Pintar Goblok
Pendapatan Sama (PGPS), itulah istilah yang muncul sebagai akibat dari
kebijakan penilaian pukul rata terhadap kinerja birokrat baik di daerah maupun
di pusat. Tidak ada reward yang jelas
bagi PNS yang disiplin dan tak ada punishment
yang tegas terhadap PNS yang indisipliner. Semua sama-sama mendapatkan gaji,
yang membedakan hanya tingkat eselon, kepangkatan dan masa jabatan.
Sehingga
terjadilah budaya dan tradisi malas, lamban dan tidak kreatif di kalangan
birokrat. Mengapa mereka demikian, karena atasan dan rekan mereka yang lain
juga malas, lamban dan tidak kreatif. Mereka berpikir ; Mengapa harus rajin,
toh kalau malas juga mendapatkan gaji yang sama besarnya, buat apa pekerjaan
diselesaikan dengan cepat, lamapun
diselesaikan tidak ada sanksi apa-apa, untuk apa bertindak kreatif toh tidak
akan mendapatkan penghargaan. Demikianlah sehingga terbentuk suatu paradigma PGPS dalam prilaku
birokrat.
Teori-teori
pun banyak bermunculan sebagai solusi terhadap buruknya kinerja PNS. Salah satunya adalah dengan cara
meningkatkan pendapatan PNS secara
proporsional sesuai prestasi kerja yang dicapainya. Di awal pengabdiannya
sebagai Menteri Dalam Negeri, Mardianto yang menggantikan M.Maruf memahami
budaya PGPS di kalangan birokrat, mantan Gubernur Jawa Tengah tersebut segera
mengeluarkan Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah. Pada Pasal 39 diatur mengenai tambahan penghasilan di luar
gaji pokok yang jumlahnya bisa mencapai ratusan persen dari jumlah gaji pokok
artinya tidak ada batasan atas yang mematok jumlah tambahan penghasilan
tersebut, tergantung kemampuan daerah masing-masing.
Para PNS tentu patut bergembira karena ada
peluang penambahan penghasilan di luar gaji rutin. Sebenarnya soal penambahan
penghasilan sudah banyak didapatkan oleh PNS di daerah masing-masing, namun
tidak tertuang secara legal dalam bentuk peraturan perundangan, sehingga
sebagian daerah ragu untuk menerapkannya, namun tidak sedikit daerah yang telah
memberikan tunjangan daerah untuk menambah kesejahteraan pegawainya. Kota
Pariaman misalnya, memberikan tunjangan daerah kepada pegawainya dengan jumlah
nominal yang berbeda sesuai jenjang eselonering. Semakin tinggi
eselonnya maka semakin besar pula tunjangan daerah yang didapatkan. Sedangkan
Kota Sawahlunto memberikan tunjangan daerah yang merata kepada pegawainya mulai
dari staf hingga eselon tertinggi mendapatkan jumlah yang sama setiap bulannya.
Kota Padang, bahkan telah mengalokasikan dana tunjangan perbaikan penghasilan
PNS sekitar 42 miliar untuk anggaran APBD tahun 2008 (padeks;23 nov 2007).
Dengan
lahirnya permendagri 59/2007, daerah tidak perlu ragu-ragu lagi untuk
memberikan tunjangan daerah maupun tunjangan lainnya. Hanya saja tentu
diperlukan kriteria khusus sebagai objek penilaian kinerja agar pemberian
tunjangan daerah bukan sekedar bagi-bagi uang tambahan penghasilan Pegawai
saja, namun juga harus sebagai pemicu agar birokrat berpacu untuk bertindak
sigap, cepat dan kreatif dalam menjalankan tugas.
Pemerintah
Propinsi Gorontalo dapat dijadikan teladan dalam menggenjot kinerja birokrat.
Fadel Muhammad telah menerapkan tunjangan daerah yang dihitung berdasarkan
parameter absensi dan kinerja. PNS harus dituntut tepat waktu dalam masuk jam
kerja, istirahat dan pulang kantor, kemudian kinerja juga menjadi
pertimbangan dalam penghitungan jumlah
tunjangan daerah yang diterima. Birokrat Gorontalo dalam kesehariannya harus
mempunyai target pencapaian kinerja, seorang PNS yang bekerja baik akan
mendapatkan tunjangan daerah yang besarnya bisa mencapai 300 persen dari gaji
pokok mereka.
Menyikapi
lebih lanjut permendagri 59/2007, daerah hendaknya segera menyikapinya yakni
dengan merumuskan faktor-faktor yang dapat dijadikan acuan dalam menentukan
besarnya tunjangan daerah. Beberapa faktor yang bisa menjadi pertimbangan
tersebut adalah, pertama, Beban Kerja; yaitu banyaknya pekerjaan yang
terselesaikan oleh PNS, seorang PNS yang mendapatkan pekerjaan mengetik
selembar surat tentu berbeda tunjangan daerahnya dibandingkan dengan PNS yang
bertugas membuat sebuah makalah seminar, presentasi, pidato kepala daerah atau
rancangan produk hukum daerah.
Kedua,
Fasilitas yang Dimiliki; sebagai contoh, dua orang PNS walaupun dapat menyelesaikan pekerjaan
yang sama dengan kualitas setara namun yang satu menggunakan kendaraan dinas
sedangkan yang lainnya tidak punya maka tentu penilaian kinerja terhadap mereka
tidak bisa disamakan.
Ketiga,
Tempat Bertugas; semakin terpencil daerah PNS tersebut bertugas tentu tidak
sama dengan PNS yang berada di pusat daerah. Sebagai contoh; Camat yang
bertugas di daerah batas kota dinilai
layak dan pantas mendapatkan tunjangan daerah yang lebih besar bila
dibandingkan Camat yang bertugas di daerah yang strategis.
Keempat,
Prestasi Kerja; maksudnya point penilaian diberikan kepada PNS yang disamping
dapat mengerjakan pekerjaan rutin dengan baik namun PNS tersebut juga dapat
menunjukan ide terobosan yang luar biasa.
Kelima, Resiko
Pekerjaan; PNS yang bekerja sebagai petugas pemadam kebakaran sewajarnya
mendapatkan tunjangan daerah yang lebih besar dibanding PNS yang memiliki
resiko pekerjaan yang lebih ringan seperti PNS yang bertugas sebagai operator
computer misalnya.
Keenam,
Kecepatan dan Ketepatan; Pekerjaan yang idealnya dikerjakan dalam beberapa hari
namun dengan kesigapannya PNS tersebut dapat menyelesaikan pekerjaan dalam
waktu singkat sehingga mereka layak mendapatkan tambahan penghasilan.
Dengan
menerapkan beberapa parameter penilaian kinerja terhadap PNS sebagaimana di
atas, saya optimis budaya PGPS di kalangan PNS akan sirna dan berganti dengan
budaya PGPB, Pintar Goblok Pendapatan Beda.
*******
*Telah Terbit di Harian Pagi Padang Ekspres, Sabtu 1 Desember
2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar