Pemberian
otonomi seluas-luasnya kepada daerah diharapkan agar mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Daerah otonom yang diberi hak otonomi daerah
berdasarkan Undang-undang nomor 32/2004 tentang pemerintahan daerah adalah
daerah propinsi, daerah kabupaten dan kota.
Daerah propinsi selain melaksanakan fungsi
desentralisasi juga harus mengemban fungsi dekonsentrasinya, yakni sebagai
perwakilan pemerintah pusat di daerah, yang melaksanakan pengawasan dan
pembinaan terhadap jalannya otonomi daerah di kabupaten/kota. Sebagai
ilustrasi, di sini pemerintah propinsi berwenang untuk menyaring peraturan
daerah (Perda) kabupaten/kota atau bertindak selaku penengah bila terjadi
konflik antar daerah kabupaten/kota di wilayahnya.
Sedangkan kewenangan propinsi yang
didapatkan dari desentralisasi hanya sebatas urusan yang bersifat spasial.
Sebagai contoh propinsi berwenang dalam pembangunan fisik jalan raya yang
wilayah ruang cakupan urusan itu mengenai lebih dari dua kabupaten/kota.
Selain faktor spasial, pemerintah propinsi
dapat berwenang dalam suatu urusan yang bersifat akuntabilitas, yakni urusan
yang penanganannya dilihat dari kedekatan serta dampak dan akibat sebuah urusan
tersebut. Bila urusan berdampak luas terhadap masyarakat salah satu
kabupaten/kota maka urusan tersebut cukup ditangani oleh Pemda Kabupaten/kota.
Ketika permasalahan berdampak terhadap kepentingan masyarakat antar
kabupaten/kota maka urusan tersebut menjadi kewenangan propinsi.
Selanjutnya adalah faktor efisiensi, yakni
pelaksanaan kewenangan yang dilihat dari sudut ketersediaan sumber daya yang
ada seperti aparatur, anggaran dan sarana/prasarana. Bila sebuah urusan
diasumsikan lebih efisien dilaksanakan oleh Kabupaten/kota maka menjadi
kewenangan kabupaten/kota tersebut, namun apabila urusan lebih efisien bila
ditangani propinsi maka menjadi kewenangan propinsi untuk melaksanakannya.
Namun ketiga faktor di atas (uu no
32/2004) tidak serta merta memperjelas garis hirarki antara daerah otonom
propinsi dengan daerah otonom kabupaten/kota. Seluruh urusan wajib
maupun pilihan dapat diselesaikan oleh kabupaten/kota dengan baik. Bahkan
beberapa urusan yang melibatkan dua daerah –atau lebih- antar kabupaten/kota
dapat diselesaikan sendiri dengan inisiatif antar pemerintah daerah terkait
tanpa menunggu fasilitasi dari gubernur.
Inisiatif
cepat bupati dan walikota ini patut di acungi jempol, karena hakikat otonomi
itu sendiri adalah guna mempercepat pelayanan masyarakat. Tetapi disisi yang
lain, kembali daerah otonom propinsi tidak berdaya dengan kondisi seperti ini,
bahkan Pemerintahan daerah propinsi yang dimotori oleh Gubernur selaku kepala
daerah dan DPRD selaku lembaga perwakilan rakyat daerah acap kali kehilangan
muka tatkala Perda-perda yang mereka
buat tidak menjadi acuan wajib sebagai payung hukum bagi perda-perda
kabupaten/kota.
Satu-satunya
jalan agar tidak bertabrakan dengan kabupaten/kota dalam melaksanakan urusan
kewenangan desentralisasi maka propinsi lebih memprioritaskan pekerjaan dalam
melaksanakan kewenangan dekonsentrasinya yakni sebagai wakil pemerintah pusat
di daerah.
Itulah
sebabnya, dalam melaksanakan dekonsentrasi, peran propinsi didomininasi oleh
pengumpulan, pensortiran dan memberikan saran terhadap seluruh kegiatan yang
dilakukan oleh kabupaten/kota. Mulai dari perencanaan (penyusunan APBD
kabupaten/kota), pengorganisasian (format SOTK kabupaten/kota), pelaksanaan
(Perda-Perda kabupaten/kota) hingga fungsi kontrol (LKPJ dan LPPD
kabupaten/kota) seluruhnya dilaporkan tertulis kepada/melalui gubernur.
Dari
berbagai keterbatasan di atas, wajarlah kiranya dalam berbagai kesempatan
Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi sering mengemukakan agar pemerintahan
propinsi dihapuskan dan gubernur sebaiknya ditunjuk saja oleh presiden. Usulan
tersebut sangat beralasan mengingat garis komando antara gubernur dan bupati/
walikota memang sebuah garis yang semu, tidak jelas dan meragukan. Kabar
baiknya, daerah kabupaten dan kota dapat leluasa mengembangkan daerahnya sesuai
kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Kabar
buruknya, terjadi unefisiensi dan unefektifitas finansial, personil serta sarana dan prasarana serta kinerja di jajaran
pemeritahan propinsi.
Terbatasnya kewenangan gubernur tersebut
sangatlah tidak sebanding harganya dengan proses demokrasi, sarana dan
prasarana, personil atau seluruh sumber daya guna menyelenggarakan pemerintahan
propinsi. Untuk mengefisienkan keterbatasan kewenangan tersebut pemerintahan
propinsi harus dihapuskan. Sebagai bentuk pemenuhan rentang kendali organisasi pemerintahan –karena sangat riskan
bila presiden langsung membawahi empat ratus lebih bupati dan walikota- maka di tingkat propinsi hanya dipimpin oleh
gubernur dan hanya menjalankan fungsi dekonsentrasinya yakni sebagai wakil
pemerintah pusat di daerah, yang dibantu oleh perangkat birokrasinya.
Artinya, pemerintahan propinsi dihapuskan
yang ada hanya pemerintah propinsi yang dipimpin gubernur bersama perangkatnya
dan bertanggung jawab langsung kepada presiden melalui menteri dalam negeri.
Selain itu, DPRD propinsi juga dihapuskan karena gubernur ditunjuk dan hal ini
juga berimplikasi kepada tidak adanya lagi Pilkada Propinsi.
Sehingga dengan demikian, kebimbangan
propinsi dalam menjalankan kewenangan otonominya tidak terjadi lagi, otonomi
berada di kabupaten dan kota karena memang sudah selayaknya kabupaten dan kota
mendapatkan porsi kewenangan yang lebih proporsional mengingat titik berat
otonomi daerah berada di kabupaten dan kota.
Saya pikir, seluruh gubernur di Indonesia
(selain Gubernur DKI Jakarta, DI Yogyakarta, NAD dan Papua) juga merasakan
masalah yang sama seperti yang dirasakan Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi,
walaupun hanya Gamawan saja yang secara nyata dan konsisten terus menyuarakan
wacana penghapusan pemerintahan propinsi hingga tingkat nasional, mungkin ini
disebabkan karakter beliau sebagai urang
minang yang ingin terus belajar, berinovasi dan berani berbeda pendapat
serta lantang menyuarakan pemikirannya. Sebuah sikap yang perlu dicontoh dan
dibudayakan kembali.
*******
Telah Terbit di Harian Pagi Singgalang, Rabu 19 Maret 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar