Novel ini berkisah tentang lima orang pemuda dari seluruh
pelosok nusantara dengan berbagai latar kehidupan mereka masing-masing. Namun
garis tangan menyatukan mereka di STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam
Negeri) yang berada di Jatinangor. Sejak tahun 2004, STPDN menjadi IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri).
Pemuda pertama adalah Berney Tambonop, pemuda Merauke- Papua
yang tak terpikir sama sekali untuk jadi pegawai kantoran. Ia malah bersikeras
ingin menjadi pelaut seperti ayahnya. Lalu ada Guntoro yang berasal dari jawa
timur demikian pula, ia malah pernah kabur dari rumah demi mengelakkan tes
masuk STPDN. Abdi Praja, pemuda asal Pariaman –Sumatera Barat hanya
mempeturutkan arus, ia ikut saja apa kata apaknya yang berciloteh hebatnya
sekolah di Bandung, “tak membayar, wa’ang malah digaji. Baju dicucikan. Makan
tinggal suap. Tas dan buku peray sajo.”
Katanya berapi-api. Abdi mengangguk saja sembari mencerna setengah tak percaya.
Dari penjuru Indonesia paling timur, datanglah sosok anak muda bermata tajam, Teuku
Faisal, anak Yatim Piatu yang tak sangka menyangka masuk sekolah Pamong Praja
itu. Hanya Abdul Rohman saja, pemuda asal Solo yang mati-matian berjuang lulus
masuk STPDN. Maklum tubuhnya yang gembrot memaksa ia jauh-jauh tahun untuk
mengecilkan lingkar perutnya. Abdul lari saban pagi, keliling taman Swedari
Solo sampai berpeluh-peluh. Perutnya tak kunjung menciut, tapi ia berhasil
melangkah, memasuki gerbang STPDN.
Kisah yang mereka peroleh ketika bertemu para senior tak
sepenuhnya meninggalkan goresan luka. Tak semua senior berlaku garang.
Kisah-kisah manis juga kerap mereka kecap di kampus yang berada di kaki Gunung
Manglayang. Bahkan Abdi bertemu dengan gadis Makasar yang membuat hatinya
berkibar-kibar tiap bola matanya bersirobok dengan mata sang gadis. Namun yang
paling mengesankan bagi Abdi adalah persahabatan yang terajut indah akibat
perasaan senasib dengan rekan-rekannya. Ego kedaerahan mereka singkirkan jauh,
diganti dengan rasa bersimpati satu dengan lainnya.
*****
Demikian sekilas
tentang Novel Sang Abdi Praja. Novel ini saya tulis berdasarkan kejadian nyata
yang saya alami selama menempuh pendidikan di STPDN dari tahun
1995-1999. Masa-masa dalam era Orde Baru. Saya akui kekerasan memang terjadi
disana, tetapi bukanlah sehoror yang terbayang dalam benak kita tatkala media
gencar-gencarnya menyoroti kasus kematian Wahyu Hidayat (2003) maupun Cliff
Muntu (2007). Imej terbentuk seakan praja (mahasiswa) STPDN dari bangun pagi
hingga kembali tidur hanya penyiksaan semata. Banyak kisah-kisah positif yang
tak terungkap, namun demikian saya juga tak menutup-nutupi kisah kekerasan yang
memang terjadi disana. Saya coba sajikan berimbang. Sehingga publik dapat
menilai, apa yang perlu dibenahi demi mencetak para Pamong Praja yang handal
dan professional serta mampu memberikan pelayanan dan pengabdian demi
kepentingan masyarakat dan Negara RI.
Selain itu, novel ini diharapkan dapat menggugah semangat
nasionalisme yang mesti kita akui mulai menipis dalam sanubari para pelayan
Negara ini. Semoga.
Novel ini saya garap di penghujung Oktober 2011 hingga awal
September 2012. Tanggal 4 September 2012.
*****
*Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Juni 2013. Editor :
Mirna Yulistianti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar