I.
Memperkuat
Indonesia
Perekonomian Indonesia tahun lalu
sempat mengundang decak kagum dengan menempati peringkat ke 16 dunia atau
peringkat pertama di Asia Tenggara. Peringkat daya saing Indonesia sebagaimana
dilaporkan World Economics Forum (WEF) 2013 menobatkan Indonesia sebagai salah
satu negara dengan kenaikan peringkat daya saing tertinggi di dunia. Sejumlah
pakar ekonomi dunia bahkan memprediksi Indonesia di tahun 2030 bakal menduduki
peringkat 5 besar dunia.
Namun sisi lain,
nilai tukar rupiah mengalami tekanan, perdagangan Indonesia mengalami defisit, isu
politik kerap menggaduh ekonomi seperti anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG). Tak dapat dihindari, iklim politik yang memanas terutama menjelang
perhelatan pesta demokrasi Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden, pada
tengah tahun 2014 ini, diyakini turut memengaruhi gejolak ekonomi Nasional.
Syukurlah, risiko
pergolakan politik dan ekonomi ini tak hanya menjadi “beban” pemerintah pusat.
Semenjak otonomi daerah digaungkan 15 tahun lalu, yakni melalui UU Nomor 22
tahun 1999 (kini menganut UU 32 Tahun 2004) maka kewenangan dan tanggung jawab
penyelenggaraan urusan daerah berada di tangan 412 Kabupaten dan 93 Kota yang
tersebar dalam 34 Propinsi se-Indonesia.
Artinya,
pemerintah provinsi, kabupaten dan kota punya andil dan tanggung jawab besar
dalam rangka menjalankan penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan,
pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerahnya masing-masing. Fungsi
pemerintahan yang berjalan on the track
dan penuh inovasi jelas akan membawa manfaat bagi kemajuan daerahnya. Demikian
pula sebaliknya, pemerintah daerah dinilai gagal bilamana kemajuan tersebut
urung tercapai.
Yang membuat
miris, Pemerintahan Daerah (Pemda plus DPRD) seakan berlomba-lomba menggerogoti
kas daerah. Peran mereka seperti berkejauhan saja dengan janji semasa kampanye.
Meski cukup banyak juga yang dapat dijadikan teladan karena keseriusannya
membangun daerah, tetapi kesadaran, idealisme, profesionalitas dan tekad kuat
perlu segera ditanamkan pada seluruh komponen Pemerintahan Daerah. Karena dengan
memperkuat seluruh penyangga negara ini, para Pemerintahan Daerah, sesungguhnya
telah memperkuat Indonesia.
II.
Sumatera
Barat untuk Indonesia
Sumatera Barat sebagai salah satu
dari 34 tiang penyangga NKRI, sebagaimana provinsi lainnya, memiliki lika-liku
pengorbanan demi menjaga harkat martabat bangsa dan negara. Sejarah telah
mencatat, berdirinya Indonesia tak terlepas dari keringat, darah bahkan nyawa
rakyat Sumbar. Perjuangan penuh dedikasi ini, telah dicurahkan etnik Minang
sedari zaman penjajahan Belanda. Sebut saja, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku
Tambusai, Tuanku Rao, Haji Agus Salim, Mohammad Natsir, Rasuna Said, Abdul
Muis, M. Yamin, Rohana Kudus, Abdul Muis, Tan Malaka, Mohammad Hatta, Buya Hamka,
Sutan Syahrir, Assaat dan banyak lagi, dengan segenap kekuatan telah menghalau
penjajahan serta merebut kemerdekaan demi bumi pertiwi.
Tak hanya
menampilkan kaum intelektual, Sumatera Barat juga menjadi salah satu pusat
pergerakan kebangsaan. Bukittinggi sempat dijadikan ibukota negara semasa PDRI
(Pemerintahan Darurat Republik Indonesia). Munculnya PDRI adalah berawal dari serangan Belanda ke Yogyakarta yang
berujung pada penangkapan Sukarno-Hatta pada 19 Desember 1948.
Sebelum
penangkapan terjadi, Wapres Hatta telah lebih dahulu menggelar rapat kabinet,
yang salah satunya memutuskan memberikan mandat pada Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang kala itu
menjabat sebagai Menteri Kemakmuran, untuk membentuk Pemerintah Darurat di
Bukittinggi, Membentuk Suatu Kabinet, dan mengambil alih Pemerintah Pusat. Hingga
13 Juli 1949, Mr. Sjafruddin dipanggil ke Yogyakarta, kemudian menyerahkan
mandatnya kembali kepada Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta (Hatta,
2011).
Meski hanya
berjalan kurang dari 8 bulan, kehadiran PDRI telah menunjukkan pada dunia bahwa
RI tetap tegak berdiri, meskipun Sang Dwitunggal diasingkan oleh Belanda. Roda
Pemerintahan RI, kendati dalam keadaan genting, tetap terus berjalan. Atas
peran PDRI yang telah mewarnai sejarah kedaulatan RI, maka melalui Keppres
Nomor 28 Tahun 2006, tanggal 19 Desember ditetapkan sebagai Hari Besar Nasional,
yang diperingati sebagai Hari Bela Negara.
Semenjak zaman
Orde Baru hingga Era Reformasi ini, masyarakat Sumatera Barat menjadi lebih
gemar memandang keberhasilan etnisnya dengan menghitung-hitung jumlah orang Sumbar
yang masuk daftar jajaran petinggi negara. Sedangkan kreatifitas, idealisme, kepandaian
orang Minang untuk berfikir kritis “melawan arus” atau istilah keren sekarang, thinking out side the box, tak lagi
mendapat perhatian. Mungkin itulah sebabnya, predikat Sumbar sebagai pusat
industri otak Indonesia telah lama pudar. Meski tak tercecer jauh di barisan
belakang, peringkat Provinsi Sumbar dalam beberapa kategori capaian
pembangunan, menempati posisi yang tak begitu mengagumkan.
Sudah saatnya
Sumatera Barat bangkit dan bangun dari romantisme kejayaan masa lalu. Sumbar
hari ini, mesti pandai membaca segala
peluang dan tantangan tanpa meninggalkan falsafah budayanya. Sumbar
harus mampu mambangkik batang tarandam,
membangkitkan kebanggaan, memainkan peranan penting dan menorehkan lebih banyak
lagi sumbangsihnya untuk Indonesia.
III.
Peluang
dan Tantangan Sumatera Barat
Sumatera Barat dikenal sebagai
provinsi yang minim potensi Sumber Daya Alam. Jumlah pertambangannya dapat
dihitung jari. Tambang batubara di Sawahlunto pun kini dikelola konsorsium
rakyat secara tradisional. Kereta api yang dulu sempat hilir mudik mengangkut
hasil tambang ke PT Semen Padang maupun Pelabuhan Teluk Bayur sekarang telah
menjadi barang museum. Di Solok Selatan, ada potensi tambang emas dengan
kapasitas yang belum begitu menjanjikan. Selebihnya, hasil alam di Sumbar
hanyalah mengeruk batu dan pasir.
Namun demikian,
Tuhan maha adil. Kurang di sini, dilebihkan di sana. Walaupun SDA terbatas, tetapi
di bidang lainnya, Sumatera Barat memiliki sejumlah peluang untuk memacu
pembangunan daerahnya, di antaranya:
1.
Sumber
Daya Manusia.
Alam Minang yang minim potensi,
seperti pecut bagi penduduknya agar lebih giat bekerja dan berpikir. Sehingga
orang minang selalu mengutamakan pendidikan bagi putra putri mereka.
Jauh sebelum
adanya pendidikan formal, orang minang belajar dari alam ; Alam takambang jadi guru. Selain itu, banyak
surau-surau yang multifungsi, selain tempat ibadah, dijadikan tempat berlatih
silat dan transfer ilmu pengetahuan. Tak jarang, banyak tokoh-tokoh baik di Jawa,
Sulawesi bahkan dari Malaysia yang datang ke Sumatera Barat guna menuntut ilmu.
Mungkin itu pula sebabnya, di luar pulau Jawa, maka Sumatera Barat menjadi provinsi
pertama didirikannya perguruan tinggi negeri yang bernama Universitas Andalas
yang diresmikan Wapres Mohammad Hatta pada 23 Desember 1955.
2.
Para
Perantau.
Pekerja keras, kreatif, religius
dan suka merantau itulah imej orang Padang. Mereka memilih mengadu nasib di
negeri orang demi membangun kampung halaman. Sebelum merantau, orang Minang ini
dibekali banyak keterampilan seperti silat, menjahit, mengaji dan memasak.
Itulah makanya, di tanah rantau, banyak orang Minang yang profesinya tak
jauh-jauh dari rumah makan, penjahit, guru mengaji atau guru silat.
Menurut Bahar
dan Tadjoeddin (2004), sebagian besar warga suku bangsa Minangkabau di
perantauan terdiri dari pedagang, pegawai negeri, atau pekerja bebas yang ternyata memang
mempunyai tingkat produktivitas yang jauh lebih tinggi. Ini artinya, bila
potensi rantau dikelola baik akan memberikan banyak manfaat bagi ranah Sumatera
Barat. Gerakan Seribu Minang atau Gebu Minang adalah satu contoh penggalangan
kekuatan orang rantau melalui pengumpulan uang Rp 1.000/orang.
3.
Pariwisata.
Pariwisata Sumatera Barat juga
merupakan salah satu peluang yang menjanjikan. Hamparan gunung, laut,
kepulauan, lembah ngarai, air terjun, sungai dan danau seakan tak sengaja
terjatuh dari nirwana. Yang menakjubkan,
dapat dikatakan bahwa seluruh kabupaten dan kota di Sumbar memiliki potensi
pariwisata ini. Tinggal saja sentuhan kreatif dan kemauan eksekutif untuk
memolesnya, mengangkat dan mempromosikan sehingga layak dikunjungi wisatawan
domestik dan mancanegara.
4.
Adat
Budaya Minangkabau.
Minangkabau juga dikenal dengan
adat budayanya yang khas dan menarik hati. Tak hanya menarik wisatawan, namun
adat budaya Minangkabau juga menarik para intelektual, budayawan, peneliti, bahkan
negarawan luar negeri untuk mempelajarinya. Falsafah adat, petatah-petitih,
adat perkawinan, seni tari, silat, hingga masakan Padang selalu diminati untuk
sekedar diketahui hingga dipelajari secara sungguh-sungguh.
Adat budaya
Minang yang tiada duanya di dunia ini, bila benar-benar dilestarikan, niscaya
akan menjadi kekuatan bagi perekonomian Sumbar, sekaligus mengokohkan jati diri
masyarakat Minangkabau.
Sedangkan
tantangan yang perlu disikapi Sumbar ke depan adalah bagaimana mengelola segala
keterbatasan yang ada, mengubahnya menjadi sebuah kekuatan yang dapat
memberikan kemakmuran, kesejahteraan dan kemajuan bagi rakyat Sumatera Barat.
IV.
Mambangkik Batang Tarandam Melalui Optimalisasi Peran Pemerintahan
Daerah
IV.1
Mambangkik Batang Tarandam
Jargon “mambangkik batang tarandam” secara harfiah dapat diartikan membangkit
batang yang terbenam. Di sini tampak suatu upaya untuk mengobarkan semangat masyarakat
Minang agar terus maju, dengan tetap berpijak dari pengalaman dan kekuatan yang
dimiliki. Kerap jargon tersebut dikaitkan dengan hasrat orang minang untuk mengembalikan
kejayaan mereka di masa lampau.
Sebuah masa
kejayaan, di mana orang Minang gigih berjuang melawan penjajahan hingga di awal
kemerdekaan. Meski luas daerah dan jumlah penduduknya kecil (kurang dari dua
juta jiwa dibanding sekitar enam puluh juta jumlah penduduk Hindia Belanda pada
tahun 1939), namun orang Sumatera Barat memainkan peran yang menentukan dalam
perpolitikan Indonesia. Kedudukan para pemimpin Minangkabau dalam pergerakan
nasional dan dalam Pemerintahan RI hanya kalah dari para pemimpin yang berasal
dari Jawa (yang merupakan 60% dari jumlah penduduk Indonesia). (Kahin, 2005)
Asumsi bahwa jargon
mambangkik batang tarandam telah
dimakan zaman, sehubungan saat ini, telah jamak orang minang yang duduk di Jajaran
Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, kemudian ada pula yang memimpin di lembaga
tinggi negara, seperti ketua DPD RI, Jaksa Agung, atau bahkan ada juga sebagai pelatih
Timnas, tentulah hal itu menumbuhkan rasa bangga. Namun demikian, menurut
pendapat penulis, jargon mambangkik batang
tarandam tersebut tak akan lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan.
Jargon ini harus senantiasa melekat dalam sanubari orang Minang, sebagai bentuk
pemicu semangat dan rasa mawas diri agar tak cepat puas dan berbangga hati atas
hasil yang dicapai.
Dalam kondisi kekinian,
mambangkik batang tarandam patutlah
dinilai lebih dari sekedar menghitung-hitung jumlah orang minang yang duduk di
jajaran kabinet atau menjadi pejabat negara. Mambangkik batang tarandam mesti dipandang lebih luas, yakni bagaimana
cara membangkitkan masyarakat Sumatera Barat, di segala bidang, semua lini, seluruh
aspek, sehingga memberikan manfaat besar dan positif dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
IV.2
Optimalisasi Peran Pemerintahan Daerah
NKRI dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang
masing-masing mempunyai pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemerintahan daerah juga menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Pemerintahan
daerah terdiri atas pemerintah daerah dan DPRD. Sedangkan pemerintah daerah
terdiri atas kepala daerah dan perangkat daerah. (UU 32/2004)
Sebagai bagian
dari NKRI, kebijakan pembangunan Pemprov Sumatera Barat harus sinkron dengan
kebijakan pembangunan Pemerintah.
Seterusnya, kebijakan pembangunan Sumbar menjadi acuan utama bagi
kabupaten/kota yang mesti tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintahan Daerah. Sinkronisasi
pembangunan, dari Pemerintah Pusat hingga daerah perlu ditaati agar pembangunan
yang dihasilkan akan saling mengisi, tersistem dan berkesinambungan.
Berdasarkan Permendagri Nomor 27 Tahun 2013 Tentang Pedoman
Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2014, demi
terciptanya sinkronisasi kebijakan Pemda dengan kebijakan Pemerintah di tahun
2014 ini, maka telah ditetapkan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dengan tema
“Memantapkan Perekonomian Nasional untuk Peningkatan Kesejahteraan Rakyat yang
Berkeadilan”, dengan sasaran utama yang harus dicapai pada akhir tahun 2014
antara lain yaitu : Pencapaian target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 sampai
7,2 persen ; Penurunan angka pengangguran menjadi 5 sampai 6 persen ; penurunan
angka kemiskinan menjadi 8 sampai dengan 10 persen; dan laju inflasi 4,5 persen
dan bertambah atau berkurang 1 persen.
Dari sasaran
utama tersebut, ditetapkan 11 Prioritas Nasional dan 3 Prioritas Lainnya yaitu
: Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola; Pendidikan; Kesehatan; Penanggulangan
Kemiskinan; ketahanan Pangan; Infrastruktur; Iklim investasi dan Iklim Usaha;
Enegi; Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana; Daerah tertinggal, terdepan
terluar dan pasca konflik; Kebudayaan, Ekonomi Kreatif dan Inovasi Teknologi;
ditambah 3 Prioritas lainnya yaitu : Bidang Politik, Hukum dan Keamanan; Bidang
Perekonomian; dan Bidang Kesejahteraan Rakyat.
Kebijakan Pemerintah
lainnya yang perlu segera disikapi adalah Perpres 32/2011 tentang Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI). Dalam
lampiran Peraturan Presiden tersebut dijelaskan bahwa MP3EI terbagi dalam 6
Koridor Ekonomi Indonesia, yakni Koridor Ekonomi Sumatera, Koridor Ekonomi
Jawa, Koridor Ekonomi Kalimantan, Koridor Ekonomi Sulawesi, Koridor Ekonomi Bali-Nusa
Tenggara, dan Koridor Ekonomi Papua-kepulauan Maluku.
Lebih lanjut,
Perpres tersebut menjelaskan bahwa nilai investasi yang akan dilakukan keenam
koridor ekonomi tersebut sebesar sekitar Rp 4.012 triliun. Dari jumlah
tersebut, Pemerintah akan berkontribusi sekitar 10% dalam bentuk pembangunan
infrastruktur dasar, seperti : jalan, pelabuhan laut, pelabuhan udara, serta
rel kereta dan pembangkit tenaga listrik, sedangkan sisanya diupayakan akan
dipenuhi dari swasta maupun BUMN dan campuran.
Khusus untuk
Koridor Ekonomi Sumatera, Pemerintah memberi tema pembangunan “Sentra Produksi
dan Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional”, yang terdiri dari 11
Pusat Ekonomi: Banda Aceh, Medan, Padang, Pekanbaru, Jambi, Palembang,
Tanjungpinang, Pangkal Pinang, Bengkulu, Bandar Lampung, Serang. Dengan 6
kegiatan ekonomi utama, yaitu: besi baja, perkapalan, kelapa sawit, karet, batu
bara dan Kawasan Strategis Nasional
(KSN) Selat Sunda.
Dari 6 kegiatan
ekonomi utama pada Koridor Ekonomi Sumatera, maka Sumatera Barat dapat
memfokuskan diri pada pengembangan dan peningkatan produksi kelapa sawit, karet
dan batubara. Sementara, pembenahan industri perkapalan dan pelabuhan juga
dapat dikembangkan sehubungan potensi dan posisi Sumbar yang tepat di tengah-tengah
pesisir barat pulau Sumatera.
Lagipula, Sumbar
telah memiliki sarana pendukung berupa Pelabuhan Teluk Bayur di Padang, Lantamal
II Padang, Sekolah Usaha Perikanan Menengah Negeri di Pariaman, Bandara
Internasional Minangkabau, Kereta Api dan banyak lagi. Bahkan, saat ini juga tengah berlangsung
pembangunan dermaga Tiram dan Pusat Pendidikan Pelayaran bertaraf internasional
di Kabupaten Padang Pariaman. Keseluruhan pendukung tersebut mesti terpetakan
sehingga akan tampak sebagai mata rantai jalur pembangunan ekonomi Sumbar ke
depan.
Untuk itu, Pemprov
dengan sejumlah Pemkab/Pemko perlu duduk bersama merumuskan peta percepatan
pembangunan ekonomi Sumbar yang berpatokan dari peta Koridor Ekonomi Sumatera
dalam MP3EI. Jalur jalan tol Padang-Pekanbaru-Batam dan Padang-Pekanbaru-Dumai (lihat
peta investasi koridor ekonomi sumatera pada lembar lampiran) adalah peluang
yang tak boleh disia-siakan.
Pemetaan
sejumlah kawasan komoditi perlu diwujudkan. Pengembangan komoditi kelapa sawit seperti
di Kabupaten Pasaman Barat, Pasaman, Limapuluhkota, Pesisir Selatan, Sijunjung,
Agam, Padang Pariaman, Solok Selatan dan Dharmasraya ; komoditi karet yang berada
di Kabupaten Dharmasraya, Kepulauan Mentawai, Limapuluhkota, Padangpariaman,
Pasaman, Pasaman Barat, Pesisir Selatan, Sijunjung, Solok, Solok Selatan,
Tanahdatar, untuk daerah kota berada di Padang, Sawahlunto, dan Solok ; serta
pertambangan batubara untuk daerah Sawahlunto dan Kabupaten Sijunjung
selayaknya menjadi satu rangkaian kesatuan potensi ekonomi yang bakal memikat investor.
Selain itu, melalui
urun rembug tersebut, dapat ditambahkan potensi investasi lainnya dalam Peta
tersebut, yakni dengan memuat segala informasi komoditi di Sumbar, baik di bidang
Pertambangan, Pertanian, Perkebunan, Perikanan, Kehutanan, Peternakan, dan
Potensi Jasa Pariwisata. Hal ini tidak saja memudahkan pemerintah dalam membuat
rencana pembangunan sarana/prasarana pendukung seperti membangun jaringan jalan
dan jembatan guna memperlancar jalur perdagangan hingga tersambung pada jalan
tol Padang-Pekanbaru, namun juga bakal memandu para investor menanamkan
investasinya di Sumatera Barat.
Optimalisasi
peran Pemerintahan Daerah dapat dilakukan pula dengan membangun komunikasi,
membuka keran dialog dengan seluruh komponen daerah, baik itu unsur Muspida,
tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda dan para cendekiawan atau yang lumrah
disebut di Minang sebagai tali tigo
sapilin, tungku tigo sajarangan, dan ditambah dengan keterlibatan bundo
kanduang. Pemda juga wajib menjalin hubungan dan membuka akses pada seluruh
pihak yang tujuannya untuk mengontrol kinerja mereka. Di sinilah dibutuhkan
keterampilan diplomasi yang baik.
Pembenahan di sisi
internal, yakni dengan aksi perubahan pola pikir dan tindak terhadap seluruh
komponen pemerintahan. Kepala daerah, anggota DPRD hingga jajaran birokrasi mesti
menyadari besarnya peran mereka terhadap maju mundurnya suatu daerah. Walau
hampir 15 tahun Otonomi Deaerah berjalan, namun kesan bahwa aparatur pemerintahan
itu acap KKN, cenderung kaku, tidak profesional, boros dan lamban masih melekat
kuat. Paradigma inilah yang perlu segera diubah.
David Osborne
dan Ted Gaebler (1996) mengemukakan bahwa pemerintah hendaknya berjalan dengan
semangat wirausaha. Sejumlah peran baru perlu disuntikkan dalam birokrasi,
yakni Pemerintahan Katalis, Pemerintahan Milik Masyarakat, Pemerintahan
Kompetitif, Pemerintahan Berorientasi Misi, Pemerintahan Berorientasi Hasil,
Pemerintahan Berorientasi Pelanggan, Pemerintahan Wirausaha, Pemerintahan Antisipatif,
Pemerintahan Desentralisasi, dan Pemerintahan Berorientasi Pasar.
Namun apa
dikata, perubahan yang terjadi, dari orde baru sampai ke era otonomi daerah
ini, justru seakan turut mendesentralisasikan “tradisi KKN” dari pusat kepada
seluruh daerah. Pemerintahan daerah di Sumbar tak terlepas dari itu, meski
wirausaha bukan sebuah barang baru bagi Etnis Minang yang gemar berdagang,
namun tradisi KKN yang merebak cepat membuat peran pemerintah untuk menciptakan
birokrasi wirausaha seperti terseok-seok.
Bukan rahasia
lagi, jikalau birokrasi kerap dipolitisir untuk kepentingan pihak partai
penguasa. Jabatan tak lagi diduduki birokrat profesional, tetapi lebih pada
faktor demi keuntungan politik. Praktek KKN marak terjadi, tak jarang banyak
pejabat birokrat dan politik yang terungkap permainan kotornya telah menjadi
bulan-bulanan aparat hukum. Bagi yang pandai-pandai “bermain”, tetap saja
berdampak pada kelambanan bahkan kemunduran pembangunan daerah. Kongkalikong
pada pengerjaan proyek kegiatan, promosi jabatan dan distribusi dana bantuan
hibah sudah seperti api dalam sekam. Tak terlihat, tapi kelak menimbulkan
mudarat.
Satu contoh
kelambanan pembangunan daerah ini, tampak pada keterlambatan pengesahan APBD
Provinsi Sumatera Barat 2014. APBD ini baru ketuk palu pada 24 Januari 2014
setelah sebelumnya sempat mendapat teguran dari Mendagri. Padahal idealnya,
pengesahan APBD dilakukan akhir tahun, sehingga di awal tahun 2014 tiap SKPD
dapat langsung bergerak melaksanakan kegiatan, dana pun segera mengalir ke masyarakat
lebih cepat. Kota Padang setali tiga uang, pengesahan APBD Ibukota Provinsi
Sumbar ini juga baru terlaksana pada 31 Januari 2014.
Keterlambatan
pengesahan APBD menunjukkan adanya ketidakseriusan antara penyelenggara
pemerintahan dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Anggaran yang semestinya
untuk menggenjot ekonomi daerah, namun terbengkalai hanya akibat perbedaan
kepentingan. Tanpa perlu memperdalam persoalan ini, penulis memandang perlunya Pemerintah
Provinsi bersama DPRD Sumatera Barat mengutamakan kepentingan masyarakat
dibanding memaksakan ego politik masing-masing.
V.
Kesimpulan
dan Saran
Tak dapat dipungkiri, di era otonomi
daerah ini, bahwa kunci keberhasilan pembangunan suatu daerah tak terlepas dari
terobosan yang dilakukan Pemerintahan Daerah. Dan keberhasilan pembangunan di
daerah mesti diawali dengan perubahan mindset
seluruh aparatur Pemda, DPRD berikut jajaran birokrasinya. Dengan perubahan
pola pikir, maka peran Pemerintahan Daerah dapat digenjot lebih keras lagi.
Sumatera
Barat sebagai salah satu provinsi penyangga keutuhan NKRI, telah menorehkan
sejarah sebagai daerah yang mencetak kaum intelektual, negarawan, sastrawan,
para wirausahawan yang memberi andil besar demi terwujudnya masyarakat adil dan
makmur di bumi nusantara. Kini, dengan semangat otonomi daerah, hendaknya
karakter unggul etnis Minang dapat lebih berkembang. Otonomi daerah, memberi
peluang pada pemerintahan daerah, untuk lebih mampu berinovasi menciptakan
program-program pamungkas guna membawa rakyat ke kehidupan lebih mapan lagi.
Pemprov
sebagai koordinator mesti bertindak cepat, mensinkronkan arah kebijakan
pembangunan Sumbar dengan seluruh Pemkab dan Pemko se-Sumatera Barat, agar
terjadi pembangunan yang saling terkait, bersinergi, tersistem dan saling
mengisi. Provinsi tak hanya dapat memandu 19 Kabupaten/Kota di Sumbar, namun
lebih dari itu, Pemprov mesti memberi teladan guna menginspirasi
daerah-daerahnya. Jangan sampai terjadi malah sebaliknya, tungkek
pulo nan mambaok rabah (tongkat pula yang membawa rebah).
Kejayaan
Sumatera Barat di masa lalu, dapat dijadikan “senjata” bagi Pemda untuk menggelorakan
semangat kebersamaan ; sabiduk sadayuang,
saiyo sakato, baik di ranah maupun di rantau. Semangat untuk membangun
kampung halaman dan membantu kaum lemah. Pemda sebagai “yang ditinggikan
seranting, didahulukan selangkah” harus menyadarkan masyarakat, bahwa
kebanggaan dan kemajuan Sumbar jangan hanya sebatas menghitung-hitung jumlah
tokoh yang duduk di jajaran kabinet, sementara pendidikan Sumbar mengalami
kemerosotan.
Pemerintahan
Provinsi, Kabupaten dan Kota se- Sumatera Barat dengan semua energinya, harus bersatu
padu mencerdaskan warganya, dengan memegang teguh falsafah budaya Minang karena
masih banyak batang terendam yang terus selalu dibangkitkan. Sejak dahulu, sekarang hingga
nanti.
******
Referensi
Bahar, Saafroedin dan
Mohammad Zulfan Tadjoeddin. 2004. Masih Ada Harapan, Posisi Sebuah Etnik
Minoritas Dalam Hidup Berbangsa dan Bernegara. Yayasan Sepuluh Agustus.
Jakarta.
Hatta, Mohammad. 2011.
Untuk Negeriku, Menuju Gerbang Kemerdekaan, Sebuah Otobiografi. Buku Kompas.
Jakarta.
Kahin, Audrey. 2005.
Dari Pemberontakan Ke Integrasi, Sumatera Barat dan Politik Indonesia
1926-1928. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Keputusan Presiden
Republik Indonesia. Nomor 28 Tahun 2006. Tentang Hari Bela Negara.
Osborne, David dan Ted
Gaebler. 1996. Mewirausahakan Birokrasi, Reinventing
Government, Mentransformasi Semangat Wirausaha Ke Dalam Sektor Publik.
Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 27
Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja
Daerah Tahun Anggaran 2014.
Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2011 Tentang Masterplan Percepatan Dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025.
Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah