Berita mengejutkan perihal pengunduran diri
Perdana Menteri Jepang Yukio Hatoyama di hadapan anggota parlemen Jepang pada
Rabu 2 Juni 2010 sontak membuat dunia terkesima. Pertama karena jabatan PM baru
8 bulan didudukinya, kedua Hatoyama yang berasal dari Partai Demokrat Jepang
berhasil mengalahkan Partai Demokrat Liberal yang telah berkuasa lebih dari 50
tahun, sempat mencapai popularitas 70 % (diakhir jabatannya menjadi 17 %),
artinya diawal masa pemerintahannya masyarakat jepang berharap banyak
padanya.
Hatoyama juga meminta maaf atas kinerja
pemerintah yang dipimpinnya tidak merefleksikan keinginan rakyat serta mengakui
dirinya yang tidak mampu merealisasikan janji-janji sewaktu kampanye, khususnya
janji memindahkan pangkalan militer AS, Futenma, keluar Pulau Okinawa. Hatoyama
hanya mampu memindahkan Futenma dari selatan Okinawa ke bagian utara pulau itu.
Budaya malu dan mundur dari jabatan
rupanya memang telah mendarah daging dalam diri pejabat Jepang. Dalam kurun
empat tahun terakhir sudah ada 4 Perdana Menteri yang mundur. Shinjo Abe karena
kondisi kesehatan ditambah lagi skandal para menterinya, Yasuo Fukuda dan Taro
Aso karena tuntutan politik waktu itu, dan terakhir Yukio Hatoyama. Para
menteri dan pejabat di Jepang ternyata juga demikian, kalau ada kereta
tabrakan, menterinya malu dan lalu mengundurkan diri. Kalau Jepang tempo dulu,
malah lebih ekstrem lagi, para pemimpin yang gagal mencapai misinya akan
melakukan Harakiri, bunuh diri ala Jepang.
Kalau saja Hatoyama mau berkilah demi
mempertahankan kursinya, ia bisa saja menjelaskan janji yang diumbarnya sewaktu
kampanye perlu memakan waktu, biaya besar dan lobi sana-sini untuk
mewujudkannya. Atau mengalihkan opini publik kepada isue yang lebih aktual dan
hangat seperti yang biasa dilakukan di
Indonesia, atau trik yang sedang trend dengan menerapkan politik pencitraan,
segalanya..segalanya, demi berkuasa lebih lama lagi...tetapi, Hatoyama lebih memilih
mundur.
Soal malu dan mundur dari jabatan, sedikit
banyaknya juga pernah tercatat dalam sejarah negeri ini. Kita bangga dengan
keputusan Bapak Mohammad Hatta yang mundur dari Wakil Presiden RI pertama pada
1 Desember 1956 karena perbedaan pandangan politik dengan Bung Karno. Lalu kita
mengenal Pak Harto, -terlepas dari seluruh polemik KKN dan masa kekuasaannya-
beliau rela mundur pada 21 Mei 1998 demi menghindari bentrokan berdarah yang
lebih besar antara mahasiswa dan TNI.
Lalu SBY juga pernah mundur sebagai
menteri. Dua kali malahan. Yang pertama mundur dari jabatan Menko Polkam era
Presiden Gus Dur karena tidak ingin melaksanakan Dekrit Presiden dan kedua dari
jabatan Menko Polhukam pada era Presiden Megawati dengan dalih tidak lagi
dilibatkan Bu Mega dalam rapat sidang kabinet, Lalu JK juga mundur sebagai
Menko Kesra karena berduet dengan SBY untuk maju ikut Pilpres 2004.
Sebenarnya negeri ini juga sudah lama
memiliki peribahasa ”Daripada hidup bercermin bangkai lebih baik mati berkalang
tanah” atau ”Dari pada hidup berputih mata, lebih baik mati berputih tulang”.
Ini berarti negara kita juga menjunjung tinggi nilai sportifitas, tanggung
jawab, harga diri dan mengedepankan rasa malu. Namun disayangkan, lambat laun peribahasa ini, sepertinya juga
sudah turut berkalang tanah. Padahal, sepatutnya peribahasa leluhur ini menjadi
bagian dari pembentukan nilai-nilai budaya sosial dan berpolitik bangsa.
Bila ditelisik lebih jauh, pudarnya
keberanian untuk mundur dari jabatan tidak saja disokong oleh mentalitas para
pejabat saja. Budaya feodalisme yang tumbuh kembang di tengah masyarakat justru
lebih berpengaruh besar. Makin tinggi kedudukan seorang pejabat maka makin
besar pula prestise yang diberikan oleh masyarakat. Cobalah bila tidak menjadi
pejabat, tentu perlakuan yang diberikan tiada demikian. Sehingga muncullah
sindrom bagi pejabat untuk selalu berkuasa, sedangkan untuk mundur dari jabatan
jangan sampai terpikirkan. Lagipula siapa yang mau melepaskan jabatan yang
direbutkan banyak orang.
Sikap malu dan berani mundur sesungguhnya
merupakan etika berpolitik yang baik. Sama dengan saling berjabat tangan,
saling sapa, dan santun antar pesaing dalam Pilkada. Bila dicari dalam 1001
aturan perundangan sudah pasti tidak ada, karena ini adalah etika, aturan de facto yang dinilai dan disangsikan langsung
oleh masyarakat. Pada tahap ini, dituntut tingkat kesadaran dan kepedulian yang
tinggi antara masyarakat dan pemimpin terhadap etika berpolitik. Namun bila
tahap ini belum ada, proses pengunduran diri kepala daerah perlu kiranya
diakomodir dalam sebuah aturan tertulis.
Aturan yang berlaku saat ini (UU 32/2004),
belumlah secara kongkret mengemas soal pengunduran diri pejabat. Memang pada
pasal 29 kepala daerah/ wakil kepala daerah dapat berhenti dengan permintaan
sendiri. Namun terkait tagihan masyarakat akan janji sewaktu kampanye dan angka
tingkat popularitas belum termuat tegas untuk dijadikan faktor yang dapat
mendesak kepala daerah/wakil kepala daerah mengundurkan diri.
Oleh sebab itu, berkaitan dengan masa
kampanye pemilihan 13 kepala daerah kabupaten/kota plus satu pemilihan gubernur
Sumbar pada 13-26 Juni 2010, adalah moment yang tepat kiranya bagi sumbar
sebagai pilot project mempraktekan
komitmen ”Siap Menang Siap Mundur”. KPU sumbar, KPU Kab/Kota dan masyarakat
sudah sepatutnya menjajal keseriusan para kandidat untuk membangun Sumbar dan
daerah Kab/Kota dengan ketepatan waktu program yang jelas atau sesuai janji
ketika kampanye. Keberhasilan Sumbar untuk ini dapat menjadi bahan Kemendagri
dalam revisi UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Komitmen untuk melaksanakan pilkada dengan
prinsip ”siap menang siap kalah” dalam Pilkada Badunsanak yang dilaunching KPU
Sumbar pada 10 Mei 2010 lalu adalah sebuah hal yang sangat positif, tapi lebih
baik lagi kalau tiap kandidat juga berani ”siap menang siap mundur”.
Mundurnya Hatoyama kembali mengingatkan
kita akan hakekatnya sebuah jabatan. Jabatan adalah amanah bagi orang-orang
yang dinilai mampu menjalankannya. Apakah yang menilai itu atasan, tim penilai
atau bahkan masyarakat, ketika sudah diemban semestinya sebuah amanah harus
dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Dan pejabat yang memiliki sikap siap
mundur adalah suatu hal yang patut kita hargai.
*******
*Telah Terbit di Harian Pagi Padang Ekspres, Rabu 9 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar