Wacana
pemindahan Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia mulai mengapung kembali.
Kesemrawutan DKI Jakarta sebagai Ibukota multicomplex
function yakni sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis/ekonomi, politik
dan pendidikan sudah mulai berdampak
terhadap munculnya berbagai prolematika sosial, ekonomi hingga masalah
pencemaran lingkungan yang secara tidak langsung mempengaruhi jalannya
kelancaran pemerintahan di DKI Jakarta Khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Sebenarnya
pemindahan kekuasaan atau pusat pemerintahan telah dilakukan oleh dinasti
pendahulu kita baik di dalam maupun di luar ‘istana’ Republik ini. Kalau dikaji
secara Historis tercatat bahwa peristiwa pemindahan Ibukota pernah terjadi pada
Tahun 1745, yakni ketika Paku Buwono II memboyong Keraton Mataram dari
Kartasura ke Surakarta, hal ini dimaksudkan agar terjadi suatu pembaruan karena
Paku Buwono II meyakini, Kartasura sebagai ibu kota telah ternoda oleh
pemberontakan Mas Garendi yang didukung orang-orang Tionghoa. Untuk itu
pemindahan dimaksudkan untuk membuang sial dan berharap Negeri Mataram yang dipimpinnya
dapat tegak berjaya.
Pada zaman
Presiden Soekarno juga sudah pernah dicanangkan pemindahan ibu kota Negara ke
Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Sedangkan pemindahan
Pusat Pemerintahan juga pernah sempat pindah ke Yogyakarta dan Bukittinggi pada
periode awal kemerdekaan.
Bila kita mencoba untuk men-zoom in
berbagai daerah di Indonesia maka kita dapat melihat beberapa daerah yang
ternyata telah lebih dulu berhasil dalam memindahkan ibukota propinsinya,
kabupaten maupun kotanya ke lokasi yang lebih baik dan strategis guna
memperlancar penyelenggaraan pemerintahan di daerahnya.
Beberapa daerah yang memiliki ibukota barunya di
antaranya adalah Kabupaten Buton yang
ibukotanya pindah dari Kota Bau-Bau ke Pasar Wajo pada Tahun 2003, Kabupaten
Kepulauan Riau pada tahun 2004 ibukotanya pindah dari wilayah Kota Tanjung
Pinang ke Bandar Seri Bentan di wilayah Kecamatan Teluk Bintan, Kabupaten
Tasikmalaya ibukotanya pindah dari wilayah Kota Tasikmalaya ke Singaparna di
tahun 2004, Kabupaten Aceh Timur ibukotanya
pindah dari wilayah Kota Langsa ke wilayah Kecamatan Idi Rayeuk di Tahun 2007,
dan di Sumatera Barat yakni pemindahan Ibukota Kabupaten Solok dari
wilayah kota solok ke Kayu Aro - Sukarami (arosuka) di wilayah Kecamatan Gunung
Talang Kabupaten Solok pada Tahun 2004. Sedangkan pemindahan Ibukota Propinsi
terjadi di Kalimantan Selatan yakni dari Banjarmasin ke Banjarbaru pada tahun
2006 dengan memakan biaya sejumlah Rp 30 Miliar untuk pembebasan lahan seluas
400 hektar.
Riwayat
di beberapa negara juga pernah melakukan pemindahan Ibukota seperti halnya
Jepang. Kaisar Meizi Tenno’o yang begitu usai menerima tampuk kekuasaan pada
1816 memindahkan ibu kota Kekaisaran Jepang dari Kyoto ke Tokyo. Meizi juga
berhasil membuktikan, pemindahan pusat pemerintahan yang ia lakukan menjadi
titik tolak modernisasi Jepang.
Amerika Serikat
dalam mencapai tujuannya menjadi Negara adikuasa seperti saat ini juga tak
terlepas dari torehan sejarah dengan melakukan pemindahan ibukotanya sebanyak
dua kali yakni dari New York ke Philadelphia dan tak lama kemudian
memindahkannya kembali yakni ke Washington DC yang berada di ujung timur
Amerika.
Malaysia
juga telah memindahkan Pusat Pemerintahannya dari Petalingjaya di Kualalumpur
menjadi di Putrajaya. Putrajaya sebagai Pusat Pemerintahan yang baru tak begitu
jauh dari Kualalumpur. Jaraknya hanya sekitar 40 km di selatan Kuala Lumpur dan
dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 30 menit. Perdana Menteri Malaysia kala
itu –Dato’ Sri Mahathir Mohammad- melihat kondisi petalingjaya tidak memungkinkan
sebagai pusat pemerintahan berhubung pesatnya pembangunan perekonomian di Kuala
Lumpur. Hasilnya dapat dilihat saat ini, kualalumpur sebagai pusat bisnis dan
perdagangan serta pendidikan tumbuh terus menjadi salah satu kota modern dan
tersibuk di dunia. Sementara Negara bagian
lainnya tumbuh dengan product unggulannya masing-masing seperti Malaka dengan heritage building-nya dan Selangor
dengan perkebunan kelapa sawitnya.
Bila dicermati dari latarbelakang
mengapa Negara maupun propinsi, kabupaten/kota melakukan pemindahan Ibukotanya
maka alasan-alasan tersebut antaranya adalah
pertama, untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan; kedua karena bencana alam atau musibah sehingga harus memaksa
penyelenggaraan pemerintahan dipindahkan kelokasi yang aman; ketiga, untuk
pembaharuan ; keempat, karena strategi perang ; dan kelima untuk penyebaran
beban yang tertumpu pada hanya satu daerah.
Bila melihat kemajuan yang
pesat yang dicapai dari beberapa Negara atas kebijakan mereka untuk memindahkan
ibukota negaranya tentu menjadi pertanyaan besar bagi kita mengapa Pemerintah
tidak berkeinginan memindahkan Ibukota ? Agar beban yang ditanggung Jakarta
tidak begitu besar, agar adanya ketepatan, kecepatan, keamanan dan kenyamanan
dalam mengatur pemerintahan dan juga
agar adanya penyebaran kesejahteraan, atau apakah tidak ada daerah yang
layak dan pantaskah untuk dijadikan cikal bakal ibukota Negara? Atau apakah
menunggu banjir di Jakarta menjadi lebih besar lagi seperti tsunami yang
menggulung aceh, atau menunggu kemacetan lalu lintas sehingga menjadi begitu
macetnya bahkan untuk berjalan kakipun harus berdesakan ? what we are waiting for ?
Alternatif Lokasi Ibukota
Cepat atau
lambat pemindahan pusat pemerintahan pasti akan dilakukan, ini merupakan sebuah
konsekwensi dari perkembangan sebuah Negara yang membutuhkan ruang khusus yang
memenuhi kriteria sebagai bagi pusat pemerintahannya. Namun kemanakah gelar DKI
(daerah khusus ibukota) kemudian layak disandangkan ? daerah mana yang lulus
dalam kriteria tersebut ?
Dengan
berbagai alasan, beberapa kota muncul sebagai alternatif pilihan di antaranya
adalah Palangkaraya dan Samarinda di Kalimantan, dengan alasan bahwa pulau
Kalimantan terlepas dari rangkaian patahan lempengan antar benua Australia dan
Asia sehingga dipastikan Pulau Kalimantan terlepas dari kemungkinan terkena
bencana gempa bumi dan tsunami.
Dengan
alasan pengalaman sejarah sejumlah kota yang pernah diamanahkan menjadi Pusat
Pemerintahan juga layak dipertimbangkan
sebagai ibukota Negara yakni seperti Yogyakarta dan Bukittinggi.
Dengan
alasan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat ada juga yang
memunculkan wacana untuk memindahkan ibukota negara ke Kawasan Timur Indonesia.
Bogor
atau Bekasi dan juga daerah Jonggol juga menjadi alternatif paling kuat karena
jarak yang dekat dengan Jakarta. Dan letaknya juga masih dianggap strategi
karena masih merupakan center of
Indonesia. Beberapa kalangan berpendapat dengan semakin jauhnya pusat
pemerintahan yang baru dari pusat yang lama maka biaya yang dikeluarkan akan
semakin besar pula, sehingga Jonggol dianggap lebih efisien di banding daerah
lainnya. Dalam jangka pendek memang lebih efisien memindahkan ibukota kedaerah
terdekat, namun dalam jangka panjang akan mulai lagi pemikiran untuk pemindahan
ibukota kedaerah yang lainnya karena lambat laun Jonggol, bogor atau bekasi
kembali sesak, macet, sumpek dan mengharuskan dipindahkannya Ibukota kembali.
Alangkah lebih baik bila kita langsung mengkondisikan daerah baru yang lebih
representatif sebagai calon Ibukota Negara.
Bila
membuat baru system pusat pemerintahan memang memerlukan waktu dan biaya yang
besar. Namun bila dikaji lebih lanjut pemerintah hanya memindahkan uangnya dari
saku kanan ke saku kirinya. Artinya bila pemerintah membangun suatu pusat
pemerintahan yang lebih terkonsolidasi di daerah yang baru, mereka dapat
menjual asset yang ada di Jakarta kepada para pengusaha dan uang yang
dihasilkan dapat dipergunakan untuk membeli sarana dan prasarana di daerah yang
baru. Selain itu pemerintah dapat melakukan kerjasama pembiayaan dengan Pemda
setempat yang daerahnya dijadikan DKI. Toh yang diuntungkan langsung dari
pemindahan Ibukota adalah Pemda terkait.
Sekarang Atau
Nanti
Wacana pemindahan Ibukota NKRI bukan merupakan solusi langsung
dari penuntasan permasalahan kemacetan, banjir, polusi udara sumpeknya
pemukiman penduduk maupun kriminalitas di DKI Jakarta. Namun dengan pemindahan
Ibukota NKRI ke lokasi yang lebih representatif
maka setidaknya akan terwujud suatu system pemerintahan NKRI akan lebih
terkonsolidasi dan terkoordinir dengan baik, dan secara bertahap akan terbangun
sebuah komunitas maupun identitas yang baru menuju masyarakat Indonesia modern yang tidak lagi
berkutat dengan sekelumit problematika bencana alam, kependudukan, kriminalitas
dan lain sebagaimanya yang terus menjadi momok di negeri ini. Sekarang atau
nanti adalah hanya masalah waktu, suatu saat nanti kita akan terdesak dengan
pengambilan keputusan bahwa toh ibukota harus segera dipindahkan, namun
kebiasaan yang telah menjadi ritual masyarakat kita adalah menunggu sampai
keadaan mendesak. Alah cakak takana
silek, Hanya masyarakat yang bijaklah yang memikirkan atau bahkan
mengantisipasi sebelum sesuatu terjadi. Jadi, tergolong manakah kita, orang
bijak atau tidak? It’s depend on you..
*******
*Telah Dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres,Selasa 20
November 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar