Senin, 20 Januari 2014

BABAK BARU SEKOLAH PAMONG PRAJA (bagian pertama dari dua tulisan)*






Setelah selama satu tahun tidak menerima calon praja, Departemen Dalam Negeri kembali membuka pendaftaran bagi putera/puteri Warga Negara Indonesia untuk mengikuti pendidikan ikatan dinas pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dari tanggal 26 Mei hingga 7 Juni 2008 melalui pemerintah daerah setempat. 
Calon praja yang berhasil lulus seleksi akan disebar dan ditempatkan di kampus IPDN Regional di lima daerah yakni ; Baso, Jatinangor, Banjarmasin, Makasar dan Mataram. Dengan dimulainya pendaftaran tersebut, berarti pula dimulainya babak baru bagi lembaga pendidikan pamong praja ini.
Sejarah Sekolah Pamong Praja
Kalau dirunut sejarahnya, cikal bakal sekolah pamong praja telah ada sejak zaman penjajahan Belanda pada awal abad 19. Yakni dimulai dari Hoofden School (HS), yang lalu ditingkatkan statusnya menjadi Opleiding School Voor Inlandsch Ambtenaren (OSVIA). Tamatan OSVIA dapat melanjutkan pendidikannya ke Middelbare Opleiding School Voor Inlandsch Ambtenaren (MOSVIA).
Pada zaman penjajahan Jepang, MOSVIA diganti dengan nama Kursus Dinas C (KDC) dan pada tanggal 17 Maret 1956, Presiden Soekarno mengganti KDC dengan meresmikan pendirian Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) pertama di Kota Malang Jawa Timur dan diikuti dengan pendirian APDN di 20 Propinsi se-Indonesia. Lulusan APDN yang masih tamatan D3 dapat melanjutkan S1-nya ke Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) yang didirikan berdasarkan Kepres RI No 119/1967 di Jakarta. 
Pada  tahun 1989, seluruh APDN dilebur menjadi satu dan berada di Jatinangor Jawa Barat dengan nama Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) yang bertujuan untuk meningkatkan mutu calon pimpinan pemerintahan di lingkungan Departemen Dalam Negeri dan untuk melaksanakan tugas secara profesional dengan wawasan nusantara. 
Metamorfosis di tubuh sekolah pamong praja ini belum selesai. STPDN yang baru berusia 14 tahun dipaksa harus kembali melakukan perubahan. Namun perubahan kali ini lebih dilatar belakangi oleh karena kasus kematian Wahyu Hidayat utusan Propinsi Jawa Barat (2 September  2003) yang dianiaya oleh beberapa orang senior yang ironisnya justru juga berasal dari Jawa Barat. Kasus Wahyu Hidayat inilah yang mengawali terbongkarnya tradisi kekerasan yang terjadi dibalik tembok di STPDN, yang memaksa dilakukannya perubahan sistem yang cukup mendasar yakni menggabung STPDN dengan IIP menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di tahun 2004.
Dengan wajah baru tersebut, tidak menjamin sekolah pamong praja ini menemukan jati dirinya dengan baik. Terbukti dengan munculnya kembali kasus pemukulan senior terhadap junior dalam rangka pembai’atan Anggota Korps Polisi Praja yang  mengorbankan Cliff Muntu, praja utusan propinsi Sulawesi Utara (3 April 2007). Polemik kembali bermunculan bahkan hingga menuntut agar IPDN dibubarkan saja. Namun rupanya pemerintah bersikap lebih bijak dengan memilih opsi yang ditawarkan Tim Implementasi Pembenahan Pendidikan Kader Pemerintahan yang dipimpin Prof. DR. Ryaas Rasyid, yakni Opsi untuk tidak menerima praja baru selama setahun dan menyiapkan pendirian IPDN regional di lima daerah se-Indonesia serta mengkaji ulang sistem pendidikan di sekolah pamong praja yang juga sekaligus menghapuskan segala bentuk kekerasan yang telah mendarah daging tersebut.
Penulis mencermati bahwa permasalahan kekerasan di STPDN semakin meningkat tatkala dimulainya kebijakan otonomi daerah untuk mengalihkan biaya pendidikan yang semula tanggung jawab Dedpdagri menjadi tangung jawab pemerintah daerah masing-masing di tahun 2002. Sehingga setiap daerah seakan menjadi berlomba-lomba untuk  mengirimkan calon praja sebanyak-banyaknya sesuai kemampuan keuangannya.
Alhasil kapasitas calon praja meningkat, dari rata-rata 650 orang per-angkatan menjadi rata-rata +1.000 orang. Dan keadaan ini sangat disayangkan tanpa diiringi peningkatan jumlah asrama, fasilitas dan para pengasuh. Asrama yang idealnya dihuni 50 orang kemudian dipaksakan untuk memuat 100 orang.
Untuk mengatasi hal ini muncullah kebijakan baru yakni membuat tempat tidur bertingkat di asrama, rak lemari di bagi dua, meja belajar dipindahkan ke ruang tidur dan wasana praja (tingkat IV) harus menyewa kos di luar Ksatrian STPDN. Sehingga dengan demikian maka terjadilah sebuah komunitas sesak dan padat yang semakin menyuburkan tradisi kekerasan di asrama praja sementara di sisi lain terjadi masalah dengan tidak terawasinya pola kehidupan wasana praja yang menyewa kos-kosan.   
Mengapa Tidak Dibubarkan?
Selain karena secara historis pendidikan pamong praja telah lama mewarnai cakrawala penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, tidak dibubarkannya STPDN/IPDN juga terlebih karena pertimbangan bahwa peran sekolah tersebut dalam mencetak kader pamong praja masih dibutuhkan. Karena secara struktural dan fungsional, pamong praja memang memiliki peran yang sangat strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam hal penyelenggaraan pemerintahan.
Pamong praja sebenarnya merupakan sebutan kepada pegawai negeri yang memberikan teladan, pelayanan dan mengayomi masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman, maka pamong praja dituntut untuk semakin profesional, perpengetahuan dan berkemampuan lebih dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Menurut Prof.DR. Taliziduhu Ndraha, ada beberapa fungsi mutlak yang harus dimiliki seorang Pamong Praja untuk memenuhi takdirnya sebagai kualitas utama pemerintahan. Pertama adalah fungsi conducting. yaitu fungsi yang perlu digerakkan untuk menciptakan harmoni antar kegiatan yang berbeda oleh aktor yang berlain-lainan guna menghasilkan kinerja-bersama (bersinerji, misalnya orkestra).

*******



*Telah Terbit di Harian Pagi Padang Ekspres, Rabu 4 Juni 2008















Tidak ada komentar:

Posting Komentar