Setelah selama satu tahun tidak menerima calon
praja, Departemen Dalam Negeri kembali membuka pendaftaran bagi putera/puteri
Warga Negara Indonesia untuk mengikuti pendidikan ikatan dinas pada Institut
Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dari tanggal 26 Mei hingga 7 Juni 2008 melalui
pemerintah daerah setempat.
Calon praja yang berhasil lulus seleksi
akan disebar dan ditempatkan di kampus IPDN Regional di lima daerah yakni ;
Baso, Jatinangor, Banjarmasin, Makasar dan Mataram. Dengan dimulainya
pendaftaran tersebut, berarti pula dimulainya babak baru bagi lembaga
pendidikan pamong praja ini.
Sejarah Sekolah Pamong Praja
Kalau dirunut sejarahnya, cikal bakal sekolah
pamong praja telah ada sejak zaman penjajahan Belanda pada awal abad 19. Yakni
dimulai dari Hoofden School (HS),
yang lalu ditingkatkan statusnya menjadi Opleiding
School Voor Inlandsch Ambtenaren (OSVIA). Tamatan OSVIA dapat melanjutkan pendidikannya ke Middelbare Opleiding School Voor Inlandsch
Ambtenaren (MOSVIA).
Pada zaman penjajahan Jepang, MOSVIA
diganti dengan nama Kursus Dinas C (KDC) dan pada tanggal 17 Maret 1956,
Presiden Soekarno mengganti KDC dengan meresmikan pendirian Akademi
Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) pertama di Kota Malang Jawa Timur dan diikuti
dengan pendirian APDN di 20 Propinsi se-Indonesia. Lulusan APDN yang masih
tamatan D3 dapat melanjutkan S1-nya ke Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) yang
didirikan berdasarkan Kepres RI No 119/1967 di Jakarta.
Pada tahun 1989, seluruh APDN dilebur menjadi satu
dan berada di Jatinangor Jawa Barat dengan nama Sekolah Tinggi Pemerintahan
Dalam Negeri (STPDN) yang bertujuan untuk meningkatkan mutu calon pimpinan
pemerintahan di lingkungan Departemen Dalam Negeri dan untuk melaksanakan tugas
secara profesional dengan wawasan nusantara.
Metamorfosis di tubuh sekolah pamong praja ini
belum selesai. STPDN yang baru berusia 14 tahun dipaksa harus kembali melakukan
perubahan. Namun perubahan kali ini lebih dilatar belakangi oleh karena kasus
kematian Wahyu Hidayat utusan Propinsi Jawa Barat (2 September 2003) yang dianiaya oleh beberapa orang
senior yang ironisnya justru juga berasal dari Jawa Barat. Kasus Wahyu Hidayat
inilah yang mengawali terbongkarnya tradisi kekerasan yang terjadi dibalik
tembok di STPDN, yang memaksa dilakukannya perubahan sistem yang cukup mendasar
yakni menggabung STPDN dengan IIP menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri
(IPDN) di tahun 2004.
Dengan wajah baru tersebut, tidak menjamin sekolah
pamong praja ini menemukan jati dirinya dengan baik. Terbukti dengan munculnya
kembali kasus pemukulan senior terhadap junior dalam rangka pembai’atan Anggota
Korps Polisi Praja yang mengorbankan
Cliff Muntu, praja utusan propinsi Sulawesi Utara (3 April 2007). Polemik
kembali bermunculan bahkan hingga menuntut agar IPDN dibubarkan saja. Namun
rupanya pemerintah bersikap lebih bijak dengan memilih opsi yang ditawarkan Tim
Implementasi Pembenahan Pendidikan Kader Pemerintahan yang dipimpin Prof. DR.
Ryaas Rasyid, yakni Opsi untuk tidak menerima praja baru selama setahun dan
menyiapkan pendirian IPDN regional di lima daerah se-Indonesia serta mengkaji
ulang sistem pendidikan di sekolah pamong praja yang juga sekaligus
menghapuskan segala bentuk kekerasan yang telah mendarah daging tersebut.
Penulis mencermati bahwa permasalahan kekerasan di
STPDN semakin meningkat tatkala dimulainya kebijakan otonomi daerah untuk
mengalihkan biaya pendidikan yang semula tanggung jawab Dedpdagri menjadi
tangung jawab pemerintah daerah masing-masing di tahun 2002. Sehingga setiap
daerah seakan menjadi berlomba-lomba untuk
mengirimkan calon praja sebanyak-banyaknya sesuai kemampuan keuangannya.
Alhasil kapasitas calon praja meningkat,
dari rata-rata 650 orang per-angkatan menjadi rata-rata +1.000 orang.
Dan keadaan ini sangat disayangkan tanpa diiringi peningkatan jumlah asrama,
fasilitas dan para pengasuh. Asrama yang idealnya dihuni 50 orang kemudian
dipaksakan untuk memuat 100 orang.
Untuk mengatasi hal ini muncullah
kebijakan baru yakni membuat tempat tidur bertingkat di asrama, rak lemari di
bagi dua, meja belajar dipindahkan ke ruang tidur dan wasana praja (tingkat IV)
harus menyewa kos di luar Ksatrian STPDN. Sehingga dengan demikian maka
terjadilah sebuah komunitas sesak dan padat yang semakin menyuburkan tradisi
kekerasan di asrama praja sementara di sisi lain terjadi masalah dengan tidak
terawasinya pola kehidupan wasana praja yang menyewa kos-kosan.
Mengapa Tidak Dibubarkan?
Selain karena secara historis pendidikan pamong
praja telah lama mewarnai cakrawala penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia,
tidak dibubarkannya STPDN/IPDN juga terlebih karena pertimbangan bahwa peran
sekolah tersebut dalam mencetak kader pamong praja masih dibutuhkan. Karena
secara struktural dan fungsional, pamong praja memang memiliki peran yang
sangat strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam hal
penyelenggaraan pemerintahan.
Pamong praja sebenarnya merupakan sebutan
kepada pegawai negeri yang memberikan teladan, pelayanan dan mengayomi
masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman, maka pamong praja dituntut untuk
semakin profesional, perpengetahuan dan berkemampuan lebih dalam melaksanakan
tugas dan tanggung jawabnya.
Menurut Prof.DR. Taliziduhu Ndraha, ada
beberapa fungsi mutlak yang harus dimiliki seorang Pamong Praja untuk memenuhi
takdirnya sebagai kualitas utama pemerintahan. Pertama adalah fungsi conducting. yaitu fungsi yang perlu
digerakkan untuk menciptakan harmoni antar kegiatan yang berbeda oleh aktor
yang berlain-lainan guna menghasilkan kinerja-bersama (bersinerji, misalnya
orkestra).
*******
*Telah Terbit di Harian Pagi Padang Ekspres, Rabu 4 Juni 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar