Senin, 20 Januari 2014

THE SLEEPING BUPATI*





 
Di Negeri Paman Sam ada sebuah dongeng legendaris the sleeping beauty yang bercerita tentang seorang putri raja nan jelita yang dikutuk penyihir sehingga tertidur ratusan tahun lamanya dan terbangun tatkala sang pangeran menciumnya. Namun di Negeri Zamrud Khatulistiwa ini, cerita serupa dongeng tersebut menjadi kenyataan. Bedanya, yang tertidur adalah bupati yang tersentak bangun karena suara pukulan keras dari meja sang presiden.
The Sleeping Bupati terjadi saat Presiden SBY berpidato pada acara Forum Konsolidasi Pimpinan Pemerintahan Daerah yang diselenggarakan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) pada Hari Selasa, Tanggal 8 April 2008 yang lalu. Sebuah forum pendidikan dan pelatihan bagi para pemimpin daerah yang bertujuan meningkatkan pengetahuan, tanggung jawab dan kualitas kepemimpinan.  
Beberapa orang peserta forum yang terdiri atas bupati, walikota dan pimpinan DPRD saat itu justru terlihat mengantuk bahkan ada yang tertidur pulas. Kontan SBY menggebrak meja, geram dan secara tegas mengatakan bahwa prilaku itu benar-benar tidak terpuji dan menipu rakyat.
Penilaian masyarakat terhadap peristiwa inipun beragam. Ada yang menilainya memalukan, menggelikan atau kejadian ini dianggap sebagai  hal yang biasa saja, tak perlu dibesar-besarkan karena tidur itu sangat manusiawi, salah satu kebutuhan biologis manusia. Bahkan Gubernur Lemhannas Muladi memberikan penjelasan bahwa peserta yang tertidur menderita penyakit kencing manis, sehingga dapat dimaklumi kalau sering tertidur.
Sebagai referensi, pada tahun pertama di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) saya dan rekan-rekan pernah mengantuk ketika mendapatkan pembekalan dari senior. Bagaimana tidak, soalnya kami harus duduk bersila di atas lantai yang dingin, berdesak-desakan dalam sebuah aula sempit, namun masih dalam deretan yang rapi serta wajib menyimak penjelasan yang cukup menjemukan dari fungsionaris STPDN.
Setelah seharian menjalankan aktifitas fisik yang menguras energi. Wajarlah kiranya kalau malam itu, kami berjuang menahan kantuk. Beberapa orang rekan yang ketahuan tertidur disuruh keluar untuk mencuci muka, namun setelah beberapa saat kemudian, dengan heran saya melihat mereka masuk ruangan dengan muka yang sangat merah.
Sejujurnya, saya juga ketahuan tertidur dan disuruh cuci muka. Begitu keluar ruangan saya langsung bergegas menuju toilet. Beberapa orang senior berbadan besar tampak berdiri di dekat pintu masuk toilet,“Mau cuci muka kan dek?” Tanya seorang senior berkulit hitam dan bermata besar, saya mengiyakannya, dan beberapa detik kemudian Si Mata Besar sudah melayangkan tamparan kerasnya dengan cepat ke pipi saya, secara bergantian, hingga beberapa lama dan ajaibnya saya tidak merasa mengantuk lagi.
Sambil meraba pipi, saya baru mengerti mengapa muka rekan-rekan saya  memerah setelah ‘mencuci muka’. Terlepas dari pendidikan STPDN yang dinilai militeristis, namun sejak itu, saya berusaha mencari motivasi agar tidak terkantuk bila menjalankan tugas di lapangan.
Dari referensi di atas, saya tidak merekomendasikan bahwa ‘cuci muka ala STPDN’ itu baik untuk mengatasi kantuk, namun saya memandang masalah The Sleeping Bupati seharusnya tidak terjadi kalau kepala daerah memiliki motivasi kuat dalam mencari terobosan demi kemajuan daerahnya. Seharusnya teguran Presiden SBY adalah ‘tamparan keras’ dan perlu disikapi secara serius.
Beberapa hal yang dapat dipetik dari The Sleeping Bupati ini adalah, Pertama ; teguran keras tersebut harus dipandang secara luas, bahwa teguran itu bukan saja untuk bupati yang tertidur saat itu namun juga lebih ditujukan pada seluruh pejabat publik baik yang dipilih langsung maupun tak langsung oleh rakyat agar lebih serius dalam bertugas.
Kedua ; Tertidur di tengah pelaksanaan tugas menunjukkan kurangnya motivasi dan ketidakseriusan dalam memimpin daerah. Kepala daerah yang tertidur mungkin belum menyadari sepenuhnya akan kepercayaan rakyat yang diembannya. Seharusnya sebagai pemenang pilkada langsung, kepala daerah semakin serius dalam menjalankan roda pemerintahan.
Ketiga; Tertidurnya pimpinan daerah juga menunjukkan gejala kurang respect terhadap presiden. Hal ini menunjukkan bahwa presiden saat ini tidak terlalu ‘ditakuti’ oleh kepala daerah. Sebuah keadaan yang tidak mungkin terjadi di zaman Soeharto. 
Memang dibandingkan dengan era orde baru telah terjadi kesenjangan loyalitas antar setiap level pemerintahan. Antara bupati/walikota dengan gubernur tidak ada hirarki yang jelas. Kunjungan presiden ke daerah tidak serta merta harus didampingi oleh pejabat daerah. Hingga wejangan dari presiden bukan lagi sebuah titah yang harus segera dilaksanakan.
Terlepas dari itu semua, The Sleeping Bupati ini sebenarnya merupakan pukulan balik kepada masyarakat yang telah memilih kepala daerah. Dengan system pilkada langsung, berarti apapun kesalahan para bupati/walikota, sedikit banyaknya adalah kesalahan masyarakat pemilih juga. Kadang dengan disadari atau tidak, kita menilai pemimpin masih secara subjektif, bukannya objektif. Kita masih memilih pemimpin hanya dari senyum manis atau kegagahannya tanpa melihat faktor prestasi, pendidikan, kesehatan dan track record sang calon kepala daerah.
Memilih kepala daerah bukan membeli kucing dalam karung, sudah saatnya masyarakat harus bijak dalam mengkaji calon-calon kepala daerahnya dari luar hingga dalam. Karena begitu salah pilih, resikonya ditanggung daerah hingga lima tahun ke depan. 

*******

*Telah Dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres, Jumat 9 Mei 2008










Tidak ada komentar:

Posting Komentar