Senin, 20 Januari 2014

SIAP MENANG SIAP MUNDUR*






Berita mengejutkan perihal pengunduran diri Perdana Menteri Jepang Yukio Hatoyama di hadapan anggota parlemen Jepang pada Rabu 2 Juni 2010 sontak membuat dunia terkesima. Pertama karena jabatan PM baru 8 bulan didudukinya, kedua Hatoyama yang berasal dari Partai Demokrat Jepang berhasil mengalahkan Partai Demokrat Liberal yang telah berkuasa lebih dari 50 tahun, sempat mencapai popularitas 70 % (diakhir jabatannya menjadi 17 %), artinya diawal masa pemerintahannya masyarakat jepang berharap banyak padanya. 
Hatoyama juga meminta maaf atas kinerja pemerintah yang dipimpinnya tidak merefleksikan keinginan rakyat serta mengakui dirinya yang tidak mampu merealisasikan janji-janji sewaktu kampanye, khususnya janji memindahkan pangkalan militer AS, Futenma, keluar Pulau Okinawa. Hatoyama hanya mampu memindahkan Futenma dari selatan Okinawa ke bagian utara pulau itu.
Budaya malu dan mundur dari jabatan rupanya memang telah mendarah daging dalam diri pejabat Jepang. Dalam kurun empat tahun terakhir sudah ada 4 Perdana Menteri yang mundur. Shinjo Abe karena kondisi kesehatan ditambah lagi skandal para menterinya, Yasuo Fukuda dan Taro Aso karena tuntutan politik waktu itu, dan terakhir Yukio Hatoyama. Para menteri dan pejabat di Jepang ternyata juga demikian, kalau ada kereta tabrakan, menterinya malu dan lalu mengundurkan diri. Kalau Jepang tempo dulu, malah lebih ekstrem lagi, para pemimpin yang gagal mencapai misinya akan melakukan Harakiri, bunuh diri ala Jepang.
Kalau saja Hatoyama mau berkilah demi mempertahankan kursinya, ia bisa saja menjelaskan janji yang diumbarnya sewaktu kampanye perlu memakan waktu, biaya besar dan lobi sana-sini untuk mewujudkannya. Atau mengalihkan opini publik kepada isue yang lebih aktual dan hangat  seperti yang biasa dilakukan di Indonesia, atau trik yang sedang trend dengan menerapkan politik pencitraan, segalanya..segalanya, demi berkuasa lebih lama lagi...tetapi, Hatoyama lebih memilih mundur.
Soal malu dan mundur dari jabatan, sedikit banyaknya juga pernah tercatat dalam sejarah negeri ini. Kita bangga dengan keputusan Bapak Mohammad Hatta yang mundur dari Wakil Presiden RI pertama pada 1 Desember 1956 karena perbedaan pandangan politik dengan Bung Karno. Lalu kita mengenal Pak Harto, -terlepas dari seluruh polemik KKN dan masa kekuasaannya- beliau rela mundur pada 21 Mei 1998 demi menghindari bentrokan berdarah yang lebih besar antara mahasiswa dan TNI.
Lalu SBY juga pernah mundur sebagai menteri. Dua kali malahan. Yang pertama mundur dari jabatan Menko Polkam era Presiden Gus Dur karena tidak ingin melaksanakan Dekrit Presiden dan kedua dari jabatan Menko Polhukam pada era Presiden Megawati dengan dalih tidak lagi dilibatkan Bu Mega dalam rapat sidang kabinet, Lalu JK juga mundur sebagai Menko Kesra karena berduet dengan SBY untuk maju ikut Pilpres 2004.  
Sebenarnya negeri ini juga sudah lama memiliki peribahasa ”Daripada hidup bercermin bangkai lebih baik mati berkalang tanah” atau ”Dari pada hidup berputih mata, lebih baik mati berputih tulang”. Ini berarti negara kita juga menjunjung tinggi nilai sportifitas, tanggung jawab, harga diri dan mengedepankan rasa malu. Namun disayangkan,  lambat laun peribahasa ini, sepertinya juga sudah turut berkalang tanah. Padahal, sepatutnya peribahasa leluhur ini menjadi bagian dari pembentukan nilai-nilai budaya sosial dan berpolitik bangsa.
Bila ditelisik lebih jauh, pudarnya keberanian untuk mundur dari jabatan tidak saja disokong oleh mentalitas para pejabat saja. Budaya feodalisme yang tumbuh kembang di tengah masyarakat justru lebih berpengaruh besar. Makin tinggi kedudukan seorang pejabat maka makin besar pula prestise yang diberikan oleh masyarakat. Cobalah bila tidak menjadi pejabat, tentu perlakuan yang diberikan tiada demikian. Sehingga muncullah sindrom bagi pejabat untuk selalu berkuasa, sedangkan untuk mundur dari jabatan jangan sampai terpikirkan. Lagipula siapa yang mau melepaskan jabatan yang direbutkan banyak orang.
Sikap malu dan berani mundur sesungguhnya merupakan etika berpolitik yang baik. Sama dengan saling berjabat tangan, saling sapa, dan santun antar pesaing dalam Pilkada. Bila dicari dalam 1001 aturan perundangan sudah pasti tidak ada, karena ini adalah etika, aturan de facto yang dinilai dan disangsikan langsung oleh masyarakat. Pada tahap ini, dituntut tingkat kesadaran dan kepedulian yang tinggi antara masyarakat dan pemimpin terhadap etika berpolitik. Namun bila tahap ini belum ada, proses pengunduran diri kepala daerah perlu kiranya diakomodir dalam sebuah aturan tertulis.
Aturan yang berlaku saat ini (UU 32/2004), belumlah secara kongkret mengemas soal pengunduran diri pejabat. Memang pada pasal 29 kepala daerah/ wakil kepala daerah dapat berhenti dengan permintaan sendiri. Namun terkait tagihan masyarakat akan janji sewaktu kampanye dan angka tingkat popularitas belum termuat tegas untuk dijadikan faktor yang dapat mendesak kepala daerah/wakil kepala daerah mengundurkan diri.
Oleh sebab itu, berkaitan dengan masa kampanye pemilihan 13 kepala daerah kabupaten/kota plus satu pemilihan gubernur Sumbar pada 13-26 Juni 2010, adalah moment yang tepat kiranya bagi sumbar sebagai pilot project mempraktekan komitmen ”Siap Menang Siap Mundur”. KPU sumbar, KPU Kab/Kota dan masyarakat sudah sepatutnya menjajal keseriusan para kandidat untuk membangun Sumbar dan daerah Kab/Kota dengan ketepatan waktu program yang jelas atau sesuai janji ketika kampanye. Keberhasilan Sumbar untuk ini dapat menjadi bahan Kemendagri dalam revisi UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Komitmen untuk melaksanakan pilkada dengan prinsip ”siap menang siap kalah” dalam Pilkada Badunsanak yang dilaunching KPU Sumbar pada 10 Mei 2010 lalu adalah sebuah hal yang sangat positif, tapi lebih baik lagi kalau tiap kandidat juga berani ”siap menang siap mundur”.
Mundurnya Hatoyama kembali mengingatkan kita akan hakekatnya sebuah jabatan. Jabatan adalah amanah bagi orang-orang yang dinilai mampu menjalankannya. Apakah yang menilai itu atasan, tim penilai atau bahkan masyarakat, ketika sudah diemban semestinya sebuah amanah harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Dan pejabat yang memiliki sikap siap mundur adalah suatu hal yang patut kita hargai.

*******



*Telah Terbit di Harian Pagi Padang Ekspres, Rabu 9 Juni 2010



Tidak ada komentar:

Posting Komentar