Pesta demokrasi tingkat lokal di Sumatera Barat
pada tahun 2008 ini akan berlangsung di empat daerah yakni Kota Sawahlunto,
Pariaman, Padang Panjang dan Padang. Ke-empat Kota itu akan menyelenggarakan
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk memilih
Walikota dan Wakil Walikota Periode 2008-2013.
Dalam proses Pilkada tersebut dapat
ditemui beberapa oknum PNS yang terlibat langsung maupun tak langsung terjun
sebagai tim sukses. Secara terang-terangan ada pula yang menunjukkan loyalitas
kepada pribadi-pribadi calon kepala daerah. Mereka dengan segala cara berusaha
agar jagoannya menang dalam Pilkada, dengan segala resiko dan keuntungan yang
akan mereka terima.
Dengan berperan sebagai tim sukses, mereka
berharap memiliki peluang menduduki jabatan basah, mendapatkan fasilitas serta
tunjangan-tunjangan lainnya sebagai timbal balik usahanya membantu pemenangan
kepala daerah.
Harapan itu tak bisa dipungkiri mengingat
posisi kepala daerah yang sangat strategis dan mendominasi berbagai kebijakan
kepegawaian daerah mulai dari kewenangan mengatur struktur organisasi,
pengusulan kenaikan pangkat, pengisian jabatan, pemberian fasilitas kedinasan,
tunjangan-tunjangan, honor, hingga menetapkan reward terhadap Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang dinilai berprestasi
dan punishment bagi PNS yang dianggap
lalai.
Sejatinya, PNS merupakan mesin utama untuk
menggerakkan birokrasi. PNS adalah pelaksana peraturan dan perundangan yang
telah ditetapkan, memberikan pelayanan kepada masyarakat dan menjalankan roda
pemerintahan. Namun bila PNS itu sendiri menjadi terkotak-kotak, berpihak pada
salah satu calon, tentu akan mengganggu idealisme sebuah sistem birokrasi. Ini
adalah masalah yang tak bisa dianggap remeh.
Secara konstitusional telah dinyatakan
tegas pada PP No 5/1999 dan PP no 12/1999 tentang PNS yang menjadi anggota
Partai Politik dan surat edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No
SE/08/M.PAN/3/2005 tentang Netralitas PNS dalam Pemilihan Kepala Daerah yang
menyatakan akan memberikan hukuman berat kepada PNS yang terlibat politik
praktis saat Pilkada, menjadi anggota partai dan penyalahgunaan kewenangan dan
fasilitas negara demi golongan tertentu.
Namun kenyataannya tetap saja ada PNS yang
tidak mengacuhkan aturan itu, sehingga tak pelak lagi PNS lebih memfokuskan
diri kepada penyusunan strategi pemenangan Pilkada. Jam kerja dipergunakan
untuk kepentingan calon kepala daerah dibandingkan melayani kepentingan
masyarakat. Kendaraan dinas yang pada hakikatnya demi kelancaran tugas, malah
dipakai untuk konsolidasi kekuatan kampanye. Anggaran untuk kegiatan
kemasyarakatan dipakai untuk mempromosikan foto diri calon kepala daerah-walau
juga memuat beberapa pesan kemasyarakatan-. Tentu saja seluruh penyimpangan
dipropaganda sedemikian rupa meng-atasnama-kan kepentingan daerah.
Ketidaknetralan PNS terlibat politik
praktis sebenarnya bukan pilihan mereka namun terlebih karena keterpaksaan
kondisi dan keadaan yang terbentuk dari sistem birokrasi. Mulai dari
perekrutan, promosi jabatan, mutasi hingga perpanjangan pensiun PNS saat ini
seluruhnya merupakan kebijakan kepala daerah. Walaupun secara formalitas
beberapa urusan harus diselesaikan ke tingkat regional dan pusat namun pada
intinya masa depan PNS di daerah tergantung kepala daerahnya. Sehingga PNS yang
berkualitas rendah menjadi cemas akan masa depan karirnya terpaksa menjadi tim sukses
salah satu calon kepala daerah.
Mencermati hubungan sebab akibat di atas, maka
diperlukan beberapa kebijakan baru yakni Pertama, adanya standar baku akan
jenjang karir dan penilaian prestasi kerja PNS. Sehingga PNS terpacu dan
bersaing secara sehat untuk meningkatkan kualitas kinerja mereka dan meraih
posisi jabatan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan, pelatihan serta
pengalaman kerja mereka.
Dengan adanya standar baku, PNS tidak
perlu lagi sibuk menyiapkan jurus mencari muka dalam menghadapi pimpinan karena
yang menjadi penilaian kinerja adalah kualitas diri. Tidak ada lagi unsur
primordial dan setoran Sisa Hasil Usaha (SHU) kepada Kepala Daerah karena
sekali lagi yang menjadi penilaian adalah kinerja mereka. Untuk itu format
Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) PNS sudah saatnya ditinjau ulang.
Di dalam standar baku penilaian kinerja
PNS tersebut, perlu ditegaskan bahwa penentu masa depan karir PNS adalah
pejabat karir tertinggi yakni sekretaris daerah. Hal ini akan meringankan tugas
kepala daerah agar tidak menghabiskan energi dan waktu hanya untuk menilai
sikap maupun kinerja PNS.
Kepala daerah akan lebih fokus dalam hal
menetapkan dan mengawasi kebijakannya sedangkan sekretaris daerah beserta staf
akan menjabarkannya ke dalam wujud organisasi dan aktualisasi kegiatan. Kepala
daerah tidak akan mengalami lagi desakan keluarganya, sahabatnya atau rekan
politiknya yang mendesak agar si ‘a’ diterima menjadi PNS atau si ‘b’ agar
didudukan dalam jabatan eselon sekian misalnya. Karena seluruh proses jenjang
karir PNS sudah ada aturannya dan ditentukan oleh sekretaris daerah yang
notabene merupakan pejabat karir yang telah teruji eksistensinya.
Lalu di manakah letak kekuasaan kepala
daerah dalam mengontrol birokrasi? Kuncinya ada pada sekretaris daerah, bila
sekretaris daerah dinilai tidak mampu melaksanakan kebijakan kepala daerah maka
kepala daerah dapat mengusulkan pemberhentian sekretaris daerah kepada
gubernur, sekaligus mengajukan calon penggantinya.
Kedua, adanya insentif yang sesuai untuk
menjamin kesejahteraan PNS dan keluarganya, seperti diberikannya tambahan
tunjangan-tunjangan daerah, tunjangan prestasi PNS, Bonus, Voucher, Honor,
Beasiswa hingga asurasi kesehatan, pendidikan anak, dan perumahan. Hal ini akan memberikan kepastian
masa depan, sehingga PNS tidak tergoda untuk berkorupsi karena seluruh
kebutuhan telah melebihi dari cukup, kalaupun tetap terjadi korupsi itu
disebabkan oleh ketamakan PNS dan harus diberikan sangsi yang tegas.
Dengan dua buah solusi di atas, diharapkan
motivasi kerja PNS tidak lagi ditujukan karena like and dislike, Aji mumpung, atau Asal Bos Senang (ABS) namun
semata-mata hanya karena memenuhi takdir mereka yakni sebagai abdi praja,
dharma satya, negara bakti.
*******
Telah Terbit di Harian Pagi Padang Ekspres, Rabu 12 maret
2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar