Senin, 20 Januari 2014

SWASTANISASI BIROKRASI*





                      
Bureaucracy on the move. Semenjak era otonomi daerah berbagai daerah telah menunjukan keseriusan pembenahan di jajaran birokrasi mereka guna meningkatkan kepuasan masyarakat akan pelayanan yang diberikan. Di setiap unit kerja Pemerintah Daerah berlomba-lomba menunjukan komitmen untuk memperbaiki Standar Pelayanan Minimal (SPM). Obral janji maupun motto pun tampak disetiap pintu masuk, kasir atau tertempel norak di dinding ruang tunggu sebuah unit kerja  layanan masyarakat.
Seperti motto sebuah Rumah Sakit Umum Daerah “kesembuhan anda adalah kepuasan kami”, atau di sebuah Kantor Catatan Sipil “kami akan memberikan pelayanan tepat pada waktunya dan sopan melayani anda”, atau saat anda mengurus SIM “anda sopan kami segan”, di Kantor Dinas Pendapatan Daerah “orang bijak taat pajak”, hingga di Kantor Camat dan Lurah yang mencantumkan prosedur pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Kartu Keluarga (KK) dan izin lainnya, semua tertera jelas mulai dari persyaratan, waktu yang dibutuhkan, hingga biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat.
Demikian motto, slogan dan komitmen bertebaran, namun belum ada yang memberikan pernyataan spesifik. Birokrasi memang terus berbenah menuju perbaikan, namun sudah sampai di mana perbaikan itu terjadi? Apakah masyarakat benar-benar puas?
Saya pernah mengikuti Diklat Support for Good Governance (SfGG) yang diselenggarakan oleh Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ)  sebuah perusahaan milik Negara Jerman. SfGG sendiri berasumsi bahwa peningkatan pelayanan akan berhasil bila berangkat dari pengaduan masyarakat, tentu diperlukan beberapa lokakarya-lokakarya dan hasil akhirnya adalah setiap orang di dalam unit kerja yang mendapatkan pengaduan tertinggi dari masyarakat harus membuat Janji Perbaikan tertulis yang harus ditandatangani dan dipajang di kantor mereka masing-masing.
Sebagai contoh, seorang dokter di puskesmas yang sering terlambat memasuki kantor karena kekhilafannya sendiri maka harus menuliskan Janji Perbaikan ;  “Saya berjanji akan masuk kantor tepat pada pukul 08.00 WIB dan pulang pada pukul 16.00 WIB”. Seorang suster yang termasyur cerewet, dan bermuka masam terpaksa menulis Janji Perbaikan ; “Saya akan selalu tersenyum ramah mendengarkan keluhan anda”. Pengaduan masyarakat yang tinggi terhadap  camat atas keterlambatan keluarnya KTP mereka juga  disikapi sang camat dengan membuat Janji Perbaikan ; “Saya akan mengeluarkan KTP tepat pada waktunya apabila persyaratan kepengurusan telah dilengkapi”. Cukup demikian, mudah bukan? Tidak ada konsekwensi langsung yang harus diterima Sang Pembuat Janji Perbaikan bila mereka melanggar janjinya. Cukup hanya beban moril atas pernyataan yang mereka buat.
Di Amerika, Inggris, atau Australia serta negara maju lainnya sudah lebih berani mengeluarkan komitmen yang lebih spesifik seperti di Kantor Pelayanan Administrasi Kependudukan ; “Jika kami terlambat 1 hari mengeluarkan surat izin yang anda urus, maka anda mendapatkan diskon 50% dari biaya kepengurusan. Kalau 2 hari terlambat anda mendapatkannya secara gratis. Kalau keterlambatan hingga 3 hari atau lebih maka anda akan mendapatkan voucher senilai 50%”.
Sedangkan di beberapa rumah sakit daerah di Negara-negara  tersebut, tertera; “Anda akan mendapatkan pelayanan pemeriksaan paling lama 30 menit setelah anda memberikan kartu appointment kepada petugas loket, dan bila anda menunggu lebih dari waktu itu anda akan mendapatkan diskon 20% dari harga pengobatan”. Dan banyak lagi instansi penyedia layanan yang beramai-ramai memberikan diskon, voucher dan insentif lainnya sebagai konsekwensi langsung bila terjadi ke-ingkar janji-an yang telah dibuat unit penyedia layanan.
Sudahkah birokrasi Birokrasi Indonesia berbuat demikian? lalu mengapa birokrasi di beberapa negara maju sudah menunjukan keseriusannya dalam meningkatkan SPM mereka? Jawabannya adalah karena mereka saling berkompetisi. Mereka benar-benar berlomba memberikan kepuasan kepada pelanggan yang notabene adalah masyarakat. Mereka harus berani melakukan tender bersaing melawan perusahaan-perusahaan swasta. Swastanisasi Birokrasi itulah kuncinya.
Tidak ada yang statis dalam membenahi birokrasi, karena birokrasi berjalan dinamis sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakatnya. Bukan masanya lagi birokrasi bertindak sebagai pelayan publik, birokrat cukup sebagai pengarah tidak perlu mengayuh menghabiskan energi mereka. steering rather than rowing.
Sebagai gambaran, Walikota Indianapolis, Amerika,  Steven Goldsmith mentenderkan lebih dari 27 jasa, di mana perusahaan-perusahaan swasta bersaing dalam tender dengan badan-badan pemerintah. Dalam proses tersebut, ia menghemat lebih dari 100 juta dolar selama tujuh tahun. Demikian pula di Australia yang membuang monopoli mereka dengan menjual jasa kepada badan-badan pemerintahan yang bersaing dengan perusahaan swasta. Di Inggris, aktivitas pemerintah senilai 30 miliar dolar ditambah 600.000 pegawainya dijual kepada para pemodal swasta. (Osborne and plastrik; banishing bureaucracy).
Dari pengalaman-pengalaman di atas, sudah saatnya birokrasi di Indonesia kembali berbenah diri. Keterlibatan pihak swasta dalam birokrasi pemerintah tidak hanya sebatas sebagai kontraktor maupun konsultan saja. Lebih dari itu swasta dapat bertindak selaku penyedia layanan terhadap masyarakat.
Pemerintah memonopoli dan mengklaim sebuah urusan layanan adalah mutlak menjadi urusan mereka, bukan zamannya lagi. Justru dengan melibatkan pihak swasta maka akan terjadi sebuah persaingan sehat yang akan menawarkan bebagai Standar Pelayanan Minimal (SPM). Misalnya, sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang pendidikan dapat saja bersaing dengan dinas pendidikan untuk menjalankan program peningkatan kualitas pendidikan menengah di sebuah kota X. Dengan jumlah anggaran yang tersedia, mereka akan bersaing berusaha memenangkan tender yakni dengan menambah spesifikasi di luar SPM yang telah ditentukan, seperti akan memberikan les tambahan bagi seluruh murid, menyediakan fasilitas internet, bimbingan belajar, angkutan antar jemput atau memberikan makanan tambahan dan lain sebagainya.
Sebuah analogi lainnya, bagaimana jika pengerjaan layanan KTP dan KK dikerjakan oleh perusahaan swasta yang bergerak dibidang kependudukan? dengan anggaran maupun  pungutan biaya KTP yang sama dengan yang dilaksanakan oleh kecamatan dan kelurahan saat ini, spesifikasi apa yang akan diberikan oleh perusahan swasta ketika mereka di beri ‘angin’ untuk bersaing tender melawan kecamatan dan kelurahan? Kemungkinan yang terjadi, bisa saja perusahaan swasta itu memberikan undian door price bagi 10 orang pemegang KTP yang beruntung, atau mereka menyediakan KTP yang bisa sekaligus berfungsi sebagai kartu askes maupun sebagai Kartu ATM.
Lalu bagaimana dong dengan pak camatnya? Camat cukup fokus sebagai pengarah dan pemantau perkembangan penduduknya serta agar lebih berkonsentrasi berpikir terhadap rencana program-program yang berguna demi perbaikan di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di wilayahnya.
Tentu ide Swastanisasi Birokrasi ini perlu dirumuskan dan dipikirkan lebih lanjut. Baik mengenai teknis tendernya maupun pembiayaannya. Karena selama ini kita masih menganut sistem anggaran kinerja yang langsung dialokasikan kepada masing-masing unit kerja. Namun hal tersebut hanyalah teknis belaka, dan kita sudah terlalu sering berkutat, berputar-putar dan berdebat membahas sebuah proses hingga melupakan tujuan akhir dari terciptanya sebuah birokrasi. Meningkatkan kesejahteraan rakyat.

*******



*Telah Terbit di Harian Pagi Padang Ekspres, Senin 25 Februari 2008






Tidak ada komentar:

Posting Komentar