Senin, 20 Januari 2014

TREND ARTIS BERPOLITIK*




               
                       
Seluruh warga negara manapun yang mengusung nilai-nilai demokrasi di dunia ini, memiliki hak atas kebebasan untuk melakukan aktivitas politik. Apakah untuk duduk sebagai kepala negara, kepala daerah maupun di lembaga legislatif. Faktor agama, ras, suku bahkan profesi tidak dipermasalahkan sepanjang warga negara tersebut memenuhi persyaratan perundang-undangan untuk memilih dan dipilih.
Berbicara mengenai profesi, secara umum di republik ini sudah diketahui bahwa berbagai profesi telah mewarnai dunia politik sejak zaman kemerdekaan. Dari petani, tentara, pamong praja, guru, hingga ulama telah mengukir prestasi dalam menetapkan kebijakan publik. Namun untuk profesi artis yang duduk di lembaga legislatif, baru dimulai pada era orde baru, yakni Bung Edi Sud dan Bang H. Rhoma Irama. Selebihnya pada saat itu, beberapa artis hanya dijadikan vote getter atau pengumpul suara dalam setiap pemeriahan kampanye partai politik.
Di era reformasi, trend artis berpolitik semakin meningkat. Mereka tidak mau lagi hanya dijadikan sebagai vote getter, dengan alasan idealis yakni ingin meningkatkan eksistesi diri dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat. Dan ruang untuk merelisasikan hal itu adalah dengan masuk partai politik.
Alhasil pada pemilu pertama di era reformasi yakni tahun 1999, sederet artis seperti Sophan Sofian, Adjie Massaid, Anwar Fuady, Nurul Arifin, Emilia Contesa, Dede Yusuf, Rieke Diah Pitaloka, Gugun Gondrong, Komar,  Mandra, Miing, Edo Kondologit, Ruhut Sitompul, Renny Jayusman, Suti Karno, Marissa Haque, dan Rano Karno tersebar sebagai anggota di sejumlah partai. Namun hanya sebagian dari mereka yang berhasil menjadi anggota DPR RI.
Banyak juga yang menyangsikan kemampuan berpolitik para artis. Bagaimana tidak, pengalaman dan pengetahuan selebritis tersebut masih dianggap belum memadai untuk terjun dalam koridor politik. Kelebihan mereka hanyalah dari segi polularitas dan performance. Namun justru kedua segi itulah yang menjadi modal utama dan juga merupakan sumber keuntungan bagi partai politik yang merekrut artis tersebut.
Hal ini menunjukkan kenyataan, bahwa partai politik tidak memiliki system kaderisasi yang baik. Kader parpol tidak begitu popular dimata masyarakat sehingga dengan merekrut selebritis sebagai anggota adalah suatu jalan terbaik untuk mempromosikan jatidiri dan program-program parpol di tengah-tengah masyarakat.
Sebenarnya peningkatan peran selebritis di panggung politik diharapkan dapat memberikan nuansa harmonisasi nurani di tengah kerasnya intrik dan manuver politik yang kasar. Namun tetap saja pengaruh tersebut tidak begitu menonjol mengingat kualitas politik sang artis hanya disertai pengetahuan dan pengalaman seadanya.
Tetapi pada kenyataannya, tranformasi sang selebritis saat ini tidak hanya sebatas duduk di lembaga legislatif. Mereka telah berkembang dan merambah lembaga eksekutif. Hal ini terbukti dari kemenangan H. Rano Karno sebagai Wakil Bupati Tangerang dan Dede Yusuf sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat. Artis dangdut Syaiful Jamil juga tak ketinggalan, dan saat ini telah diusung sebuah parpol sebagai Calon Wakil Bupati Serang. Walaupun ada juga artis yang belum berhasil menjabat kepala daerah seperti Marisa Haque yang gagal sebagai Wakil Gubernur Banten dan Komar yang juga gagal sebagai Wakil Bupati Lamongan.
Bila dibandingkan artis luar negeri, artis Indonesia termasuk terlambat dalam hal menjabat sebagai pimpinan di lembaga eksekutif. Sebut saja Gubernur California Arnold Schwarzenegger (2005-2009), Presiden Amerika ke-40 Ronald Reagan (1981-1989), dan Presiden Filipina Joseph Estrada (1998-2001). Sementara di Indonesia baru di tahun 2008 ini artis seperti Dede Yusuf dan Rano Karno berhasil memenangkan Pilkada, itupun hanya menjabat sebagai wakil kepala daerah.
Fenomena kemenangan Dede Yusuf dan Rano Karno ini sangat mengejutkan sekaligus cukup menarik, hal ini menunjukan bahwa masyarakat sudah mulai berani mencoba alternatif kepemimpinan yang berbeda dengan tetap memperhatikan imej sang artis. Peran protagonis, bersahaja dan simpatik yang selalu dilakonkan Dede Yusuf dan Rano Karno sangat mendongkrak perolehan suara. Ditambah lagi sejumlah pengalaman aktifitas sosial yang mereka lakukan, Dede Yusuf yang aktif di bidang olah raga dan Rano Karno di bidang lingkungan hidup.
Dan tentu hasilnya akan berbeda, kalau artis yang ber-imej negatif dan kurang simpatik dimata masyarakat mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Apakah itu karena polemik seputar kehidupan keseharian mereka, atau karena peran mereka yang konyol dan antagonis ketika bermain di sinetron, sehingga masyarakat enggan memilihnya.
Pada dasarnya, siapa pun boleh mencalonkan diri sebagai calon legislatif maupun kepala daerah bahkan kepala negara, tentu dengan mengikuti aturan yang berlaku. Namun hendaknya jangan bermodalkan materi, tampang dan popularitas saja. Lebih dari itu, untuk duduk dalam jabatan politis, seorang calon sepatutnya memiliki pengalaman dan pengetahuannya di bidang politik, pemerintahan dan kemasyarakatan.
Karena bila tidak demikian, tentu roda pemerintahan tidak berjalan dengan baik, pembangunan terbengkalai dan kesejahteraan masyarakat terlupakan sebagaimana sabda Rasulullah SAW ; “Apabila suatu amanah telah disia-siakan, maka tunggulah saat kehancurannya”. Para sahabat bertanya, "Apakah yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanah?” Beliau menjawab, "Apabila suatu urusan telah diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya. Maka tunggulah kehancurannya." (HR Bukhari).

*******



 *Telah Dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres, Senin, 28 April 2008















Tidak ada komentar:

Posting Komentar