Senin, 20 Januari 2014

URGENSI PEMINDAHAN IBUKOTA NEGARA*






Wacana pemindahan Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia mulai mengapung kembali. Kesemrawutan DKI Jakarta sebagai Ibukota multicomplex function yakni sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis/ekonomi, politik dan pendidikan  sudah mulai berdampak terhadap munculnya berbagai prolematika sosial, ekonomi hingga masalah pencemaran lingkungan yang secara tidak langsung mempengaruhi jalannya kelancaran pemerintahan di DKI Jakarta Khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Sebenarnya pemindahan kekuasaan atau pusat pemerintahan telah dilakukan oleh dinasti pendahulu kita baik di dalam maupun di luar ‘istana’ Republik ini. Kalau dikaji secara Historis tercatat bahwa peristiwa pemindahan Ibukota pernah terjadi pada Tahun 1745, yakni ketika Paku Buwono II memboyong Keraton Mataram dari Kartasura ke Surakarta, hal ini dimaksudkan agar terjadi suatu pembaruan karena Paku Buwono II meyakini, Kartasura sebagai ibu kota telah ternoda oleh pemberontakan Mas Garendi yang didukung orang-orang Tionghoa. Untuk itu pemindahan dimaksudkan untuk membuang sial dan berharap Negeri Mataram yang dipimpinnya dapat tegak berjaya.
Pada zaman Presiden Soekarno juga sudah pernah dicanangkan pemindahan ibu kota Negara ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Sedangkan pemindahan Pusat Pemerintahan juga pernah sempat pindah ke Yogyakarta dan Bukittinggi pada periode awal kemerdekaan.
Bila kita mencoba untuk men-zoom in berbagai daerah di Indonesia maka kita dapat melihat beberapa daerah yang ternyata telah lebih dulu berhasil dalam memindahkan ibukota propinsinya, kabupaten maupun kotanya ke lokasi yang lebih baik dan strategis guna memperlancar penyelenggaraan pemerintahan di daerahnya.
Beberapa daerah yang memiliki ibukota barunya di antaranya adalah  Kabupaten Buton yang ibukotanya pindah dari Kota Bau-Bau ke Pasar Wajo pada Tahun 2003, Kabupaten Kepulauan Riau pada tahun 2004 ibukotanya pindah dari wilayah Kota Tanjung Pinang ke Bandar Seri Bentan di wilayah Kecamatan Teluk Bintan, Kabupaten Tasikmalaya ibukotanya pindah dari wilayah Kota Tasikmalaya ke Singaparna di tahun 2004, Kabupaten Aceh Timur ibukotanya pindah dari wilayah Kota Langsa ke wilayah Kecamatan Idi Rayeuk di Tahun 2007, dan di Sumatera Barat yakni pemindahan Ibukota Kabupaten Solok dari wilayah kota solok ke Kayu Aro - Sukarami (arosuka) di wilayah Kecamatan Gunung Talang Kabupaten Solok pada Tahun 2004. Sedangkan pemindahan Ibukota Propinsi terjadi di Kalimantan Selatan yakni dari Banjarmasin ke Banjarbaru pada tahun 2006 dengan memakan biaya sejumlah Rp 30 Miliar untuk pembebasan lahan seluas 400 hektar.
Riwayat di beberapa negara juga pernah melakukan pemindahan Ibukota seperti halnya Jepang. Kaisar Meizi Tenno’o yang begitu usai menerima tampuk kekuasaan pada 1816 memindahkan ibu kota Kekaisaran Jepang dari Kyoto ke Tokyo. Meizi juga berhasil membuktikan, pemindahan pusat pemerintahan yang ia lakukan menjadi titik tolak modernisasi Jepang.
Amerika Serikat dalam mencapai tujuannya menjadi Negara adikuasa seperti saat ini juga tak terlepas dari torehan sejarah dengan melakukan pemindahan ibukotanya sebanyak dua kali yakni dari New York ke Philadelphia dan tak lama kemudian memindahkannya kembali yakni ke Washington DC yang berada di ujung timur Amerika.
Malaysia juga telah memindahkan Pusat Pemerintahannya dari Petalingjaya di Kualalumpur menjadi di Putrajaya. Putrajaya sebagai Pusat Pemerintahan yang baru tak begitu jauh dari Kualalumpur. Jaraknya hanya sekitar 40 km di selatan Kuala Lumpur dan dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 30 menit. Perdana Menteri Malaysia kala itu –Dato’ Sri Mahathir Mohammad- melihat kondisi petalingjaya tidak memungkinkan sebagai pusat pemerintahan berhubung pesatnya pembangunan perekonomian di Kuala Lumpur. Hasilnya dapat dilihat saat ini, kualalumpur sebagai pusat bisnis dan perdagangan serta pendidikan tumbuh terus menjadi salah satu kota modern dan tersibuk di dunia. Sementara Negara bagian lainnya tumbuh dengan product unggulannya masing-masing seperti Malaka dengan heritage building-nya dan Selangor dengan perkebunan kelapa sawitnya.
Bila dicermati dari latarbelakang mengapa Negara maupun propinsi, kabupaten/kota melakukan pemindahan Ibukotanya maka alasan-alasan tersebut antaranya adalah  pertama, untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan; kedua karena bencana alam atau musibah sehingga harus memaksa penyelenggaraan pemerintahan dipindahkan kelokasi yang aman; ketiga, untuk pembaharuan ; keempat, karena strategi perang ; dan kelima untuk penyebaran beban yang tertumpu pada hanya satu daerah.
Bila melihat kemajuan yang pesat yang dicapai dari beberapa Negara atas kebijakan mereka untuk memindahkan ibukota negaranya tentu menjadi pertanyaan besar bagi kita mengapa Pemerintah tidak berkeinginan memindahkan Ibukota ? Agar beban yang ditanggung Jakarta tidak begitu besar, agar adanya ketepatan, kecepatan, keamanan dan kenyamanan dalam mengatur pemerintahan dan juga  agar adanya penyebaran kesejahteraan, atau apakah tidak ada daerah yang layak dan pantaskah untuk dijadikan cikal bakal ibukota Negara? Atau apakah menunggu banjir di Jakarta menjadi lebih besar lagi seperti tsunami yang menggulung aceh, atau menunggu kemacetan lalu lintas sehingga menjadi begitu macetnya bahkan untuk berjalan kakipun harus berdesakan ? what we are waiting for ?
Alternatif Lokasi Ibukota
Cepat atau lambat pemindahan pusat pemerintahan pasti akan dilakukan, ini merupakan sebuah konsekwensi dari perkembangan sebuah Negara yang membutuhkan ruang khusus yang memenuhi kriteria sebagai bagi pusat pemerintahannya. Namun kemanakah gelar DKI (daerah khusus ibukota) kemudian layak disandangkan ? daerah mana yang lulus dalam kriteria tersebut ?
Dengan berbagai alasan, beberapa kota muncul sebagai alternatif pilihan di antaranya adalah Palangkaraya dan Samarinda di Kalimantan, dengan alasan bahwa pulau Kalimantan terlepas dari rangkaian patahan lempengan antar benua Australia dan Asia sehingga dipastikan Pulau Kalimantan terlepas dari kemungkinan terkena bencana gempa bumi dan tsunami.
Dengan alasan pengalaman sejarah sejumlah kota yang pernah diamanahkan menjadi Pusat Pemerintahan  juga layak dipertimbangkan sebagai ibukota Negara yakni seperti Yogyakarta dan Bukittinggi.
Dengan alasan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat ada juga yang memunculkan wacana untuk memindahkan ibukota negara ke Kawasan Timur Indonesia.
Bogor atau Bekasi dan juga daerah Jonggol juga menjadi alternatif paling kuat karena jarak yang dekat dengan Jakarta. Dan letaknya juga masih dianggap strategi karena masih merupakan center of Indonesia. Beberapa kalangan berpendapat dengan semakin jauhnya pusat pemerintahan yang baru dari pusat yang lama maka biaya yang dikeluarkan akan semakin besar pula, sehingga Jonggol dianggap lebih efisien di banding daerah lainnya. Dalam jangka pendek memang lebih efisien memindahkan ibukota kedaerah terdekat, namun dalam jangka panjang akan mulai lagi pemikiran untuk pemindahan ibukota kedaerah yang lainnya karena lambat laun Jonggol, bogor atau bekasi kembali sesak, macet, sumpek dan mengharuskan dipindahkannya Ibukota kembali. Alangkah lebih baik bila kita langsung mengkondisikan daerah baru yang lebih representatif sebagai calon Ibukota Negara.
Bila membuat baru system pusat pemerintahan memang memerlukan waktu dan biaya yang besar. Namun bila dikaji lebih lanjut pemerintah hanya memindahkan uangnya dari saku kanan ke saku kirinya. Artinya bila pemerintah membangun suatu pusat pemerintahan yang lebih terkonsolidasi di daerah yang baru, mereka dapat menjual asset yang ada di Jakarta kepada para pengusaha dan uang yang dihasilkan dapat dipergunakan untuk membeli sarana dan prasarana di daerah yang baru. Selain itu pemerintah dapat melakukan kerjasama pembiayaan dengan Pemda setempat yang daerahnya dijadikan DKI. Toh yang diuntungkan langsung dari pemindahan Ibukota adalah Pemda terkait.
Sekarang Atau Nanti
Wacana pemindahan Ibukota NKRI bukan merupakan solusi langsung dari penuntasan permasalahan kemacetan, banjir, polusi udara sumpeknya pemukiman penduduk maupun kriminalitas di DKI Jakarta. Namun dengan pemindahan Ibukota NKRI ke lokasi yang lebih representatif  maka setidaknya akan terwujud suatu system pemerintahan NKRI akan lebih terkonsolidasi dan terkoordinir dengan baik, dan secara bertahap akan terbangun sebuah komunitas maupun identitas yang baru menuju  masyarakat Indonesia modern yang tidak lagi berkutat dengan sekelumit problematika bencana alam, kependudukan, kriminalitas dan lain sebagaimanya yang terus menjadi momok di negeri ini. Sekarang atau nanti adalah hanya masalah waktu, suatu saat nanti kita akan terdesak dengan pengambilan keputusan bahwa toh ibukota harus segera dipindahkan, namun kebiasaan yang telah menjadi ritual masyarakat kita adalah menunggu sampai keadaan mendesak. Alah cakak takana silek, Hanya masyarakat yang bijaklah yang memikirkan atau bahkan mengantisipasi sebelum sesuatu terjadi. Jadi, tergolong manakah kita, orang bijak atau tidak? It’s depend on you..     

*******


*Telah Dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres,Selasa 20 November 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar