Senin, 20 Januari 2014

TUNJANGAN DAERAH SOLUSI PGPS*






Pintar Goblok Pendapatan Sama (PGPS), itulah istilah yang muncul sebagai akibat dari kebijakan penilaian pukul rata terhadap kinerja birokrat baik di daerah maupun di pusat. Tidak ada reward yang jelas bagi PNS yang disiplin dan tak ada punishment yang tegas terhadap PNS yang indisipliner. Semua sama-sama mendapatkan gaji, yang membedakan hanya tingkat eselon, kepangkatan dan masa jabatan.
Sehingga terjadilah budaya dan tradisi malas, lamban dan tidak kreatif di kalangan birokrat. Mengapa mereka demikian, karena atasan dan rekan mereka yang lain juga malas, lamban dan tidak kreatif. Mereka berpikir ; Mengapa harus rajin, toh kalau malas juga mendapatkan gaji yang sama besarnya, buat apa pekerjaan diselesaikan dengan  cepat, lamapun diselesaikan tidak ada sanksi apa-apa, untuk apa bertindak kreatif toh tidak akan mendapatkan penghargaan. Demikianlah sehingga  terbentuk suatu paradigma PGPS dalam prilaku birokrat.
Teori-teori pun banyak bermunculan sebagai solusi terhadap buruknya kinerja PNS. Salah satunya adalah dengan cara meningkatkan pendapatan  PNS secara proporsional sesuai prestasi kerja yang dicapainya. Di awal pengabdiannya sebagai Menteri Dalam Negeri, Mardianto yang menggantikan M.Maruf memahami budaya PGPS di kalangan birokrat, mantan Gubernur Jawa Tengah tersebut segera mengeluarkan Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Pada Pasal 39 diatur mengenai tambahan penghasilan di luar gaji pokok yang jumlahnya bisa mencapai ratusan persen dari jumlah gaji pokok artinya tidak ada batasan atas yang mematok jumlah tambahan penghasilan tersebut, tergantung kemampuan daerah masing-masing.
Para PNS tentu patut bergembira karena ada peluang penambahan penghasilan di luar gaji rutin. Sebenarnya soal penambahan penghasilan sudah banyak didapatkan oleh PNS di daerah masing-masing, namun tidak tertuang secara legal dalam bentuk peraturan perundangan, sehingga sebagian daerah ragu untuk menerapkannya, namun tidak sedikit daerah yang telah memberikan tunjangan daerah untuk menambah kesejahteraan pegawainya. Kota Pariaman misalnya, memberikan tunjangan daerah kepada pegawainya dengan jumlah nominal yang berbeda sesuai jenjang eselonering. Semakin tinggi eselonnya maka semakin besar pula tunjangan daerah yang didapatkan. Sedangkan Kota Sawahlunto memberikan tunjangan daerah yang merata kepada pegawainya mulai dari staf hingga eselon tertinggi mendapatkan jumlah yang sama setiap bulannya. Kota Padang, bahkan telah mengalokasikan dana tunjangan perbaikan penghasilan PNS sekitar 42 miliar untuk anggaran APBD tahun 2008 (padeks;23 nov 2007).
Dengan lahirnya permendagri 59/2007, daerah tidak perlu ragu-ragu lagi untuk memberikan tunjangan daerah maupun tunjangan lainnya. Hanya saja tentu diperlukan kriteria khusus sebagai objek penilaian kinerja agar pemberian tunjangan daerah bukan sekedar bagi-bagi uang tambahan penghasilan Pegawai saja, namun juga harus sebagai pemicu agar birokrat berpacu untuk bertindak sigap, cepat dan kreatif dalam menjalankan tugas.
Pemerintah Propinsi Gorontalo dapat dijadikan teladan dalam menggenjot kinerja birokrat. Fadel Muhammad telah menerapkan tunjangan daerah yang dihitung berdasarkan parameter absensi dan kinerja. PNS harus dituntut tepat waktu dalam masuk jam kerja, istirahat dan pulang kantor, kemudian kinerja juga menjadi pertimbangan  dalam penghitungan jumlah tunjangan daerah yang diterima. Birokrat Gorontalo dalam kesehariannya harus mempunyai target pencapaian kinerja, seorang PNS yang bekerja baik akan mendapatkan tunjangan daerah yang besarnya bisa mencapai 300 persen dari gaji pokok mereka.
Menyikapi lebih lanjut permendagri 59/2007, daerah hendaknya segera menyikapinya yakni dengan merumuskan faktor-faktor yang dapat dijadikan acuan dalam menentukan besarnya tunjangan daerah. Beberapa faktor yang bisa menjadi pertimbangan tersebut adalah, pertama, Beban Kerja; yaitu banyaknya pekerjaan yang terselesaikan oleh PNS, seorang PNS yang mendapatkan pekerjaan mengetik selembar surat tentu berbeda tunjangan daerahnya dibandingkan dengan PNS yang bertugas membuat sebuah makalah seminar, presentasi, pidato kepala daerah atau rancangan produk hukum daerah.
Kedua, Fasilitas yang Dimiliki; sebagai contoh, dua orang  PNS walaupun dapat menyelesaikan pekerjaan yang sama dengan kualitas setara namun yang satu menggunakan kendaraan dinas sedangkan yang lainnya tidak punya maka tentu penilaian kinerja terhadap mereka tidak bisa disamakan.
Ketiga, Tempat Bertugas; semakin terpencil daerah PNS tersebut bertugas tentu tidak sama dengan PNS yang berada di pusat daerah. Sebagai contoh; Camat yang bertugas di daerah batas kota  dinilai layak dan pantas mendapatkan tunjangan daerah yang lebih besar bila dibandingkan Camat yang bertugas di daerah yang strategis.
Keempat, Prestasi Kerja; maksudnya point penilaian diberikan kepada PNS yang disamping dapat mengerjakan pekerjaan rutin dengan baik namun PNS tersebut juga dapat menunjukan ide terobosan yang luar biasa.
Kelima, Resiko Pekerjaan; PNS yang bekerja sebagai petugas pemadam kebakaran sewajarnya mendapatkan tunjangan daerah yang lebih besar dibanding PNS yang memiliki resiko pekerjaan yang lebih ringan seperti PNS yang bertugas sebagai operator computer misalnya.
Keenam, Kecepatan dan Ketepatan; Pekerjaan yang idealnya dikerjakan dalam beberapa hari namun dengan kesigapannya PNS tersebut dapat menyelesaikan pekerjaan dalam waktu singkat sehingga mereka layak mendapatkan tambahan penghasilan.
Dengan menerapkan beberapa parameter penilaian kinerja terhadap PNS sebagaimana di atas, saya optimis budaya PGPS di kalangan PNS akan sirna dan berganti dengan budaya PGPB, Pintar Goblok Pendapatan Beda. 

*******

*Telah Terbit di Harian Pagi Padang Ekspres, Sabtu 1 Desember 2007








Tidak ada komentar:

Posting Komentar