifitas, no-inovasi, selalu berpatok pada ‘apa yang pernah kita lakukan’, tidak kepada ‘apa yang belum dilakukan’.
Analoginya seperti ini, seorang anak yang mengatakan pada ayahnya ‘saya sudah selesai belajar’ tentu akan mendapatkan nilai ujian yang lebih rendah dibanding anak yang menganggap dirinya masih perlu terus belajar, karena anak yang ‘sudah selesai belajar’ menganggap dirinya tak perlu belajar lagi.
Sama halnya dengan seorang PNS yang menganggap dirinya ‘sudah bekerja dengan baik’ tentu secara kasat mata akan bekerja alakadarnya saja. Masuk kantor, bekerja kalau disuruh atasan, kalau pimpinan tidak ada maka dia pun meliburkan diri. Akan berbeda bila dibandingkan dengan PNS yang menganggap dirinya ‘masih belum memberikan apa-apa bagi negaranya’, walau setiap hari ada saja kerja yang dibuatnya. PNS jenis ini, tak ingin berpuas diri, tiada hari tanpa melakukan sesuatu yang baru.
Saya masih ingat cerita Prof. Dr. Ryaas Rasyid ketika memberikan kuliah sewaktu saya masih di STPDN. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini mengisahkan masa awal penugasannya sebagai staf di Kantor Camat. Waktu itu, mantan Menteri PAN dan Menteri Negara OTODA ini hanya ditugasi membuat amplop surat, tidak boleh buat kerja yang lain. Rasyid muda tidak berkecil hati, tiap hari dia membuat amplop sebanyak-banyaknya selama jam kerja, alhasil ‘produksi’ amplop di kantor camatnya meningkat. Akhirnya pak camat membiarkan Ryaas menyalurkan energinya untuk bekerja dan berkreasi mengelola administrasi, beberapa bulan setelah itu, Ryaas dipromosikan menjadi lurah. Keinginannya untuk menjadi ‘orang-orang yang beruntung’ terus menggebu dan membawa Ryaas menikmati manisnya beasiswa hingga S-2 dan S-3 ke Amerika.
Kisah Ryaas hanya segelintir kecil contoh bagaimana orang yang pandai mensiasati waktu akan memperoleh keberuntungan hidup. Saya yakin, masih banyak contoh lain di sekitar kita yang mudah-mudahan menjadi pelajaran untuk meningkatkan kualitas diri kita ke depan.
Soal waktu adalah sebuah misteri. Karena tidak ada seorangpun yang mampu memastikan apa yang akan terjadi satu detik akan datang karena jelas merupakan rahasia Allah. Manusia merencanakan, Allah yang menentukan. Itulah makanya, kiranya tepat kalau di penghujung tahun 2010 ini yang juga bertepatan awal tahun 1432 H, kita kembali intropeksi diri, apakah waktu-waktu kita yang telah berlalu memberikan arti terhadap peningkatan kualitas diri kita? Atau justru sebaliknya, waktu kita sudah terbuang percuma dan tiada memberi manfaat dalam diri kita, tapi apa daya, waktu tak dapat berputar kembali, tibalah penyesalan yang terus menghantui.   
Namun yang jelas, jangan terlalu hanyut dengan penyesalan, lebih baik lagi penyesalan dapat dikelola menjadi pelajaran, kata orang bijak “ambil hikmahnya” karena masih banyak detik-detik yang perlu kita isi dan jalani dengan sesuatu yang lebih baik lagi, lebih terencana serta lebih berkah, tidak saja bagi diri sendiri tetapi juga untuk orang-orang disekitar kita.
Selamat Tahun Baru Islam 1432 H dan Tahun Baru Masehi 2011.


*******
 
*Telah Terbit di Majalah Tabuik Edisi IV Desember 2010



Tidak ada komentar:

Posting Komentar