Senin, 20 Januari 2014

POLITISASI PNS*





                             
Pesta demokrasi tingkat lokal di Sumatera Barat pada tahun 2008 ini akan berlangsung di empat daerah yakni Kota Sawahlunto, Pariaman, Padang Panjang dan Padang. Ke-empat Kota itu akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk memilih  Walikota dan Wakil Walikota Periode 2008-2013.
Dalam proses Pilkada tersebut dapat ditemui beberapa oknum PNS yang terlibat langsung maupun tak langsung terjun sebagai tim sukses. Secara terang-terangan ada pula yang menunjukkan loyalitas kepada pribadi-pribadi calon kepala daerah. Mereka dengan segala cara berusaha agar jagoannya menang dalam Pilkada, dengan segala resiko dan keuntungan yang akan mereka terima.
Dengan berperan sebagai tim sukses, mereka berharap memiliki peluang menduduki jabatan basah, mendapatkan fasilitas serta tunjangan-tunjangan lainnya sebagai timbal balik usahanya membantu pemenangan kepala daerah.
Harapan itu tak bisa dipungkiri mengingat posisi kepala daerah yang sangat strategis dan mendominasi berbagai kebijakan kepegawaian daerah mulai dari kewenangan mengatur struktur organisasi, pengusulan kenaikan pangkat, pengisian jabatan, pemberian fasilitas kedinasan, tunjangan-tunjangan, honor, hingga menetapkan reward terhadap Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang dinilai berprestasi dan punishment bagi PNS yang dianggap lalai.
Sejatinya, PNS merupakan mesin utama untuk menggerakkan birokrasi. PNS adalah pelaksana peraturan dan perundangan yang telah ditetapkan, memberikan pelayanan kepada masyarakat dan menjalankan roda pemerintahan. Namun bila PNS itu sendiri menjadi terkotak-kotak, berpihak pada salah satu calon, tentu akan mengganggu idealisme sebuah sistem birokrasi. Ini adalah masalah yang tak bisa dianggap remeh.
Secara konstitusional telah dinyatakan tegas pada PP No 5/1999 dan PP no 12/1999 tentang PNS yang menjadi anggota Partai Politik dan surat edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No SE/08/M.PAN/3/2005 tentang Netralitas PNS dalam Pemilihan Kepala Daerah yang menyatakan akan memberikan hukuman berat kepada PNS yang terlibat politik praktis saat Pilkada, menjadi anggota partai dan penyalahgunaan kewenangan dan fasilitas negara demi golongan tertentu.
Namun kenyataannya tetap saja ada PNS yang tidak mengacuhkan aturan itu, sehingga tak pelak lagi PNS lebih memfokuskan diri kepada penyusunan strategi pemenangan Pilkada. Jam kerja dipergunakan untuk kepentingan calon kepala daerah dibandingkan melayani kepentingan masyarakat. Kendaraan dinas yang pada hakikatnya demi kelancaran tugas, malah dipakai untuk konsolidasi kekuatan kampanye. Anggaran untuk kegiatan kemasyarakatan dipakai untuk mempromosikan foto diri calon kepala daerah-walau juga memuat beberapa pesan kemasyarakatan-. Tentu saja seluruh penyimpangan dipropaganda sedemikian rupa meng-atasnama-kan kepentingan daerah.
Ketidaknetralan PNS terlibat politik praktis sebenarnya bukan pilihan mereka namun terlebih karena keterpaksaan kondisi dan keadaan yang terbentuk dari sistem birokrasi. Mulai dari perekrutan, promosi jabatan, mutasi hingga perpanjangan pensiun PNS saat ini seluruhnya merupakan kebijakan kepala daerah. Walaupun secara formalitas beberapa urusan harus diselesaikan ke tingkat regional dan pusat namun pada intinya masa depan PNS di daerah tergantung kepala daerahnya. Sehingga PNS yang berkualitas rendah menjadi cemas akan masa depan karirnya terpaksa menjadi tim sukses salah satu calon kepala daerah.
Mencermati hubungan sebab akibat di atas, maka diperlukan beberapa kebijakan baru yakni Pertama, adanya standar baku akan jenjang karir dan penilaian prestasi kerja PNS. Sehingga PNS terpacu dan bersaing secara sehat untuk meningkatkan kualitas kinerja mereka dan meraih posisi jabatan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan, pelatihan serta pengalaman kerja mereka.
Dengan adanya standar baku, PNS tidak perlu lagi sibuk menyiapkan jurus mencari muka dalam menghadapi pimpinan karena yang menjadi penilaian kinerja adalah kualitas diri. Tidak ada lagi unsur primordial dan setoran Sisa Hasil Usaha (SHU) kepada Kepala Daerah karena sekali lagi yang menjadi penilaian adalah kinerja mereka. Untuk itu format Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) PNS sudah saatnya ditinjau ulang.
Di dalam standar baku penilaian kinerja PNS tersebut, perlu ditegaskan bahwa penentu masa depan karir PNS adalah pejabat karir tertinggi yakni sekretaris daerah. Hal ini akan meringankan tugas kepala daerah agar tidak menghabiskan energi dan waktu hanya untuk menilai sikap maupun kinerja PNS.
Kepala daerah akan lebih fokus dalam hal menetapkan dan mengawasi kebijakannya sedangkan sekretaris daerah beserta staf akan menjabarkannya ke dalam wujud organisasi dan aktualisasi kegiatan. Kepala daerah tidak akan mengalami lagi desakan keluarganya, sahabatnya atau rekan politiknya yang mendesak agar si ‘a’ diterima menjadi PNS atau si ‘b’ agar didudukan dalam jabatan eselon sekian misalnya. Karena seluruh proses jenjang karir PNS sudah ada aturannya dan ditentukan oleh sekretaris daerah yang notabene merupakan pejabat karir yang telah teruji eksistensinya.
Lalu di manakah letak kekuasaan kepala daerah dalam mengontrol birokrasi? Kuncinya ada pada sekretaris daerah, bila sekretaris daerah dinilai tidak mampu melaksanakan kebijakan kepala daerah maka kepala daerah dapat mengusulkan pemberhentian sekretaris daerah kepada gubernur, sekaligus mengajukan calon penggantinya.    
Kedua, adanya insentif yang sesuai untuk menjamin kesejahteraan PNS dan keluarganya, seperti diberikannya tambahan tunjangan-tunjangan daerah, tunjangan prestasi PNS, Bonus, Voucher, Honor, Beasiswa hingga asurasi kesehatan, pendidikan anak,  dan perumahan. Hal ini akan memberikan kepastian masa depan, sehingga PNS tidak tergoda untuk berkorupsi karena seluruh kebutuhan telah melebihi dari cukup, kalaupun tetap terjadi korupsi itu disebabkan oleh ketamakan PNS dan harus diberikan sangsi yang tegas.
Dengan dua buah solusi di atas, diharapkan motivasi kerja PNS tidak lagi ditujukan karena like and dislike, Aji mumpung, atau Asal Bos Senang (ABS) namun semata-mata hanya karena memenuhi takdir mereka yakni sebagai abdi praja, dharma satya, negara bakti.

*******


 Telah Terbit di Harian Pagi Padang Ekspres, Rabu 12 maret 2008








Tidak ada komentar:

Posting Komentar