Di Negeri Paman
Sam ada sebuah dongeng legendaris the
sleeping beauty yang bercerita tentang seorang putri raja nan jelita yang
dikutuk penyihir sehingga tertidur ratusan tahun lamanya dan terbangun tatkala
sang pangeran menciumnya. Namun di Negeri Zamrud Khatulistiwa ini, cerita
serupa dongeng tersebut menjadi kenyataan. Bedanya, yang tertidur adalah bupati
yang tersentak bangun karena suara pukulan keras dari meja sang presiden.
The Sleeping Bupati terjadi saat
Presiden SBY berpidato pada acara Forum Konsolidasi Pimpinan Pemerintahan
Daerah yang diselenggarakan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) pada Hari
Selasa, Tanggal 8 April 2008 yang lalu. Sebuah forum pendidikan dan pelatihan
bagi para pemimpin daerah yang bertujuan meningkatkan pengetahuan, tanggung
jawab dan kualitas kepemimpinan.
Beberapa
orang peserta forum yang terdiri atas bupati, walikota dan pimpinan DPRD saat
itu justru terlihat mengantuk bahkan ada yang tertidur pulas. Kontan SBY
menggebrak meja, geram dan secara tegas mengatakan bahwa prilaku itu
benar-benar tidak terpuji dan menipu rakyat.
Penilaian
masyarakat terhadap peristiwa inipun beragam. Ada yang menilainya memalukan,
menggelikan atau kejadian ini dianggap sebagai
hal yang biasa saja, tak perlu dibesar-besarkan karena tidur itu sangat
manusiawi, salah satu kebutuhan biologis manusia. Bahkan Gubernur Lemhannas
Muladi memberikan penjelasan bahwa peserta yang tertidur menderita penyakit
kencing manis, sehingga dapat dimaklumi kalau sering tertidur.
Sebagai
referensi, pada tahun pertama di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri
(STPDN) saya dan rekan-rekan pernah mengantuk ketika mendapatkan pembekalan
dari senior. Bagaimana tidak, soalnya kami harus duduk bersila di atas lantai
yang dingin, berdesak-desakan dalam sebuah aula sempit, namun masih dalam
deretan yang rapi serta wajib menyimak penjelasan yang cukup menjemukan dari
fungsionaris STPDN.
Setelah seharian menjalankan aktifitas
fisik yang menguras energi. Wajarlah kiranya kalau malam itu, kami berjuang
menahan kantuk. Beberapa orang rekan yang ketahuan tertidur disuruh keluar
untuk mencuci muka, namun setelah beberapa saat kemudian, dengan heran saya
melihat mereka masuk ruangan dengan muka yang sangat merah.
Sejujurnya, saya juga ketahuan tertidur
dan disuruh cuci muka. Begitu keluar ruangan saya langsung bergegas menuju
toilet. Beberapa orang senior berbadan besar tampak berdiri di dekat pintu
masuk toilet,“Mau cuci muka kan dek?” Tanya seorang senior berkulit hitam dan
bermata besar, saya mengiyakannya, dan beberapa detik kemudian Si Mata Besar
sudah melayangkan tamparan kerasnya dengan cepat ke pipi saya, secara
bergantian, hingga beberapa lama dan ajaibnya saya tidak merasa mengantuk lagi.
Sambil meraba pipi, saya baru mengerti
mengapa muka rekan-rekan saya memerah
setelah ‘mencuci muka’. Terlepas dari pendidikan STPDN yang dinilai
militeristis, namun sejak itu, saya berusaha mencari motivasi agar tidak
terkantuk bila menjalankan tugas di lapangan.
Dari referensi di atas, saya tidak
merekomendasikan bahwa ‘cuci muka ala STPDN’ itu baik untuk mengatasi kantuk,
namun saya memandang masalah The Sleeping
Bupati seharusnya tidak terjadi kalau kepala daerah memiliki motivasi kuat
dalam mencari terobosan demi kemajuan daerahnya. Seharusnya teguran Presiden SBY adalah ‘tamparan
keras’ dan perlu disikapi secara serius.
Beberapa hal yang dapat dipetik dari The Sleeping Bupati ini adalah, Pertama
; teguran keras tersebut harus dipandang secara luas, bahwa teguran itu bukan
saja untuk bupati yang tertidur saat itu namun juga lebih ditujukan pada
seluruh pejabat publik baik yang dipilih langsung maupun tak langsung oleh
rakyat agar lebih serius dalam bertugas.
Kedua ; Tertidur di tengah pelaksanaan
tugas menunjukkan kurangnya motivasi dan ketidakseriusan dalam memimpin daerah.
Kepala daerah yang tertidur mungkin belum menyadari sepenuhnya akan kepercayaan
rakyat yang diembannya. Seharusnya sebagai pemenang pilkada langsung, kepala
daerah semakin serius dalam menjalankan roda pemerintahan.
Ketiga; Tertidurnya pimpinan daerah juga
menunjukkan gejala kurang respect
terhadap presiden. Hal ini menunjukkan bahwa presiden saat ini tidak terlalu
‘ditakuti’ oleh kepala daerah. Sebuah keadaan yang tidak mungkin terjadi di
zaman Soeharto.
Memang dibandingkan dengan era orde baru
telah terjadi kesenjangan loyalitas antar setiap level pemerintahan. Antara
bupati/walikota dengan gubernur tidak ada hirarki yang jelas. Kunjungan
presiden ke daerah tidak serta merta harus didampingi oleh pejabat daerah. Hingga
wejangan dari presiden bukan lagi sebuah titah yang harus segera dilaksanakan.
Terlepas dari itu semua, The Sleeping Bupati ini sebenarnya
merupakan pukulan balik kepada masyarakat yang telah memilih kepala daerah.
Dengan system pilkada langsung, berarti apapun kesalahan para bupati/walikota,
sedikit banyaknya adalah kesalahan masyarakat pemilih juga. Kadang dengan
disadari atau tidak, kita menilai pemimpin masih secara subjektif, bukannya
objektif. Kita masih memilih pemimpin hanya dari senyum manis atau kegagahannya
tanpa melihat faktor prestasi, pendidikan, kesehatan dan track record sang calon kepala daerah.
Memilih
kepala daerah bukan membeli kucing dalam karung, sudah saatnya masyarakat harus
bijak dalam mengkaji calon-calon kepala daerahnya dari luar hingga dalam.
Karena begitu salah pilih, resikonya ditanggung daerah hingga lima tahun ke
depan.
*******
*Telah Dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres, Jumat 9 Mei 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar