Senin, 20 Januari 2014

ANTARA POPULARITAS, MORALITAS DAN KUALITAS*



 

Rasulullah SAW bersabda ; “Apabila suatu amanah telah disia-siakan, maka tunggulah saat kehancurannya”. Para sahabat bertanya, "Apakah yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanah?” Beliau menjawab, "Apabila suatu urusan telah diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya. Maka tunggulah kehancurannya." (HR Bukhari).

Popularitas, Moralitas dan Kualitas Calon Kepala Daerah saat ini memang hangat-hangatnya diperbincangkan. Di layar kaca, radio, media cetak hingga di lapau-lapau, sambil menikmati secangkir kopi, masyarakat membicarakan para jagoannya. Tidak saja di Sumatera Barat yang menyelenggarakan pilkada 30 Juni 2010 dengan 13 di tingkat kabupaten/kota plus 1 pada tingkat Propinsi, namun di sejumlah daerah di Indonesia juga  menggelar perhelatan yang serupa, semua memperdebatkan tiga soal itu, sudahkah dimiliki sang Cakada (Calon Kepala Daerah)?
Popularitas, moralitas dan kualitas peserta Pilkada semakin hangat dibicarakan tatkala Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengusulkan penambahan syarat pengalaman di bidang pemerintahan bagi calon kepala daerah/wakil kepala daerah dan mempertegas syarat tidak cacat moral yang harusnya sudah mendapatkan perhatian KPU ketika menerima berkas pendaftaran para pasangan calon kepala daerah. Usulan ini sebagai bahan pertimbangan dalam Revisi UU nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, khususnya pada pasal yang mengatur persyaratan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
POPULARITAS
Banyak yang berpendapat bahwa untuk menjadi seorang kepala daerah yang dibutuhkan ialah popularitas. Teorinya, semakin populer ia, maka semakin terpilihlah calon tersebut. Tak ayal, berlakulah cara memperoleh popularitas instan. Berbatang-batang pohon menjadi sasaran empuk bertenggernya poster-poster si calon. Antara tiang listrik, satu dengan lainnya membentang berbagai spanduk yang menarik perhatian pengguna jalan, untuk sejenak tertegun memperlambat kendaraannya demi memperhatikan senyum calon pejabat publik. Media cetakpun tak ketinggalan kebanjiran order, tiap halamannya dipastikan bertebaran berita kegiatan promosi diri calon kepala daerah. Semuanya demi mengejar rating - demi popularitas belaka-.
Dari sisi legalitas, memang popularitas sudah menjadi konsekwensi dalam proses Pilkada langsung. Elektabitas calon pejabat publik ini langsung berada di tangan rakyat. Hal ini tentu menuntut calon kepala daerah harus mengenal dan dikenal konstituennya sebagaimana ditegaskan dalam pasal 58 UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Artinya untuk menjadi cakada, tidak saja demi dikenal masyarakat namun juga harus mengenal masyarakat. Namun realitanya, justru yang lebih banyak terlihat adalah upaya cakada untuk dikenal masyarakat. Sedangkan upaya mengenal masyarakat? Nanti, tunggu waktu kampanye atau kalau sudah terpilih saja.
Untuk dikenal masyarakat perlu popularitas. Dan profesi yang mudah mencapai popularitas memang tidak dipungkiri adalah selebritis. Mereka dapat muncul saban hari di televisi, radio, web site, koran, majalah dan seterusnya. Kalau orang lain membayar untuk mempromosikan diri di media cetak/elektronik tersebut, sedangkan selebritis justru mendapatkan penghasilan dari sana. Selebritis sudah memiliki fans yang fanatik terkait peran sandiwara yang sering dimainkannya. Bahkan pemeran antagonis pun memiliki peluang besar mendapatkan dukungan masarakat. Pokoknya soal popularitas, selebritislah bintangnya.
Sebut saja ; Julia Perez (Calon Wakil Bupati Pacitan), Maria Eva (Calon Wakil Bupati Sidoarjo), Emilia Contessa (Calon Bupati Banyuwangi), Ingrid Kansil (Calon Bupati Cianjur), Venna Melinda (Calon Bupati Blitar), Ratih Sanggarwati (Calon Wakil Bupati Ngawi) dan Helmi Yahya (Calon Bupati Ogan Ilir ) yang sedang berlaga di daerah pemilihan masing-masing. Mereka bisa dikatakan hanya bermodalkan popularitas belaka. Ilmu dan pengalaman kerja apa yang akan dipakai kalau ternyata benar-benar terpilih sebagai pejabat publik.. itu masalah nomor 16.
Moralitas
Pasal 58 UU nomor 22 tahun 2004 juga menyebutkan bahwa Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak pernah melakukan perbuatan tercela, yang dijelaskan pada pasal penjelasan sebagai tidak pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan, dan norma adat antara lain seperti judi, mabuk, pecandu narkoba dan zina.
Orang yang terbukti melakukan perbuatan tercela alias cacat moral tidak lagi bisa mendaftar untuk mengikuti Pilkada. Ibarat pepatah sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya. Memang seharusnya tak ada celah bagi mereka yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Track record, rekam jejak selama ini perlu juga diperhatikan karena Kepala daerah merupakan panutan masyarakat dan sekaligus kebanggaan bagi daerahnya.
Kualitas  
Indikator tingkat pendidikan dan pengalaman kerja seharusnya menjadi syarat mutlak bagi seluruh profesi manapun. Perusahaan penerbangan yang membuka lapangan kerja untuk profesi seorang Pilot misalnya, tentu akan mensyaratkan pendidikan pilot dan diutamakan calon yang telah berpengalaman sebagai pilot untuk diterima bekerja di perusahaan penerbangan itu.  Saya yakin, kita semua bakalan tidak ada yang mau naik pesawat terbang, ketika mengetahui ternyata pilotnya cuma tamatan SMA yang belum pernah sama sekali menerbangkan pesawat.
Contoh lainnya, sebuah rumah sakit membuka lowongan penerimaan untuk posisi dokter spesialis jantung. Sekali lagi, tentu jelas-jelas yang akan diterima adalah seorang dokter yang berijazah spesialis jantung, dan diutamakan berpengalaman di bidang kedokteran, khususnya penanganan penyakit jantung. Saya pikir, tidak ada seorang pasien sakit jantung di dunia ini, yang bersedia jantungnya di bedah dan di obok-obok oleh seorang yang sama sekali bukan lulusan kedokteran dan belum pernah melakukan tindakan medis sekali pun.
Pendidikan dan pengalaman kerja selalu dijadikan indikator utama dalam meletakan seseorang dalam posisi pekerjaannya. Dan penekanan kedua hal ini, tidak ada kait-mengkaitnya dengan persoalan pelanggaran HAM. Apalagi bagi pekerjaan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Ada konsekwensi yang sangat besar bila sebuah profesi tidak berada ditangan orang yang tepat. Ini bisa berbahaya.
Sama halnya dengan profesi kepala daerah. Baik gubernur, bupati dan walikota adalah pekerjaan yang memiliki konsekwensi besar bila tidak dijabat orang yang memiliki kualitas untuk itu. Kalau seorang pasien terkena mall praktek dari dokter gadungan, tentu yang menanggung akibatnya hanya diri pasien tersebut, atau paling tidak hingga tingkat keluarganya. Namun kalau salah pilih kepala daerah, maka yang menanggung derita adalah ribuan bahkan jutaan rakyat selama lima tahun bahkan lebih.
Untuk itu, soal pendidikan dan pengalaman seorang calon pejabat publik ini bukan main-main. Kualitas pimpinan menentukan produktivitas organisasi, dan terlalu riskan rasanya bila dalam mengurus roda pemerintahan diserahkan pada seseorang yang bukan berpendidikan memadai atau bahkan belum pernah sekalipun mencicipi suka duka organisasi pemerintahan.
Saat yang tepat kiranya, dalam rangka mengajukan revisi UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, selain menambahkan syarat berpengalaman di bidang pemerintahan sebagaimana yang diutarakan Mendagri Gamawan Fauzi, juga perlu di revisi syarat pendidikan kepala daerah yang semula hanya minimal lulusan SMA menjadi paling tidak lulusan D3 atau D-4 untuk Bupati dan walikota dan lulusan S1 untuk jabatan Gubernur.
Dengan kualitas yang baik, tentu seorang kepala daerah akan lebih mengerti dan memahami tugas pokok dan fungsinya, yakni memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan masyarakatnya dapat diwujudkan.

*******

*telah dimuat di harian Padang Ekspres, Jumat 21 Mei 2010)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar