Dalam Pemilu
presiden, gubernur, bupati/Walikota, anggota DPR, DPD hingga DPRD selalu
diberikan waktu dan ruang bagi para kandidat maupun partai politik untuk
mengadakan kampanye. Tujuannya
jelas, yakni menarik simpatik
sebesar-besarnya dari masyarakat agar memilih para kontestan Pemilu untuk duduk
dalam jabatan politis.
Kalau di Amerika, kampanye capres
sebagaimana saat ini berlangsung, persaingan kandidat dari Partai Demokrat
Senator Barack Obama dan Senator Hillary Clinton, berkampanye -yang salah
satunya- melalui orasi politik, yang mengangkat isyu-isyu riel terkait
kebutuhan masyarakat AS, seperti kebijakan penanganan masalah Irak, Aborsi, Drugs, isyu rasial dan terorisme. Mereka
lebih mengemukakan gagasan dan kualitas pribadi. Dan kampanye macam ini turut
membentuk karakter masyarakat Amerika menjadi masyarakat yang lebih
mengedepankan rasionalitas dibandingkan emosionalitas.
Di Pakistan, kampanye untuk memperebutkan
kursi di Majelis Nasional (seperti DPR RI) dan Majelis Provinsi (DPRD Propinsi)
dilakukan dengan model kampanye debat kandidat. Secara spesifik, para kandidat
saling mengemukakan program sebagai solusi terhadap permasalahan warganya,
selanjutnya antar kandidat dapat saling beradu argumen atau berbeda pendapat
akan sebuah permasalahan. Tidak ada orkes dangdut, musik dan joget-jogetan, tetapi masyarakat Pakistan
tetap tertib dan betah untuk menyimak pidato politik dan mengikuti debat
kandidat tersebut hingga usai.
Ibarat pepatah ’lain lubuk lain ikannya’,
maka karakter masyarakat Indonesia tentu tidak dapat disamakan dengan
masyarakat Amerika maupun Pakistan. Namun untuk model kampanye bisa saja
dimodifikasi sehingga terbentuk suatu model kampanye yang mencerdaskan
masyarakat sekaligus menjunjung nilai-nilai demokrasi.
Sebagaimana diketahui, bahwa kampanye di
Indonesia hingga daerah-daerah, pada umumnya mendatangkan artis ternama untuk
berjoget ria, memasang spanduk dan baligho di tempat strategis, memasang iklan
di media cetak dan elektronik dengan biaya yang tidak sedikit, konvoi
arak-arakan kendaraan, hingga kampanye tebar pesona kandidat melalui kunjungan
ke fasilitas umum. Bahkan ada pula yang berkampanye sedikit berbau money politics yakni dengan
membagi-bagikan sembako, kaos dan segala kebutuhan masyarakat dengan label
gratis.
Kampanye yang hanya mengumbar hiburan dari
artis kondang lebih cenderung mengarah pada nilai hura-huranya dibandingkan
rasa keprihatinan akan kondisi masyarakat. Tak jarang, keributan karena masalah
sepele acap kali terjadi dalam kerumunan penonton. Walaupun ada materi kampanye
yang disampaikan para kandidat, namun tidak terkonsentrasi pada program
terobosan mereka jika kelak terpilih. Justru teriakan berupa yel-yel itulah
yang lebih sering terdengar. Demikian pula hal nya dengan kampanye yang
dilakukan melalui konvoi arak-arakan kendaraan yang lebih bernuansa keributan
dan rawan kecelakaan.
Kampanye melalui pemasangan iklan di media
cetak dan elektronik juga hanya mampu dilakukan oleh kandidat yang memiliki
banyak dana. Skenario iklan dapat di buat sesuai keinginan dan tujuan, disusun
sedemikian rupa agar masyarakat terpukau, terkesan dan terobsesi pada figur
sang kandidat. Penempatan iklan selanjutnya
diatur pada media cetak dan acara-acara TV yang mendapatkan rating
tinggi di mata pemirsa. Namun realitanya, iklan tidaklah mencerminkan kualitas
kandidat yang sebesarnya.
Teknik digital
camera yang canggih saat ini dapat merubah penampilan kandidat hingga
terkesan lebih muda, tampan, bersih dan bersahaja. Lalu ketika spanduk,
baligho, billboard maupun neon box
yang memuat senyum manis para kandidat terpajang di setiap lokasi strategis,
masyarakatpun akan tertarik dengan ketampanan sang peserta Pemilu. Sekali lagi,
uang kembali berperan dalam pembentukan image.
Dengan model kampanye yang demikian, maka
jangan kaget kalau kontestan yang kaya,
punya barisan massa dan fotogeniklah yang lebih berpeluang besar
memenangkan Pemilu dan duduk di lembaga eksekutif dan legislatif pusat maupun
daerah. Sementara figur pemimpin yang berniat baik, berkapasitas dan
berkualitas tapi tidak memiliki cukup uang, terpaksa harus gigit jari
menyaksikan kondisi ini.
Model kampanye sebagaimana tersebut di
atas, tidak memberikan pencerdasan kepada masyarakat, karena masyarakat hanya
disuguhi hiburan tanpa mengerti substansi pemikiran para kontestan. Masyarakat
dengan senang hati menerima apa saja yang dibagikan oleh kontestan pemilu,
tanpa mengkritisi maksud sang kandidat.
Sehingga dengan demikian, sudah saatnya perlu
dipikirkan sebuah model kampanye baru yang dapat mencerdaskan masyarakat. Sebuah model kampanye baru yang lebih memberi
ruang kepada kandidat negarawan dibandingkan kandidat hartawan.
Secara kongkret, model kampanye yang
mencerdaskan ini dapat melalui debat terbuka antar kandidat. Debat terbuka ini
harus lebih sering dilakukan dan di publikasikan secara terbuka di media
elektronik atau cukup di lokasi strategis. Dengan menghadirkan para analis
seperti dari ahli pemerintahan, pakar pendidikan, pemerhati sosial politik,
hingga dari tokoh masyarakat yang dapat memberikan pertanyaan sekaligus mengkritisi
program-program yang diajukan kontestan. Dan lebih bagus lagi bila masyarakat
juga diberi kesempatan untuk bertanya.
Orasi politik juga dapat dikategorikan
sebagai model kampanye yang mencerdaskan. Di sinilah ruang bagi para kandidat
untuk meyakinkan masyarakat pemilih melalui program-program terobosan.
Masyarakatpun dapat belajar dan menilai antara kandidat yang suka mengobral
janji dan hanya omong kosong dengan kandidat yang benar-benar memiliki visi dan
program nyata.
Kampanye yang mencerdaskan juga dapat
dikemas dalam bentuk kuiz yang memakai score
penilaian terhadap jawaban kandidat. Pertanyaan dapat seputar pengelolaan
pemerintahan, peraturan perundangan dan pengetahuan umum dan soal-soal lainnya
berkaitan pelaksanaan tugas kandidat bila terpilih. Pengawasan terhadap
kebocoran soal perlu diperhatikan dalam model kampanye ini.
Kampanye yang mencerdaskan dapat juga
berupa kewajiban kepada setiap kandidat untuk menulis artikel mengenai beberapa
konsep pemikiran seperti masalah
pengembangan ekonomi masyarakat, cara mengatasi kemiskinan, meningkatkan
kualitas pendidikan dan maupun tema lainnya yang menjadi isyu riel kebutuhan
masyarakat.
Kampanye melalui Internet juga bisa
dilakukan kandidat. Teknisnya, KPU atau
masing-masing kandidat membuat situs yang bisa diakses dengan mudah oleh
masyarakat yang ingin melayangkan pertanyaan, berkonsultasi atau bahkan chating
dengan para kandidat. Walaupun balasannya bisa saja dilakukan oleh tim
kampanye.
Seluruh prosedur kampanye yang
mencerdaskan ini seyogyanya difasilitasi sarana, prasarana berikut pendanaannya
oleh KPU pusat hingga daerah dan bekerjasama dengan sejumlah media cetak dan
elektronik dan organisasi independent. Sehingga para kandidat yang bertarung
tidak kerepotan untuk bermain uang. Dengan demikian, kandidat yang terpilih
benar-benar yang memiliki integritas dan kualitas sebagai pemimpin bangsa,
daerah dan wakil rakyat.
*******
Telah Terbit di Harian Pagi Padang Ekspres, Selasa 27 Mei 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar