Senin, 20 Januari 2014

KAMPANYE YANG MENCERDASKAN, KAPANKAH?*






Dalam Pemilu presiden, gubernur, bupati/Walikota, anggota DPR, DPD hingga DPRD selalu diberikan waktu dan ruang bagi para kandidat maupun partai politik untuk mengadakan kampanye. Tujuannya jelas, yakni  menarik simpatik sebesar-besarnya dari masyarakat agar memilih para kontestan Pemilu untuk duduk dalam jabatan politis.
Kalau di Amerika, kampanye capres sebagaimana saat ini berlangsung, persaingan kandidat dari Partai Demokrat Senator Barack Obama dan Senator Hillary Clinton, berkampanye -yang salah satunya- melalui orasi politik, yang mengangkat isyu-isyu riel terkait kebutuhan masyarakat AS, seperti kebijakan penanganan masalah Irak, Aborsi, Drugs, isyu rasial dan terorisme. Mereka lebih mengemukakan gagasan dan kualitas pribadi. Dan kampanye macam ini turut membentuk karakter masyarakat Amerika menjadi masyarakat yang lebih mengedepankan rasionalitas dibandingkan emosionalitas.
Di Pakistan, kampanye untuk memperebutkan kursi di Majelis Nasional (seperti DPR RI) dan Majelis Provinsi (DPRD Propinsi) dilakukan dengan model kampanye debat kandidat. Secara spesifik, para kandidat saling mengemukakan program sebagai solusi terhadap permasalahan warganya, selanjutnya antar kandidat dapat saling beradu argumen atau berbeda pendapat akan sebuah permasalahan. Tidak ada orkes dangdut, musik dan  joget-jogetan, tetapi masyarakat Pakistan tetap tertib dan betah untuk menyimak pidato politik dan mengikuti debat kandidat tersebut hingga usai.
Ibarat pepatah ’lain lubuk lain ikannya’, maka karakter masyarakat Indonesia tentu tidak dapat disamakan dengan masyarakat Amerika maupun Pakistan. Namun untuk model kampanye bisa saja dimodifikasi sehingga terbentuk suatu model kampanye yang mencerdaskan masyarakat sekaligus menjunjung nilai-nilai demokrasi.
Sebagaimana diketahui, bahwa kampanye di Indonesia hingga daerah-daerah, pada umumnya mendatangkan artis ternama untuk berjoget ria, memasang spanduk dan baligho di tempat strategis, memasang iklan di media cetak dan elektronik dengan biaya yang tidak sedikit, konvoi arak-arakan kendaraan, hingga kampanye tebar pesona kandidat melalui kunjungan ke fasilitas umum. Bahkan ada pula yang berkampanye sedikit berbau money politics yakni dengan membagi-bagikan sembako, kaos dan segala kebutuhan masyarakat dengan label gratis.
Kampanye yang hanya mengumbar hiburan dari artis kondang lebih cenderung mengarah pada nilai hura-huranya dibandingkan rasa keprihatinan akan kondisi masyarakat. Tak jarang, keributan karena masalah sepele acap kali terjadi dalam kerumunan penonton. Walaupun ada materi kampanye yang disampaikan para kandidat, namun tidak terkonsentrasi pada program terobosan mereka jika kelak terpilih. Justru teriakan berupa yel-yel itulah yang lebih sering terdengar. Demikian pula hal nya dengan kampanye yang dilakukan melalui konvoi arak-arakan kendaraan yang lebih bernuansa keributan dan rawan kecelakaan.
Kampanye melalui pemasangan iklan di media cetak dan elektronik juga hanya mampu dilakukan oleh kandidat yang memiliki banyak dana. Skenario iklan dapat di buat sesuai keinginan dan tujuan, disusun sedemikian rupa agar masyarakat terpukau, terkesan dan terobsesi pada figur sang kandidat. Penempatan iklan selanjutnya  diatur pada media cetak dan acara-acara TV yang mendapatkan rating tinggi di mata pemirsa. Namun realitanya, iklan tidaklah mencerminkan kualitas kandidat yang sebesarnya.
Teknik digital camera yang canggih saat ini dapat merubah penampilan kandidat hingga terkesan lebih muda, tampan, bersih dan bersahaja. Lalu ketika spanduk, baligho, billboard maupun neon box yang memuat senyum manis para kandidat terpajang di setiap lokasi strategis, masyarakatpun akan tertarik dengan ketampanan sang peserta Pemilu. Sekali lagi, uang kembali berperan dalam pembentukan image.
Dengan model kampanye yang demikian, maka jangan kaget kalau kontestan yang kaya,  punya barisan massa dan fotogeniklah yang lebih berpeluang besar memenangkan Pemilu dan duduk di lembaga eksekutif dan legislatif pusat maupun daerah. Sementara figur pemimpin yang berniat baik, berkapasitas dan berkualitas tapi tidak memiliki cukup uang, terpaksa harus gigit jari menyaksikan kondisi ini.
Model kampanye sebagaimana tersebut di atas, tidak memberikan pencerdasan kepada masyarakat, karena masyarakat hanya disuguhi hiburan tanpa mengerti substansi pemikiran para kontestan. Masyarakat dengan senang hati menerima apa saja yang dibagikan oleh kontestan pemilu, tanpa mengkritisi maksud sang kandidat.
Sehingga dengan demikian, sudah saatnya perlu dipikirkan sebuah model kampanye baru yang dapat mencerdaskan masyarakat.  Sebuah model kampanye baru yang lebih memberi ruang kepada kandidat negarawan dibandingkan kandidat hartawan.
Secara kongkret, model kampanye yang mencerdaskan ini dapat melalui debat terbuka antar kandidat. Debat terbuka ini harus lebih sering dilakukan dan di publikasikan secara terbuka di media elektronik atau cukup di lokasi strategis. Dengan menghadirkan para analis seperti dari ahli pemerintahan, pakar pendidikan, pemerhati sosial politik, hingga dari tokoh masyarakat yang dapat memberikan pertanyaan sekaligus mengkritisi program-program yang diajukan kontestan. Dan lebih bagus lagi bila masyarakat juga diberi kesempatan untuk bertanya.
Orasi politik juga dapat dikategorikan sebagai model kampanye yang mencerdaskan. Di sinilah ruang bagi para kandidat untuk meyakinkan masyarakat pemilih melalui program-program terobosan. Masyarakatpun dapat belajar dan menilai antara kandidat yang suka mengobral janji dan hanya omong kosong dengan kandidat yang benar-benar memiliki visi dan program nyata.
Kampanye yang mencerdaskan juga dapat dikemas dalam bentuk kuiz yang memakai score penilaian terhadap jawaban kandidat. Pertanyaan dapat seputar pengelolaan pemerintahan, peraturan perundangan dan pengetahuan umum dan soal-soal lainnya berkaitan pelaksanaan tugas kandidat bila terpilih. Pengawasan terhadap kebocoran soal perlu diperhatikan dalam model kampanye ini.
Kampanye yang mencerdaskan dapat juga berupa kewajiban kepada setiap kandidat untuk menulis artikel mengenai beberapa konsep pemikiran seperti  masalah pengembangan ekonomi masyarakat, cara mengatasi kemiskinan, meningkatkan kualitas pendidikan dan maupun tema lainnya yang menjadi isyu riel kebutuhan masyarakat. 
Kampanye melalui Internet juga bisa dilakukan kandidat. Teknisnya,  KPU atau masing-masing kandidat membuat situs yang bisa diakses dengan mudah oleh masyarakat yang ingin melayangkan pertanyaan, berkonsultasi atau bahkan chating  dengan para kandidat. Walaupun balasannya bisa saja dilakukan oleh tim kampanye.
 Seluruh prosedur kampanye yang mencerdaskan ini seyogyanya difasilitasi sarana, prasarana berikut pendanaannya oleh KPU pusat hingga daerah dan bekerjasama dengan sejumlah media cetak dan elektronik dan organisasi independent. Sehingga para kandidat yang bertarung tidak kerepotan untuk bermain uang. Dengan demikian, kandidat yang terpilih benar-benar yang memiliki integritas dan kualitas sebagai pemimpin bangsa, daerah dan wakil rakyat.

*******


Telah Terbit di Harian Pagi Padang Ekspres, Selasa 27 Mei 2008



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar