Rasulullah SAW bersabda ; “Apabila suatu amanah telah disia-siakan, maka
tunggulah saat kehancurannya”. Para sahabat bertanya, "Apakah yang dimaksud dengan menyia-nyiakan
amanah?” Beliau menjawab, "Apabila suatu urusan telah diserahkan kepada
orang yang bukan ahlinya. Maka tunggulah kehancurannya." (HR Bukhari).
Popularitas, Moralitas dan Kualitas Calon Kepala
Daerah saat ini memang hangat-hangatnya diperbincangkan. Di layar kaca, radio,
media cetak hingga di lapau-lapau, sambil menikmati secangkir kopi, masyarakat
membicarakan para jagoannya. Tidak saja di Sumatera Barat yang menyelenggarakan
pilkada 30 Juni 2010 dengan 13 di tingkat kabupaten/kota plus 1 pada tingkat
Propinsi, namun di sejumlah daerah di Indonesia juga menggelar perhelatan yang serupa, semua
memperdebatkan tiga soal itu, sudahkah dimiliki sang Cakada (Calon Kepala
Daerah)?
Popularitas, moralitas dan kualitas
peserta Pilkada semakin hangat dibicarakan tatkala Menteri Dalam Negeri Gamawan
Fauzi mengusulkan penambahan syarat pengalaman di bidang pemerintahan bagi
calon kepala daerah/wakil kepala daerah dan mempertegas syarat tidak cacat
moral yang harusnya sudah mendapatkan perhatian KPU ketika menerima berkas
pendaftaran para pasangan calon kepala daerah. Usulan ini sebagai bahan
pertimbangan dalam Revisi UU nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah,
khususnya pada pasal yang mengatur persyaratan kepala daerah dan wakil kepala
daerah.
POPULARITAS
Banyak yang berpendapat bahwa untuk menjadi
seorang kepala daerah yang dibutuhkan ialah popularitas. Teorinya, semakin
populer ia, maka semakin terpilihlah calon tersebut. Tak ayal, berlakulah cara
memperoleh popularitas instan. Berbatang-batang pohon menjadi sasaran empuk
bertenggernya poster-poster si calon. Antara tiang listrik, satu dengan lainnya
membentang berbagai spanduk yang menarik perhatian pengguna jalan, untuk
sejenak tertegun memperlambat kendaraannya demi memperhatikan senyum calon
pejabat publik. Media cetakpun tak ketinggalan kebanjiran order, tiap halamannya dipastikan bertebaran berita kegiatan
promosi diri calon kepala daerah. Semuanya demi mengejar rating - demi
popularitas belaka-.
Dari sisi legalitas, memang popularitas
sudah menjadi konsekwensi dalam proses Pilkada langsung. Elektabitas calon pejabat publik ini langsung
berada di tangan rakyat. Hal ini tentu menuntut calon kepala daerah harus
mengenal dan dikenal konstituennya sebagaimana ditegaskan dalam pasal 58 UU
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Artinya untuk menjadi cakada, tidak saja demi
dikenal masyarakat namun juga harus mengenal masyarakat. Namun realitanya,
justru yang lebih banyak terlihat adalah upaya cakada untuk dikenal masyarakat.
Sedangkan upaya mengenal masyarakat? Nanti, tunggu waktu kampanye atau kalau
sudah terpilih saja.
Untuk dikenal masyarakat perlu
popularitas. Dan profesi yang mudah mencapai popularitas memang tidak
dipungkiri adalah selebritis. Mereka dapat muncul saban hari di televisi,
radio, web site, koran, majalah dan seterusnya. Kalau orang lain membayar untuk
mempromosikan diri di media cetak/elektronik tersebut, sedangkan selebritis
justru mendapatkan penghasilan dari sana. Selebritis sudah memiliki fans yang
fanatik terkait peran sandiwara yang sering dimainkannya. Bahkan pemeran
antagonis pun memiliki peluang besar mendapatkan dukungan masarakat. Pokoknya
soal popularitas, selebritislah bintangnya.
Sebut saja ; Julia Perez (Calon Wakil
Bupati Pacitan), Maria Eva (Calon Wakil Bupati Sidoarjo), Emilia Contessa
(Calon Bupati Banyuwangi), Ingrid Kansil (Calon Bupati Cianjur), Venna Melinda
(Calon Bupati Blitar), Ratih Sanggarwati (Calon Wakil Bupati Ngawi) dan Helmi
Yahya (Calon Bupati Ogan Ilir ) yang sedang berlaga di daerah pemilihan
masing-masing. Mereka bisa dikatakan hanya bermodalkan popularitas belaka. Ilmu
dan pengalaman kerja apa yang akan dipakai kalau ternyata benar-benar terpilih
sebagai pejabat publik.. itu masalah nomor 16.
Moralitas
Pasal 58 UU nomor 22 tahun 2004 juga menyebutkan
bahwa Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak pernah melakukan
perbuatan tercela, yang dijelaskan pada pasal penjelasan sebagai tidak pernah
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan, dan
norma adat antara lain seperti judi, mabuk, pecandu narkoba dan zina.
Orang yang terbukti melakukan perbuatan
tercela alias cacat moral tidak lagi bisa mendaftar untuk mengikuti Pilkada.
Ibarat pepatah sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya. Memang
seharusnya tak ada celah bagi mereka yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala
daerah. Track record, rekam jejak
selama ini perlu juga diperhatikan karena Kepala daerah merupakan panutan
masyarakat dan sekaligus kebanggaan bagi daerahnya.
Kualitas
Indikator tingkat pendidikan dan pengalaman kerja
seharusnya menjadi syarat mutlak bagi seluruh profesi manapun. Perusahaan
penerbangan yang membuka lapangan kerja untuk profesi seorang Pilot misalnya,
tentu akan mensyaratkan pendidikan pilot dan diutamakan calon yang telah
berpengalaman sebagai pilot untuk diterima bekerja di perusahaan penerbangan
itu. Saya yakin, kita semua bakalan
tidak ada yang mau naik pesawat terbang, ketika mengetahui ternyata pilotnya
cuma tamatan SMA yang belum pernah sama sekali menerbangkan pesawat.
Contoh lainnya, sebuah rumah sakit membuka
lowongan penerimaan untuk posisi dokter spesialis jantung. Sekali lagi, tentu
jelas-jelas yang akan diterima adalah seorang dokter yang berijazah spesialis
jantung, dan diutamakan berpengalaman di bidang kedokteran, khususnya
penanganan penyakit jantung. Saya pikir, tidak ada seorang pasien sakit jantung
di dunia ini, yang bersedia jantungnya di bedah dan di obok-obok oleh seorang
yang sama sekali bukan lulusan kedokteran dan belum pernah melakukan tindakan
medis sekali pun.
Pendidikan dan pengalaman kerja selalu
dijadikan indikator utama dalam meletakan seseorang dalam posisi pekerjaannya.
Dan penekanan kedua hal ini, tidak ada kait-mengkaitnya dengan persoalan
pelanggaran HAM. Apalagi bagi pekerjaan yang menyangkut hajat hidup orang
banyak. Ada konsekwensi yang sangat besar bila sebuah profesi tidak berada
ditangan orang yang tepat. Ini bisa berbahaya.
Sama halnya dengan profesi kepala daerah.
Baik gubernur, bupati dan walikota adalah pekerjaan yang memiliki konsekwensi
besar bila tidak dijabat orang yang memiliki kualitas untuk itu. Kalau seorang
pasien terkena mall praktek dari dokter gadungan, tentu yang menanggung
akibatnya hanya diri pasien tersebut, atau paling tidak hingga tingkat
keluarganya. Namun kalau salah pilih kepala daerah, maka yang menanggung derita
adalah ribuan bahkan jutaan rakyat selama lima tahun bahkan lebih.
Untuk itu, soal pendidikan dan pengalaman
seorang calon pejabat publik ini bukan main-main. Kualitas pimpinan menentukan
produktivitas organisasi, dan terlalu riskan rasanya bila dalam mengurus roda
pemerintahan diserahkan pada seseorang yang bukan berpendidikan memadai atau
bahkan belum pernah sekalipun mencicipi suka duka organisasi pemerintahan.
Saat yang tepat kiranya, dalam rangka
mengajukan revisi UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, selain
menambahkan syarat berpengalaman di bidang pemerintahan sebagaimana yang
diutarakan Mendagri Gamawan Fauzi, juga perlu di revisi syarat pendidikan
kepala daerah yang semula hanya minimal lulusan SMA menjadi paling tidak
lulusan D3 atau D-4 untuk Bupati dan walikota dan lulusan S1 untuk jabatan
Gubernur.
Dengan kualitas yang baik, tentu seorang
kepala daerah akan lebih mengerti dan memahami tugas pokok dan fungsinya, yakni
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan masyarakatnya dapat diwujudkan.
*******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar