“TIME IS MONEY”
Demikian
peribahasa Inggris yang menganggap arti sebuah waktu yang sama bernilainya
dengan uang. Bagi orang Inggris, Setiap detik dalam hidup musti sebanding
dengan nilai dolar yang akan diperolehnya. Terlambat masuk kantor, tidak
menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, apalagi bolos kerja sudah pasti akan
terkena pemotongan gaji atau malah bayar denda. Sedemikian rupa hingga mereka
selalu melakukan kegiatan dengan terencana, terjadwal dan disiplin. Kesemuanya
dilakukan agar waktu tidak terbuang percuma.
Tentu
pernah kita saksikan baik langsung dan tak langsung bagaimana mereka pergunakan
waktu agar tak terbuang percuma. Sambil menunggu bis mereka baca buku, naik
lift baca Koran, pergi bergegas ke kantor, hingga selalu menghidupkan alarm
untuk mengingatkan jadwal-jadwal pertemuan penting.
Salah
seorang yang terkenal menghargai waktu adalah Benjamin Franklin (1706-1790).
Tokoh dari Amerika ini dikenal selalu mengatakan “Time Is Money” guna memotivasi diri sekaligus karyawannya. Suatu
ketika, Franklin yang merupakan pemilik toko buku sekaligus penerbit ini
terlibat tawar menawar dengan pembeli buku. Padahal Franklin saat itu sedang
rapat, namun karena desakan pembeli yang ingin menawar buku langsung kepada
Franklin, terpaksa pegawai toko melaporkannya pada Franklin.
Pembeli Buku :
Berapa harga buku ini?
Franklin : 1 dolar 25 sen
Pembeli Buku :
Loh.. tapi pegawai anda mengatakan hanya 1 dolar
Franklin : 25 sen karena anda
mengganggu waktu rapat saya
Pembeli Buku :
Ayolah..Bisakah harganya lebih murah lagi?
Franklin : 1 dolar 50 sen
Pembeli Buku :
Hah..? mengapa bertambah mahal ?
Franklin : Ini karena anda telah
menyita waktu saya untuk
tawar menawar..
Tanpa basa basi
lagi, si pembeli buku langsung menyerahkan 1.50 dolar kepada Franklin.
Demikian kisah
Benjamin Franklin yang sudah tentu acap kita dengar. Baginya “time is money” tidak saja dibibir,
namun benar-benar diaplikasikan dalam hidupnya. Bagi Franklin, orang yang
menyita waktunya sama dengan mencuri uangnya. Artinya Franklin selalu menempa
dirinya untuk selalu disiplin waktu.
Cerita
soal ‘disiplin waktu’, Bangsa Jepang adalah “juaranya”. Tak heran banyak yang
menilai orang jepang seperti robot yang sudah diprogram untuk mengerjakan
sesuatu sesuai waktunya. Positifnya, sikap ini memunculkan budaya hidup bersih,
menghormati yang lebih tua, bertanggung jawab, serta berani mengakui kesalahan
dan lain sebagainya. Seluruh efektifitas dan efisiensi yang terjadi ini, lahir
hanya dari gaya hidup yang sangat menghargai waktu.
Bagi
kita orang muslim, kita percaya konteks waktu ini sebagaimana firman Allah SWT
dalam Surah Al-‘Asr. Bahwa dalam surah ini, Allah bersumpah demi masa/waktu. Manusia berada
dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan
serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.
Ini menunjukan bahwa Allah memberi perhatian yang sangat besar terhadap waktu,
agar tidak ada penyesalan dan kerugian bagi umat-Nya di kemudian hari.
Nabi
Muhammad SAW juga mewanti-wanti kita agar memperhatikan soal waktu ini.
Rasullullah bersabda, manusia yang beruntung adalah manusia yang hari ini lebih
baik dari hari kemarin. Manusia yang merugi adalah manusia yang hari ini sama
dengan kemarin, dan celakalah manusia yang hari ini lebih buruk dari hari
kemarin. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang beruntung.
Namun,
terkadang atau bahkan acap kali kita kesulitan untuk menjadi orang yang
beruntung tersebut. Kadang tanpa disadari, ternyata kita masih berada dalam
golongan orang yang merugi, atau bahkan celaka. Hal ini karena -hari demi hari-
pikiran, daya dan upaya kita ternyata monoton, tanpa kreatifitas, no-inovasi, selalu berpatok pada ‘apa
yang pernah kita lakukan’, tidak kepada ‘apa yang belum dilakukan’.
Analoginya
seperti ini, seorang anak yang mengatakan pada ayahnya ‘saya sudah selesai
belajar’ tentu akan mendapatkan nilai ujian yang lebih rendah dibanding anak
yang menganggap dirinya masih perlu terus belajar, karena anak yang ‘sudah
selesai belajar’ menganggap dirinya tak perlu belajar lagi.
Sama
halnya dengan seorang PNS yang menganggap dirinya ‘sudah bekerja dengan baik’
tentu secara kasat mata akan bekerja alakadarnya saja. Masuk kantor, bekerja
kalau disuruh atasan, kalau pimpinan tidak ada maka dia pun meliburkan diri.
Akan berbeda bila dibandingkan dengan PNS yang menganggap dirinya ‘masih belum
memberikan apa-apa bagi negaranya’, walau setiap hari ada saja kerja yang
dibuatnya. PNS jenis ini, tak ingin berpuas diri, tiada hari tanpa melakukan
sesuatu yang baru.
Saya
masih ingat cerita Prof. Dr. Ryaas Rasyid ketika memberikan kuliah sewaktu saya
masih di STPDN. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini mengisahkan masa awal
penugasannya sebagai staf di Kantor Camat. Waktu itu, mantan Menteri PAN dan
Menteri Negara OTODA ini hanya ditugasi membuat amplop surat, tidak boleh buat
kerja yang lain. Rasyid muda tidak berkecil hati, tiap hari dia membuat amplop
sebanyak-banyaknya selama jam kerja, alhasil ‘produksi’ amplop di kantor
camatnya meningkat. Akhirnya pak camat membiarkan Ryaas menyalurkan energinya
untuk bekerja dan berkreasi mengelola administrasi, beberapa bulan setelah itu,
Ryaas dipromosikan menjadi lurah. Keinginannya untuk menjadi ‘orang-orang yang
beruntung’ terus menggebu dan membawa Ryaas menikmati manisnya beasiswa hingga
S-2 dan S-3 ke Amerika.
Kisah
Ryaas hanya segelintir kecil contoh bagaimana orang yang pandai mensiasati
waktu akan memperoleh keberuntungan hidup. Saya yakin, masih banyak contoh lain
di sekitar kita yang mudah-mudahan menjadi pelajaran untuk meningkatkan
kualitas diri kita ke depan.
Soal
waktu adalah sebuah misteri. Karena tidak ada seorangpun yang mampu memastikan
apa yang akan terjadi satu detik akan datang karena jelas merupakan rahasia
Allah. Manusia merencanakan, Allah yang menentukan. Itulah makanya, kiranya
tepat kalau di penghujung tahun 2010 ini yang juga bertepatan awal tahun 1432
H, kita kembali intropeksi diri, apakah waktu-waktu kita yang telah berlalu
memberikan arti terhadap peningkatan kualitas diri kita? Atau justru sebaliknya,
waktu kita sudah terbuang percuma dan tiada memberi manfaat dalam diri kita,
tapi apa daya, waktu tak dapat berputar kembali, tibalah penyesalan yang terus
menghantui.
Namun
yang jelas, jangan terlalu hanyut dengan penyesalan, lebih baik lagi penyesalan
dapat dikelola menjadi pelajaran, kata orang bijak “ambil hikmahnya” karena
masih banyak detik-detik yang perlu kita isi dan jalani dengan sesuatu yang
lebih baik lagi, lebih terencana serta lebih berkah, tidak saja bagi diri
sendiri tetapi juga untuk orang-orang disekitar kita.
Selamat Tahun
Baru Islam 1432 H dan Tahun Baru Masehi 2011.
*******
*Telah Terbit di Majalah Tabuik Edisi IV Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar