UU 22/1999
tentang Pemerintahan Daerah
merupakan langkah awal yang signifikan dalam hal keleluasaan kepada daerah
untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Daerah dituntut untuk peka dalam
menghadapi perkembangan keadaan serta tantangan yang harus segera diantisipasi
sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, partisipasi masyarakat, pemerataan dan
keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah, yang dilaksanakan dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berbagai peraturan pemerintah (PP)
ditetapkan guna menjabarkan lebih lanjut beberapa ketentuan pasal di dalam
UU 22/1999. Salah satu PP yang muncul
dalam rangka pelaksanaan pasal 68 ayat (1) undang- undang otonomi daerah
tersebut adalah PP 84/2000 yang kemudian baru-baru ini diganti dengan PP 8
/2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.
Penggantian PP 84/2000 disebabkan tidak
relevannya PP tersebut dengan keadaan dan perkembangan penataan pemerintahan
daerah yang selanjutnya mendesak kelahiran PP no 8/2003. Namun bila dikaji
lebih mendalam terhadap pasal-pasal kedua PP tersebut, maka terlihat pemerintah
pusat bertujuan untuk mengadakan pemangkasan birokrasi yang dinilai terlalu
gemuk akibat adanya PP 84/2000.
Perampingan struktur pemerintah tersebut
dapat terlihat pada pasal-pasal di dalam PP 8 thn 2003. Terdapat penekanan
terhadap jumlah maksimal pejabat birokrat yang duduk dalam tiap-tiap tingkatan
eselon pada lingkungan sekretariat daerah propinsi/kabupaten/kota, dinas darah
propinsi/kabupaten/kota, kecamatan hingga kelurahan.
Penataan Birokrasi sebagaimana judul opini
saya kali ini tidak dapat disinonimkan dengan perampingan organisasi perangkat
daerah sebagaimana tercantum dalam PP 8/2003. Sebagian organisasi perangkat
daerah akan lebih berdaya dan berhasil guna bila memiliki sejumlah personil
yang sedikit dan anggaran yang minimal, sementara sebagian lainnya tidak demikian. Tetapi
penataan birokrasi seharusnya mencari keterpaduan atau ramuan yang tepat agar
dihasilkan suatu pelayanan yang efektif dan efisien serta kemampuan tiap
personil yang dapat segera melakukan inovasi terhadap perubahan sosial (social change) yang terjadi dalam rangka
pemenuhan kebutuhan masyarakat. Aspek spasial dan penduduk merupakan faktor
utama juga dalam menentukan ramuan yang tepat untuk ukuran pemda.
Untuk melakukan penataan birokrasi
seharusnya tetap mempertimbangkan aspek spasial di mana organisasi tersebut
berada. James J Heaphey melihat bahwa dalam berbagai telaahan para ahli,
analisis terhadap kebijakan seringkali
melupakan aspek spasial (dimensi ruang). Aspek spasial tidak hanya dibutuhkan
oleh perencana bidang fisik saja dan tidak dapat bersinonim dengan pengertian
perencanaan tata ruang maupun perencanaan umum yang akan berujung pada siapa saja yang melaksanakan atau
mewujudkan rencana tersebut. Namun lebih utama dari itu, secara spesifik di
sini, dimensi spasial harus terlebih dahulu diperhitungkan dalam pengambilan
keputusan. Hal ini pun selayaknya menjadi perhitungan dalam penataan birokrasi.
Kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks
terhadap pelayanan para birokrat, tentunya memiliki perbedaan secara spasial
atau geografis. Keadaan geografis dari pemda akan menentukan karakter
masyarakat, administrasi, ekonomi dan
budayanya. Suatu daerah industri yang bersifat urban akan membutuhkan suatu
bentuk Pemda yang dapat memenuhi kebutuhan perkotaan. Sedangkan daerah yang
bersifat agraris sebagai mata pencarian utama akan menjadikan daerah tersebut
bersifat rural, sehingga suatu bentuk pemda yang bersifat rural dibutuhkan.
Hendaknya
dalam penataan birokrasi, aspek spasial harus tetap diperhatikan. Karena beranjak dari sanalah,
dekonsentrasi dan desentralisasi menjadi sebuah instrumen yang berharga. Dengan
kata lain, bila tidak memandang aspek spasial maka tidak akan ada sistem dekonsentrasi dan desentralisasi yang
menjadi ciri pokok otonomi daerah. Bowman & Hampton (1983) menyatakan bahwa
tiada satupun pemerintah dari suatu negara dengan wilayah yang luas dapat
menentukan kebijakan secara efektif ataupun dapat melaksanakan kebijakan dan
program-programnya secara efisien melalui sistem sentralisasi. Dari pandangan
ini kita dapat melihat keterkaitan dari kebutuhan akan dekonsentrasi dan
desentralisasi dari pemerintah pusat dalam konotasi politis maupun
administratif kepada organisasi perangkat daerah.
Dikaitkan dengan PP 8/2003 dan bila
dibandingkan dengan PP sebelumnya PP 84/2000, maka pemerintah pusat seakan
membatasi kewenangan daerah dalam hal menentukan jumlah kapasitas organisasi
perangkat di daerah serta penentuan jumlah pejabat birokrasi yang dapat
menduduki eselonering di tiap-tiap organisasi perangkat daerah. Perubahan
paradigma tersebut akan dijelaskan dengan jenis-jenis sistem kepegawaian Pemda.
Jenis-Jenis Sistem Kepegawaian Pemda
Jenis-jenis
sistem kepegawaian pemda menurut United
Nation (1966) berikut ini akan mempermudah pemahaman kita menganai terjadinya
perubahan terhadap PP organisasi perangkat daerah tersebut.
- Tipe pertama adalah Separate Personnel System (SPS). Dalam sistem ini setiap pemda mempunyai kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pegawainya dan pegawai tidak dapat di transfer ke pemda lainnya, kecuali komitmen antar pemda. Kemudian setiap pemda mengatur sistem karier kepegawaiannya sendiri dan dapat membuat kebijakan secara otonom. SPS dipakai secara luas di Negara-negara bagian USA, Perancis, Inggris, Brazil.
- Tipe kedua adalah Unified Personnel System (UPS). Semua urusan kepegawaian daerah dari suatu negara untuk semua tingkatan atau pun hanya tingkatan-tingkatan tertentu dilakukan oleh suatu badan di tingkat nasional yang dibentuk untuk keperluan tersebut. Pengangkatan, promosi, tranfer dan pemberhentian pegawai pemda dilakukan oleh suatu badan tersebut. Sistem ini pertama kali di kembangkan di Irlandia. Negara-negara lain yang memakai sistem ini adalah Sri lanka, Jamaika, Thailand, Tanzania dan beberapa Negara bagian di India dan Nigeria.
- Tipe ketiga adalah Integrated Personnel System (IPS). Semua pegawai baik pegawai daerah maupun pusat diatur oleh pemerintah pusat. Sistem ini memungkinkan pegawai pindah dari pusat ke daerah dan sebaliknya. Sistem ini umumnya dipakai pada Negara-negara yang mempunyai karakter sentralisasi yang kuat. Ciri utama adalah adanya kemungkinan transfer pegawai baik secara vertical, dari pemda ke pempus maupun horizontal, dari satu daerah ke daerah lainnya. Sistem karir secara nasional baik untuk pegawai pusat dan daerah diatur secara uniform. Segala peraturan kepegawaian dari recruitment, penempatan, penggajian, pensiun, tindakan disiplin sampai pemberhentian ada di tangan pusat. Namun konsultasi juga diadakan dengan pemda yang bersangkutan. Umumnya gaji dibayar oleh pemda berdasarkan subsidi dari pusat.
Negara – negara yang diketahui memakai
sistem ini dengan perbedaan-perbedaan kecil di dalamnya adalah Taiwan, Uni
Emirat Arab, Maroko, Nepal , Pakistan dan Equador.
Relevansi Terhadap Organisasi Perangkat Daerah
Pada PP 84/2000, sistem kepegawaian daerah lebih
cenderung mengarah kepada SPS. Hal ini terlihat pada diberikannya
keleluasaan kepada Pemda untuk
menentukan jumlah jabatan dalam organisasi perangkat daerah, dengan syarat
dibentuk berdasarkan pertimbangan-pertimbangan : kewenangan pemerintah yang dimiliki oleh daerah, karakteristik,
potensi dan kebutuhan daerah, kemampuan keuangan daerah, ketersediaan sumber
daya aparatur dan pengembangan kerjasama antara daerah dengan pihak ketiga.
Sedangkan pada PP no 8/2003, sistem
kepegawaian yang diterapkan lebih condong kepada IPS. Terlihat dengan adanya ketentuan
pasal-pasal yang menetapkan bahwa kapasitas organisasi perangkat daerah
ditentukan jumlah sebanyak-banyaknya oleh pemerintah pusat. Sehingga pemda
membentuk organisasi perangkat daerah kurang atau sama dengan jumlah perangkat
daerah yang telah ditentukan.
Fenomena baru yang dinilai lebih cenderung
menganut sistem kepegawaian UPS yakni dengan ditetapkannya PP 9/2003 tentang
wewenang pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS. Pengaturan mengenai
pengangkatan dan pemberhentian sebelumnya telah ditetapkan dalam pasal 19 dan
20, PP no 84/2000.
Dalam pasal 19 PP 84/2000, dalam lingkup
propinsi maka menjadi kewenangan gubernur untuk pengangkatan dan pemberhentian
pejabat eselon I dan II. Sedangkan pejabat eselon III ke bawah, sekretaris
daerah propinsi (sekdaprop) mendapat pelimpahan kewenangan dari gubernur.
Demikian pula dalam hal pengangkatan dan pemberhentian sekdaprop dilakukan oleh
gubernur atas persetujuan pimpinan DPRD Propinsi.
Selanjutnya pada pasal 20 PP 84/2000 dalam
lingkup kabupaten/kota maka menjadi kewenangan bupati/ walikota untuk
pengangkatan dan pemberhentian pejabat eselon II dan III. Sedangkan pejabat
eselon IV ke bawah, sekda kabupaten /kota mendapat pelimpahan kewenangan dari
bupati/walikota. Demikian pula dalam hal pengangkatan dan pemberhentian
(sekdakab/kota) dilakukan oleh bupati/walikota atas persetujuan DPRD kab/kota.
Kedua pasal di atas telah dinyatakan tidak
berlaku seiring dengan ditetapkannya PP 8 /2003. Sedangkan ketentuan mengenai
pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS diatur kembali dalam PP 9 /2003 di
mana peran Badan Kepegawaian Negara kembali dimunculkan. Hal ini semakin
menguatkan bahwa sistem kepegawaian UPS dipergunakan di sini.
Tujuan yang menjadi hal mendasar terhadap
berbagai perubahan ketetapan PP tersebut adalah usaha peningkatan kinerja
birokrat untuk menyerap kebutuhan masyarakat san penemuan bentuk pelayanan yang
efektif, efisien dan akuntabel di mata masyarakat.
Kinerja dalam pelayanan berarti sejauh
mana efisiensi dan efektifitas serta akuntabilitas pelayanan telah dicapai. Menilai
efisiensi dengan melihat biaya yang dikeluarkan dibandingkan dengan benefit
yang dihasilkan. Efektifitas dilihat melalui ketepatan atau hasil pelayanan.
Sedangkan akuntabilitas berkaitan dengan sejauhmana respons masyarakat terhadap
pelayanan yang diberikan.
Untuk
menilai kinerja birokrat maka
diperlukan penilaian terhadap prestasi yakni dengan membandingkan antara hasil
yang telah dicapai dengan target atau sasaran yang harus dicapai. Jadi
pengukuran peningkatan kinerja tiap personil birokrasi yakni dengan
mempertanyakan sejauhmana tujuan telah dicapai.
Memang
perubahan prilaku serta budaya birokrat dalam meningkatkan kinerja mereka
menjadi suatu hal yang esensial untuk dilaksanakan. Namun perubahan budaya atau
kultur yang diharapkan tersebut tidak efektif bila tidak didahului dengan penetapan tujuan organisasi perangkat
daerah, menajemen pemerintahan, akuntabilitas terhadap masyarakat, serta
pengendalian terhadap kinerja birokrat.
*******
*Telah Terbit di Harian Pagi Singgalang, Senin, 24 Maret 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar