Diakui memang sejak dimulainya era reformasi,
istilah Good Governance mulai
familiar di telinga kita. Istilah Good
Governance, yang diterjemahkan sebagai tata pemerintahan yang baik telah
mulai populer di Indonesia semenjak tahun 1998 yakni ketika United Nation
Development Program (UNDP) bekerjasama dengan Departemen Dalam Negeri melalui
Proyek BUILD (breakthrough Urban
Initiative for local development) yaitu sebuah kegiatan yang difokuskan
pada pengembangan visi dan strategi, pemanfaatan semua potensi, dan peningkatan
efisiensi, efektifitas dan sinergi (kemitraan) dengan memperhatikan aspek hak
partisipasi, keterbukaan, tanggap dan aspek pengambilan kesepakatan bersama
dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Bahkan setahun kemudian pada pasal 92 ayat
1 UU 22/1999 yang juga merupakan cikal bakal UU 32/2004 tentang pemerintahan
daerah mengharuskan keterlibatan tiga pilar kekuatan Good Governance yakni pemerintah, swasta dan masyarakat sipil untuk
bersinergi melaksanakan pembangunan di berbagai bidang sehingga diharapkan
tercapainya kesejahteraan masyarakat.
Hampir disetiap seminar pemerintahan,
pelajaran mata perkuliahan administrasi dan pidato kepala daerah hingga kepala
desa selalu mengagung-agungkan konsep Good
Governance.
Namun yang masih sangat disayangkan adalah
Good Governance masih berjalan di
tataran teoritis, bahkan cenderung merupakan utopia belaka. Padahal Good Governance tidak diciptakan untuk
bahan perdebatan, namun lebih dari itu, harus diwujudkan dalam langkah-langkah
konkret.
Hingga saat ini –setelah nyaris 10 tahun Good Governance disosialisasikan- belum
ada pemerintahan daerah yang rela menuangkan prinsip Good Governance kedalam peraturan daerahnya. Belum ada daerah yang
secara tegas ingin meregulasikan hubungan segitiga Pemerintah-Swasta-Masyarakat
Sipil demi mencapai tata kepemerintahan yang baik.
Paling banter penerapan Good Governance hanya memberikan sedikit
ruang planning bagi masyarakat untuk
turut serta dalam merencanakan pembangunan di dalam kegiatan berjudul
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Selebihnya jangan
diharap masyarakat dapat terlibat, ketika proses administrasi publik beranjak
kepada organizing, actuating dan controlling.
Keterlibatan
pihak swasta dalam mensukseskan Good
Governance juga hanya sebatas melaksanakan tender pengadaan barang dan
jasa. Belum ada aplikasi bahwa swasta juga dapat dilibatkan untuk bersaing
dengan birokrasi untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka peningkatan pelayanan
kepada masyarakat.
Patut
disadari, kebutuhan masyarakat di abad 21 ini semakin meningkat dan komplek.
Artinya birokrasi selaku lembaga pemegang kendali penuh akan pelayanan publik
juga sudah selayaknya beradaptasi dengan keadaan tersebut. birokrasi sudah
harus mulai memikirkan cara untuk membagi fungsi pelayanan publiknya tanpa
melepaskan kontrolnya selaku penanggung jawab utama penyelenggaraan
administrasi publik.
Monopoli
pelayanan publik bila terus dilakukan akan memperburuk kinerja birokrasi itu
sendiri dan bermuara pada buruknya pelayanan yang diterima masyarakat. Sudah
saatnya pintu kesempatan dibuka lebar, agar keterlibatan masyarakat sipil,
pelaku usaha mempunyai peluang yang sama dengan birokrasi dalam melaksanakan
peningkatan pelayanan publik. Untuk mempertegas dan merubah iklim pelayanan
birokrasi maka hal pertama yang dilakukan adalah menuangkannya ke dalam
peraturan daerah.
Selain
memuat prinsip-prinsip Good Governance
dan dijabarkan dalam beberapa pasal yang menjelaskan peran pemerintah-dunia
usaha-masyarakat sipil, Perda Good
Governance juga harus memuat reward
and punishment untuk memacu kinerja masing-masing pilar menjalankan fungsi
sebagaimana mestinya. Untuk itu perlu beberapa pasal di dalam perda Good Governance yang memberikan otoritas
kepada sebuah badan bersama antara ketiga pilar yang independent untuk
mengawasi penyelewengan dan penyimpangan dalam penyelengaraan Good Governance.
Contoh
lainnya, untuk melaksanakan prinsip transparency
dan accountability, setiap unit kerja
di pemerintah daerah diharuskan mengumumkan pelaksanaan kegiatan lengkap dengan
anggaran yang tersedia, target dan realisasi bulanan yang di pajang di papan pengumuman unit
kerja. Hal ini akan membatasi birokrasi untuk berbuat hal-hal di luar
koriornya, selain itu juga memberikan peluang pada masyarakat untuk mengkontrol
jalannya roda pemerintahan.
Intinya
diperlukan keseriusan dan keberanian kita dalam merealisasikan prinsip-prinsip Good Governance dan hubungan kesejajaran
antara ketiga pilar pemerintah-swasta-masyarakat sipil.
*******
*Telah Dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres, Rabu 19 Maret 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar