Senin, 20 Januari 2014

OTONOM TANPA OTONOMI*




                           

Pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah diharapkan agar mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat  melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Daerah otonom yang diberi hak otonomi daerah berdasarkan Undang-undang nomor 32/2004 tentang pemerintahan daerah adalah daerah propinsi, daerah kabupaten dan kota.
Daerah propinsi selain melaksanakan fungsi desentralisasi juga harus mengemban fungsi dekonsentrasinya, yakni sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah, yang melaksanakan pengawasan dan pembinaan terhadap jalannya otonomi daerah di kabupaten/kota. Sebagai ilustrasi, di sini pemerintah propinsi berwenang untuk menyaring peraturan daerah (Perda) kabupaten/kota atau bertindak selaku penengah bila terjadi konflik antar daerah kabupaten/kota di wilayahnya.
Sedangkan kewenangan propinsi yang didapatkan dari desentralisasi hanya sebatas urusan yang bersifat spasial. Sebagai contoh propinsi berwenang dalam pembangunan fisik jalan raya yang wilayah ruang cakupan urusan itu mengenai lebih dari dua kabupaten/kota.
Selain faktor spasial, pemerintah propinsi dapat berwenang dalam suatu urusan yang bersifat akuntabilitas, yakni urusan yang penanganannya dilihat dari kedekatan serta dampak dan akibat sebuah urusan tersebut. Bila urusan berdampak luas terhadap masyarakat salah satu kabupaten/kota maka urusan tersebut cukup ditangani oleh Pemda Kabupaten/kota. Ketika permasalahan berdampak terhadap kepentingan masyarakat antar kabupaten/kota maka urusan tersebut menjadi kewenangan propinsi.
Selanjutnya adalah faktor efisiensi, yakni pelaksanaan kewenangan yang dilihat dari sudut ketersediaan sumber daya yang ada seperti aparatur, anggaran dan sarana/prasarana. Bila sebuah urusan diasumsikan lebih efisien dilaksanakan oleh Kabupaten/kota maka menjadi kewenangan kabupaten/kota tersebut, namun apabila urusan lebih efisien bila ditangani propinsi maka menjadi kewenangan propinsi untuk melaksanakannya.
Namun ketiga faktor di atas (uu no 32/2004) tidak serta merta memperjelas garis hirarki antara daerah otonom propinsi dengan daerah otonom kabupaten/kota. Seluruh urusan wajib maupun pilihan dapat diselesaikan oleh kabupaten/kota dengan baik. Bahkan beberapa urusan yang melibatkan dua daerah –atau lebih- antar kabupaten/kota dapat diselesaikan sendiri dengan inisiatif antar pemerintah daerah terkait tanpa menunggu fasilitasi dari gubernur.
Inisiatif cepat bupati dan walikota ini patut di acungi jempol, karena hakikat otonomi itu sendiri adalah guna mempercepat pelayanan masyarakat. Tetapi disisi yang lain, kembali daerah otonom propinsi tidak berdaya dengan kondisi seperti ini, bahkan Pemerintahan daerah propinsi yang dimotori oleh Gubernur selaku kepala daerah dan DPRD selaku lembaga perwakilan rakyat daerah acap kali kehilangan muka  tatkala Perda-perda yang mereka buat tidak menjadi acuan wajib sebagai payung hukum bagi perda-perda kabupaten/kota.
Satu-satunya jalan agar tidak bertabrakan dengan kabupaten/kota dalam melaksanakan urusan kewenangan desentralisasi maka propinsi lebih memprioritaskan pekerjaan dalam melaksanakan kewenangan dekonsentrasinya yakni sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
Itulah sebabnya, dalam melaksanakan dekonsentrasi, peran propinsi didomininasi oleh pengumpulan, pensortiran dan memberikan saran terhadap seluruh kegiatan yang dilakukan oleh kabupaten/kota. Mulai dari perencanaan (penyusunan APBD kabupaten/kota), pengorganisasian (format SOTK kabupaten/kota), pelaksanaan (Perda-Perda kabupaten/kota) hingga fungsi kontrol (LKPJ dan LPPD kabupaten/kota) seluruhnya dilaporkan tertulis kepada/melalui gubernur.
Dari berbagai keterbatasan di atas, wajarlah kiranya dalam berbagai kesempatan Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi sering mengemukakan agar pemerintahan propinsi dihapuskan dan gubernur sebaiknya ditunjuk saja oleh presiden. Usulan tersebut sangat beralasan mengingat garis komando antara gubernur dan bupati/ walikota memang sebuah garis yang semu, tidak jelas dan meragukan. Kabar baiknya, daerah kabupaten dan kota dapat leluasa mengembangkan daerahnya sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Kabar buruknya, terjadi unefisiensi dan unefektifitas finansial, personil serta  sarana dan prasarana serta kinerja di jajaran pemeritahan propinsi.
Terbatasnya kewenangan gubernur tersebut sangatlah tidak sebanding harganya dengan proses demokrasi, sarana dan prasarana, personil atau seluruh sumber daya guna menyelenggarakan pemerintahan propinsi. Untuk mengefisienkan keterbatasan kewenangan tersebut pemerintahan propinsi harus dihapuskan. Sebagai bentuk pemenuhan rentang kendali  organisasi pemerintahan –karena sangat riskan bila presiden langsung membawahi empat ratus lebih bupati dan walikota-  maka di tingkat propinsi hanya dipimpin oleh gubernur dan hanya menjalankan fungsi dekonsentrasinya yakni sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, yang dibantu oleh perangkat birokrasinya.
Artinya, pemerintahan propinsi dihapuskan yang ada hanya pemerintah propinsi yang dipimpin gubernur bersama perangkatnya dan bertanggung jawab langsung kepada presiden melalui menteri dalam negeri. Selain itu, DPRD propinsi juga dihapuskan karena gubernur ditunjuk dan hal ini juga berimplikasi kepada tidak adanya lagi Pilkada Propinsi. 
Sehingga dengan demikian, kebimbangan propinsi dalam menjalankan kewenangan otonominya tidak terjadi lagi, otonomi berada di kabupaten dan kota karena memang sudah selayaknya kabupaten dan kota mendapatkan porsi kewenangan yang lebih proporsional mengingat titik berat otonomi daerah berada di kabupaten dan kota.
Saya pikir, seluruh gubernur di Indonesia (selain Gubernur DKI Jakarta, DI Yogyakarta, NAD dan Papua) juga merasakan masalah yang sama seperti yang dirasakan Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi, walaupun hanya Gamawan saja yang secara nyata dan konsisten terus menyuarakan wacana penghapusan pemerintahan propinsi hingga tingkat nasional, mungkin ini disebabkan karakter beliau sebagai urang minang yang ingin terus belajar, berinovasi dan berani berbeda pendapat serta lantang menyuarakan pemikirannya. Sebuah sikap yang perlu dicontoh dan dibudayakan kembali.

*******

Telah Terbit di Harian Pagi Singgalang, Rabu 19 Maret 2008




Tidak ada komentar:

Posting Komentar