Senin, 20 Januari 2014

PENATAAN BIROKRASI Mencermati PP no 84 thn 2000,PP No 8 thn 2003 dan PP no 9 thn 2003*





UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan langkah awal yang signifikan dalam hal keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Daerah dituntut untuk peka dalam menghadapi perkembangan keadaan serta tantangan yang harus segera diantisipasi sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, partisipasi masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah, yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berbagai peraturan pemerintah (PP) ditetapkan guna menjabarkan lebih lanjut beberapa ketentuan pasal di dalam UU  22/1999. Salah satu PP yang muncul dalam rangka pelaksanaan pasal 68 ayat (1) undang- undang otonomi daerah tersebut adalah PP 84/2000 yang kemudian baru-baru ini diganti dengan PP 8 /2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.
Penggantian PP 84/2000 disebabkan tidak relevannya PP tersebut dengan keadaan dan perkembangan penataan pemerintahan daerah yang selanjutnya mendesak kelahiran PP no 8/2003. Namun bila dikaji lebih mendalam terhadap pasal-pasal kedua PP tersebut, maka terlihat pemerintah pusat bertujuan untuk mengadakan pemangkasan birokrasi yang dinilai terlalu gemuk akibat adanya PP 84/2000.
Perampingan struktur pemerintah tersebut dapat terlihat pada pasal-pasal di dalam PP 8 thn 2003. Terdapat penekanan terhadap jumlah maksimal pejabat birokrat yang duduk dalam tiap-tiap tingkatan eselon pada lingkungan sekretariat daerah propinsi/kabupaten/kota, dinas darah propinsi/kabupaten/kota, kecamatan hingga kelurahan.
Penataan Birokrasi sebagaimana judul opini saya kali ini tidak dapat disinonimkan dengan perampingan organisasi perangkat daerah sebagaimana tercantum dalam PP 8/2003. Sebagian organisasi perangkat daerah akan lebih berdaya dan berhasil guna bila memiliki sejumlah personil yang sedikit dan anggaran yang minimal, sementara  sebagian lainnya tidak demikian. Tetapi penataan birokrasi seharusnya mencari keterpaduan atau ramuan yang tepat agar dihasilkan suatu pelayanan yang efektif dan efisien serta kemampuan tiap personil yang dapat segera melakukan inovasi terhadap perubahan sosial (social change) yang terjadi dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat. Aspek spasial dan penduduk merupakan faktor utama juga dalam menentukan ramuan yang tepat untuk ukuran pemda.
Untuk melakukan penataan birokrasi seharusnya tetap mempertimbangkan aspek spasial di mana organisasi tersebut berada. James J Heaphey melihat bahwa dalam berbagai telaahan para ahli, analisis  terhadap kebijakan seringkali melupakan aspek spasial (dimensi ruang). Aspek spasial tidak hanya dibutuhkan oleh perencana bidang fisik saja dan tidak dapat bersinonim dengan pengertian perencanaan tata ruang maupun perencanaan umum yang akan berujung  pada siapa saja yang melaksanakan atau mewujudkan rencana tersebut. Namun lebih utama dari itu, secara spesifik di sini, dimensi spasial harus terlebih dahulu diperhitungkan dalam pengambilan keputusan. Hal ini pun selayaknya menjadi perhitungan dalam penataan birokrasi.
Kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks terhadap pelayanan para birokrat, tentunya memiliki perbedaan secara spasial atau geografis. Keadaan geografis dari pemda akan menentukan karakter masyarakat, administrasi, ekonomi  dan budayanya. Suatu daerah industri yang bersifat urban akan membutuhkan suatu bentuk Pemda yang dapat memenuhi kebutuhan perkotaan. Sedangkan daerah yang bersifat agraris sebagai mata pencarian utama akan menjadikan daerah tersebut bersifat rural, sehingga suatu bentuk pemda yang bersifat rural dibutuhkan.
Hendaknya dalam penataan birokrasi, aspek spasial harus tetap diperhatikan. Karena beranjak dari sanalah, dekonsentrasi dan desentralisasi menjadi sebuah instrumen yang berharga. Dengan kata lain, bila tidak memandang aspek spasial maka tidak akan ada  sistem dekonsentrasi dan desentralisasi yang menjadi ciri pokok otonomi daerah. Bowman & Hampton (1983) menyatakan bahwa tiada satupun pemerintah dari suatu negara dengan wilayah yang luas dapat menentukan kebijakan secara efektif ataupun dapat melaksanakan kebijakan dan program-programnya secara efisien melalui sistem sentralisasi. Dari pandangan ini kita dapat melihat keterkaitan dari kebutuhan akan dekonsentrasi dan desentralisasi dari pemerintah pusat dalam konotasi politis maupun administratif kepada organisasi perangkat daerah.
Dikaitkan dengan PP 8/2003 dan bila dibandingkan dengan PP sebelumnya PP 84/2000, maka pemerintah pusat seakan membatasi kewenangan daerah dalam hal menentukan jumlah kapasitas organisasi perangkat di daerah serta penentuan jumlah pejabat birokrasi yang dapat menduduki eselonering di tiap-tiap organisasi perangkat daerah. Perubahan paradigma tersebut akan dijelaskan dengan jenis-jenis sistem kepegawaian Pemda.
Jenis-Jenis Sistem Kepegawaian Pemda
Jenis-jenis sistem kepegawaian pemda menurut  United Nation (1966) berikut ini akan mempermudah pemahaman kita menganai terjadinya perubahan terhadap PP organisasi perangkat daerah tersebut.
  1. Tipe pertama adalah Separate Personnel System (SPS). Dalam sistem ini setiap pemda mempunyai kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pegawainya dan pegawai tidak dapat di transfer ke pemda lainnya, kecuali komitmen antar pemda. Kemudian setiap pemda mengatur sistem karier kepegawaiannya sendiri dan dapat membuat kebijakan secara otonom. SPS dipakai secara luas di Negara-negara bagian USA, Perancis, Inggris, Brazil.
  2. Tipe kedua adalah Unified Personnel System (UPS). Semua urusan kepegawaian daerah dari suatu negara untuk semua tingkatan atau pun hanya tingkatan-tingkatan tertentu dilakukan oleh suatu badan di tingkat nasional yang dibentuk untuk keperluan tersebut. Pengangkatan, promosi, tranfer  dan pemberhentian pegawai pemda dilakukan oleh suatu badan tersebut. Sistem ini pertama kali di kembangkan di Irlandia. Negara-negara lain yang memakai sistem ini adalah Sri lanka, Jamaika, Thailand, Tanzania dan beberapa Negara bagian di India dan Nigeria.
  3. Tipe ketiga adalah Integrated Personnel System (IPS). Semua pegawai baik pegawai daerah maupun pusat diatur oleh pemerintah pusat. Sistem ini memungkinkan  pegawai pindah dari pusat ke daerah dan sebaliknya. Sistem ini umumnya dipakai pada Negara-negara yang mempunyai karakter sentralisasi yang kuat. Ciri utama adalah adanya kemungkinan transfer pegawai baik secara vertical, dari pemda ke pempus maupun horizontal, dari satu daerah ke daerah lainnya. Sistem karir secara nasional baik untuk pegawai pusat dan daerah diatur secara uniform. Segala peraturan kepegawaian dari recruitment, penempatan, penggajian, pensiun, tindakan disiplin sampai pemberhentian ada di tangan pusat. Namun konsultasi juga diadakan dengan pemda yang bersangkutan. Umumnya gaji dibayar oleh pemda berdasarkan subsidi dari pusat.
Negara – negara yang diketahui memakai sistem ini dengan perbedaan-perbedaan kecil di dalamnya adalah Taiwan, Uni Emirat Arab, Maroko, Nepal , Pakistan dan Equador.
Relevansi Terhadap Organisasi Perangkat Daerah
Pada PP 84/2000, sistem kepegawaian daerah lebih cenderung mengarah kepada SPS. Hal ini terlihat pada diberikannya keleluasaan  kepada Pemda untuk menentukan jumlah jabatan dalam organisasi perangkat daerah, dengan syarat dibentuk berdasarkan pertimbangan-pertimbangan : kewenangan pemerintah  yang dimiliki oleh daerah, karakteristik, potensi dan kebutuhan daerah, kemampuan keuangan daerah, ketersediaan sumber daya aparatur dan pengembangan kerjasama antara daerah dengan pihak ketiga.
Sedangkan pada PP no 8/2003, sistem kepegawaian yang diterapkan lebih condong kepada IPS. Terlihat dengan adanya ketentuan pasal-pasal yang menetapkan bahwa kapasitas organisasi perangkat daerah ditentukan jumlah sebanyak-banyaknya oleh pemerintah pusat. Sehingga pemda membentuk organisasi perangkat daerah kurang atau sama dengan jumlah perangkat daerah yang telah ditentukan.
Fenomena baru yang dinilai lebih cenderung menganut sistem kepegawaian UPS yakni dengan ditetapkannya PP 9/2003 tentang wewenang pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS. Pengaturan mengenai pengangkatan dan pemberhentian sebelumnya telah ditetapkan dalam pasal 19 dan 20, PP no 84/2000.
Dalam pasal 19 PP 84/2000, dalam lingkup propinsi maka menjadi kewenangan gubernur untuk pengangkatan dan pemberhentian pejabat eselon I dan II. Sedangkan pejabat eselon III ke bawah, sekretaris daerah propinsi (sekdaprop) mendapat pelimpahan kewenangan dari gubernur. Demikian pula dalam hal pengangkatan dan pemberhentian sekdaprop dilakukan oleh gubernur atas persetujuan pimpinan DPRD Propinsi.
Selanjutnya pada pasal 20 PP 84/2000 dalam lingkup kabupaten/kota maka menjadi kewenangan bupati/ walikota untuk pengangkatan dan pemberhentian pejabat eselon II dan III. Sedangkan pejabat eselon IV ke bawah, sekda kabupaten /kota mendapat pelimpahan kewenangan dari bupati/walikota. Demikian pula dalam hal pengangkatan dan pemberhentian (sekdakab/kota) dilakukan oleh bupati/walikota atas persetujuan DPRD kab/kota.
Kedua pasal di atas telah dinyatakan tidak berlaku seiring dengan ditetapkannya PP 8 /2003. Sedangkan ketentuan mengenai pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS diatur kembali dalam PP 9 /2003 di mana peran Badan Kepegawaian Negara kembali dimunculkan. Hal ini semakin menguatkan bahwa sistem kepegawaian UPS dipergunakan di sini.
Tujuan yang menjadi hal mendasar terhadap berbagai perubahan ketetapan PP tersebut adalah usaha peningkatan kinerja birokrat untuk menyerap kebutuhan masyarakat san penemuan bentuk pelayanan yang efektif, efisien dan akuntabel di mata masyarakat.
Kinerja dalam pelayanan berarti sejauh mana efisiensi dan efektifitas serta akuntabilitas pelayanan telah dicapai. Menilai efisiensi dengan melihat biaya yang dikeluarkan dibandingkan dengan benefit yang dihasilkan. Efektifitas dilihat melalui ketepatan atau hasil pelayanan. Sedangkan akuntabilitas berkaitan dengan sejauhmana respons masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan.
Untuk menilai kinerja birokrat maka diperlukan penilaian terhadap prestasi yakni dengan membandingkan antara hasil yang telah dicapai dengan target atau sasaran yang harus dicapai. Jadi pengukuran peningkatan kinerja tiap personil birokrasi yakni dengan mempertanyakan sejauhmana tujuan telah dicapai.
Memang perubahan prilaku serta budaya birokrat dalam meningkatkan kinerja mereka menjadi suatu hal yang esensial untuk dilaksanakan. Namun perubahan budaya atau kultur yang diharapkan tersebut tidak efektif bila tidak didahului  dengan penetapan tujuan organisasi perangkat daerah, menajemen pemerintahan, akuntabilitas terhadap masyarakat, serta pengendalian terhadap kinerja birokrat.

*******
 *Telah Terbit di Harian Pagi Singgalang, Senin, 24 Maret 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar