Bureaucracy on the move. Semenjak era otonomi daerah berbagai daerah
telah menunjukan keseriusan pembenahan di jajaran birokrasi mereka guna
meningkatkan kepuasan masyarakat akan pelayanan yang diberikan. Di setiap unit
kerja Pemerintah Daerah berlomba-lomba menunjukan komitmen untuk memperbaiki
Standar Pelayanan Minimal (SPM). Obral janji maupun motto pun tampak disetiap
pintu masuk, kasir atau tertempel norak di dinding ruang tunggu sebuah unit
kerja layanan masyarakat.
Seperti motto sebuah Rumah Sakit Umum
Daerah “kesembuhan anda adalah kepuasan kami”, atau di sebuah Kantor Catatan
Sipil “kami akan memberikan pelayanan tepat pada waktunya dan sopan melayani
anda”, atau saat anda mengurus SIM “anda sopan kami segan”, di Kantor Dinas
Pendapatan Daerah “orang bijak taat pajak”, hingga di Kantor Camat dan Lurah
yang mencantumkan prosedur pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Kartu Keluarga
(KK) dan izin lainnya, semua tertera jelas mulai dari persyaratan, waktu yang
dibutuhkan, hingga biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat.
Demikian
motto, slogan dan komitmen bertebaran, namun belum ada yang memberikan
pernyataan spesifik. Birokrasi memang terus berbenah menuju perbaikan, namun
sudah sampai di mana perbaikan itu terjadi? Apakah masyarakat benar-benar puas?
Saya
pernah mengikuti Diklat Support for Good
Governance (SfGG) yang diselenggarakan oleh Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) sebuah perusahaan milik Negara Jerman. SfGG
sendiri berasumsi bahwa peningkatan pelayanan akan berhasil bila berangkat dari
pengaduan masyarakat, tentu diperlukan beberapa lokakarya-lokakarya dan hasil
akhirnya adalah setiap orang di dalam unit kerja yang mendapatkan pengaduan
tertinggi dari masyarakat harus membuat Janji Perbaikan tertulis yang harus
ditandatangani dan dipajang di kantor mereka masing-masing.
Sebagai
contoh, seorang dokter di puskesmas yang sering terlambat memasuki kantor
karena kekhilafannya sendiri maka harus menuliskan Janji Perbaikan ; “Saya berjanji akan masuk kantor tepat pada
pukul 08.00 WIB dan pulang pada pukul 16.00 WIB”. Seorang suster yang termasyur
cerewet, dan bermuka masam terpaksa menulis Janji Perbaikan ; “Saya akan selalu
tersenyum ramah mendengarkan keluhan anda”. Pengaduan masyarakat yang tinggi
terhadap camat atas keterlambatan
keluarnya KTP mereka juga disikapi sang
camat dengan membuat Janji Perbaikan ; “Saya akan mengeluarkan KTP tepat pada
waktunya apabila persyaratan kepengurusan telah dilengkapi”. Cukup demikian,
mudah bukan? Tidak ada konsekwensi langsung yang harus diterima Sang Pembuat
Janji Perbaikan bila mereka melanggar janjinya. Cukup hanya beban moril atas
pernyataan yang mereka buat.
Di
Amerika, Inggris, atau Australia serta negara maju lainnya sudah lebih berani
mengeluarkan komitmen yang lebih spesifik seperti di Kantor Pelayanan
Administrasi Kependudukan ; “Jika kami terlambat 1 hari mengeluarkan surat izin
yang anda urus, maka anda mendapatkan diskon 50% dari biaya kepengurusan. Kalau
2 hari terlambat anda mendapatkannya secara gratis. Kalau keterlambatan hingga
3 hari atau lebih maka anda akan mendapatkan voucher senilai 50%”.
Sedangkan
di beberapa rumah sakit daerah di Negara-negara
tersebut, tertera; “Anda akan mendapatkan pelayanan pemeriksaan paling
lama 30 menit setelah anda memberikan kartu appointment
kepada petugas loket, dan bila anda menunggu lebih dari waktu itu anda akan
mendapatkan diskon 20% dari harga pengobatan”. Dan banyak lagi instansi
penyedia layanan yang beramai-ramai memberikan diskon, voucher dan insentif
lainnya sebagai konsekwensi langsung bila terjadi ke-ingkar janji-an yang telah
dibuat unit penyedia layanan.
Sudahkah
birokrasi Birokrasi Indonesia berbuat demikian? lalu mengapa birokrasi di
beberapa negara maju sudah menunjukan keseriusannya dalam meningkatkan SPM
mereka? Jawabannya adalah karena mereka saling berkompetisi. Mereka benar-benar
berlomba memberikan kepuasan kepada pelanggan yang notabene adalah masyarakat.
Mereka harus berani melakukan tender bersaing melawan perusahaan-perusahaan
swasta. Swastanisasi Birokrasi itulah kuncinya.
Tidak
ada yang statis dalam membenahi birokrasi, karena birokrasi berjalan dinamis
sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakatnya. Bukan masanya lagi
birokrasi bertindak sebagai pelayan publik, birokrat cukup sebagai pengarah
tidak perlu mengayuh menghabiskan energi mereka. steering rather than rowing.
Sebagai gambaran, Walikota Indianapolis,
Amerika, Steven Goldsmith mentenderkan
lebih dari 27 jasa, di mana perusahaan-perusahaan swasta bersaing dalam tender
dengan badan-badan pemerintah. Dalam proses tersebut, ia menghemat lebih dari
100 juta dolar selama tujuh tahun. Demikian pula di Australia yang membuang
monopoli mereka dengan menjual jasa kepada badan-badan pemerintahan yang
bersaing dengan perusahaan swasta. Di Inggris, aktivitas pemerintah senilai 30
miliar dolar ditambah 600.000 pegawainya dijual kepada para pemodal swasta. (Osborne
and plastrik; banishing bureaucracy).
Dari
pengalaman-pengalaman di atas, sudah saatnya birokrasi di Indonesia kembali
berbenah diri. Keterlibatan pihak swasta dalam birokrasi pemerintah tidak hanya
sebatas sebagai kontraktor maupun konsultan saja. Lebih dari itu swasta dapat
bertindak selaku penyedia layanan terhadap masyarakat.
Pemerintah memonopoli
dan mengklaim sebuah urusan layanan adalah mutlak menjadi urusan mereka, bukan
zamannya lagi. Justru dengan melibatkan pihak swasta maka akan terjadi sebuah
persaingan sehat yang akan menawarkan bebagai Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Misalnya, sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang pendidikan dapat
saja bersaing dengan dinas pendidikan untuk menjalankan program peningkatan
kualitas pendidikan menengah di sebuah kota X. Dengan jumlah anggaran yang
tersedia, mereka akan bersaing berusaha memenangkan tender yakni dengan
menambah spesifikasi di luar SPM yang telah ditentukan, seperti akan memberikan
les tambahan bagi seluruh murid, menyediakan fasilitas internet, bimbingan
belajar, angkutan antar jemput atau memberikan makanan tambahan dan lain
sebagainya.
Sebuah analogi
lainnya, bagaimana jika pengerjaan layanan KTP dan KK dikerjakan oleh
perusahaan swasta yang bergerak dibidang kependudukan? dengan anggaran
maupun pungutan biaya KTP yang sama
dengan yang dilaksanakan oleh kecamatan dan kelurahan saat ini, spesifikasi apa
yang akan diberikan oleh perusahan swasta ketika mereka di beri ‘angin’ untuk
bersaing tender melawan kecamatan dan kelurahan? Kemungkinan yang terjadi, bisa
saja perusahaan swasta itu memberikan undian door price bagi 10 orang
pemegang KTP yang beruntung, atau mereka menyediakan KTP yang bisa sekaligus
berfungsi sebagai kartu askes maupun sebagai Kartu ATM.
Lalu bagaimana dong
dengan pak camatnya? Camat cukup fokus sebagai pengarah dan pemantau
perkembangan penduduknya serta agar lebih berkonsentrasi berpikir terhadap
rencana program-program yang berguna demi perbaikan di bidang pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan di wilayahnya.
Tentu ide Swastanisasi
Birokrasi ini perlu dirumuskan dan dipikirkan lebih lanjut. Baik mengenai
teknis tendernya maupun pembiayaannya. Karena selama ini kita masih menganut
sistem anggaran kinerja yang langsung dialokasikan kepada masing-masing unit
kerja. Namun hal tersebut hanyalah teknis belaka, dan kita sudah terlalu sering
berkutat, berputar-putar dan berdebat membahas sebuah proses hingga melupakan
tujuan akhir dari terciptanya sebuah birokrasi. Meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
*******
*Telah Terbit di Harian Pagi Padang Ekspres, Senin 25
Februari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar