Seluruh warga
negara manapun yang mengusung nilai-nilai demokrasi di dunia ini, memiliki hak
atas kebebasan untuk melakukan aktivitas politik. Apakah untuk duduk sebagai kepala negara, kepala
daerah maupun di lembaga legislatif. Faktor agama, ras, suku bahkan profesi tidak
dipermasalahkan sepanjang warga negara tersebut memenuhi persyaratan
perundang-undangan untuk memilih dan dipilih.
Berbicara mengenai profesi, secara umum di
republik ini sudah diketahui bahwa berbagai profesi telah mewarnai dunia
politik sejak zaman kemerdekaan. Dari petani, tentara, pamong praja, guru,
hingga ulama telah mengukir prestasi dalam menetapkan kebijakan publik. Namun
untuk profesi artis yang duduk di lembaga legislatif, baru dimulai pada era
orde baru, yakni Bung Edi Sud dan Bang H. Rhoma Irama. Selebihnya pada saat
itu, beberapa artis hanya dijadikan vote
getter atau pengumpul suara dalam setiap pemeriahan kampanye partai
politik.
Di era reformasi, trend artis berpolitik semakin meningkat. Mereka tidak mau lagi
hanya dijadikan sebagai vote getter,
dengan alasan idealis yakni ingin meningkatkan eksistesi diri dalam
memperjuangkan aspirasi masyarakat. Dan ruang untuk merelisasikan hal
itu adalah dengan masuk partai politik.
Alhasil
pada pemilu pertama di era reformasi yakni tahun 1999, sederet artis seperti
Sophan Sofian, Adjie Massaid, Anwar Fuady, Nurul Arifin, Emilia Contesa, Dede
Yusuf, Rieke Diah Pitaloka, Gugun Gondrong,
Komar, Mandra, Miing, Edo Kondologit,
Ruhut Sitompul, Renny Jayusman, Suti Karno, Marissa Haque, dan Rano Karno tersebar
sebagai anggota di sejumlah partai. Namun hanya sebagian dari mereka yang
berhasil menjadi anggota DPR RI.
Banyak
juga yang menyangsikan kemampuan berpolitik para artis. Bagaimana tidak,
pengalaman dan pengetahuan selebritis tersebut masih dianggap belum memadai
untuk terjun dalam koridor politik. Kelebihan mereka hanyalah dari segi
polularitas dan performance. Namun justru kedua segi itulah yang menjadi modal
utama dan juga merupakan sumber keuntungan bagi partai politik yang merekrut
artis tersebut.
Hal
ini menunjukkan kenyataan, bahwa partai politik tidak memiliki system
kaderisasi yang baik. Kader parpol tidak begitu popular dimata masyarakat
sehingga dengan merekrut selebritis sebagai anggota adalah suatu jalan terbaik
untuk mempromosikan jatidiri dan program-program parpol di tengah-tengah
masyarakat.
Sebenarnya
peningkatan peran selebritis di panggung politik diharapkan dapat memberikan
nuansa harmonisasi nurani di tengah kerasnya intrik dan manuver politik yang
kasar. Namun tetap saja pengaruh tersebut tidak begitu menonjol mengingat
kualitas politik sang artis hanya disertai pengetahuan dan pengalaman seadanya.
Tetapi
pada kenyataannya, tranformasi sang selebritis saat ini tidak hanya sebatas
duduk di lembaga legislatif. Mereka telah berkembang dan merambah lembaga
eksekutif. Hal ini terbukti dari kemenangan H. Rano Karno sebagai Wakil Bupati
Tangerang dan Dede Yusuf sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat. Artis dangdut
Syaiful Jamil juga tak ketinggalan, dan saat ini telah diusung sebuah parpol sebagai
Calon Wakil Bupati Serang. Walaupun ada juga artis yang belum berhasil menjabat
kepala daerah seperti Marisa Haque yang gagal sebagai Wakil Gubernur Banten dan
Komar yang juga gagal sebagai Wakil Bupati Lamongan.
Bila dibandingkan artis luar negeri, artis
Indonesia termasuk terlambat dalam hal menjabat sebagai pimpinan di lembaga
eksekutif. Sebut saja Gubernur California Arnold Schwarzenegger
(2005-2009), Presiden Amerika ke-40 Ronald Reagan (1981-1989), dan Presiden
Filipina Joseph Estrada (1998-2001). Sementara di Indonesia baru di tahun 2008
ini artis seperti Dede Yusuf dan Rano Karno berhasil memenangkan Pilkada,
itupun hanya menjabat sebagai wakil kepala daerah.
Fenomena
kemenangan Dede Yusuf dan Rano Karno ini sangat mengejutkan sekaligus cukup menarik,
hal ini menunjukan bahwa masyarakat sudah mulai berani mencoba alternatif
kepemimpinan yang berbeda dengan tetap memperhatikan imej sang artis. Peran
protagonis, bersahaja dan simpatik yang selalu dilakonkan Dede Yusuf dan Rano
Karno sangat mendongkrak perolehan suara. Ditambah lagi sejumlah pengalaman
aktifitas sosial yang mereka lakukan, Dede Yusuf yang aktif di bidang olah raga
dan Rano Karno di bidang lingkungan hidup.
Dan
tentu hasilnya akan berbeda, kalau artis yang ber-imej negatif dan kurang simpatik
dimata masyarakat mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Apakah itu karena
polemik seputar kehidupan keseharian mereka, atau karena peran mereka yang
konyol dan antagonis ketika bermain di sinetron, sehingga masyarakat enggan
memilihnya.
Pada dasarnya, siapa pun boleh mencalonkan diri sebagai
calon legislatif maupun kepala daerah bahkan kepala negara, tentu dengan
mengikuti aturan yang berlaku. Namun hendaknya jangan bermodalkan materi,
tampang dan popularitas saja. Lebih dari itu, untuk duduk dalam jabatan
politis, seorang calon sepatutnya memiliki pengalaman dan pengetahuannya di
bidang politik, pemerintahan dan kemasyarakatan.
Karena bila tidak demikian, tentu roda pemerintahan tidak
berjalan dengan baik, pembangunan terbengkalai dan kesejahteraan masyarakat
terlupakan sebagaimana sabda Rasulullah SAW ; “Apabila suatu amanah
telah disia-siakan, maka tunggulah saat kehancurannya”. Para sahabat bertanya,
"Apakah yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanah?” Beliau menjawab,
"Apabila suatu urusan telah diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya. Maka tunggulah kehancurannya." (HR Bukhari).
*******
*Telah Dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres, Senin, 28
April 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar