Kedua,
coordinating. Yakni fungsi yang harus digerakkan untuk membangun
komitmen-bersama oleh aktor yang berlain-lainan guna mencapai kinerja
masing-masing yang berbeda-beda tanpa yang satu merugikan kinerja yang lain.
Ketiga, peace-making. Adalah fungsi
pendamaian masyarakat. Di zaman dahulu, misalnya, Kepala Desa diakui oleh
Belanda sebagai Hakim Perdamaian Desa, dan pegawai kecamatan diakui sebagai hulp-magistraat. Dengan fungsi ini,
kerukunan lokal diharapkan tumbuh dan terpelihara.
Keempat, residue-caring. yakni fungsi kepedulian terhadap urusan yang tidak
termasuk tupoksi unit kerja manapun, sisa urusan yang tidak menguntungkan.
Gejala ini dijelaskan oleh teori pemerintahan yang diberi nama Teori Residu (Teori Sisa).
Kelima, all weather serving. Fungsi
ini harus digerakkan untuk melayani subkultur pelanggan dalam “segala cuaca,”
baik normal maupun abnormal (turbulentia,
force majeure), pelanggan yang tidak berdaya. Manajemen serba-cuaca ini
disebut juga Zero Time Based Management
(ZTBM), didasarkan pada kearifan local “Sediakan payung sebelum hujan.” Semakin
antisipatif manajemen, semakin besar harapan (hope) akan keselamatan. Manajemen ZTB berfungsi menumbuhkan harapan
di dalam dada orang yang tidak berdaya.
Keenam, Freies Ermessen (vrij bestuur). Fungsi ini berbeda dengan diskresi.
Diskresi adalah keleluasaan mengambil keputusan dan bertindak di dalam
batas-batas aturan hukum yang berlaku, sedangkan Freies Ermessen adalah kebebasan mengambil keputusan atau bertindak
berdasarkan hati nurani dalam menghadapi lingkungan yang berubah mendadak demi
melindungi nyawa manusia atau menjaga keselamatan Negara, untuk kemudian
dipertanggungjawabkan dan siap menanggung segala risikonya.
Ketujuh, generalist function. Fungsi ini diperlukan sebagai konsekuensi
posisi Depdagri sebagai pengelola binnenlandsbestuur,
algemeenbestuur, dan bestuurszorg.
Kedelapan, image-building
(omnipresence). Self-multiplication
dan self-amplification melalui image-building. Fungsi ini diperlukan untuk mengatasi keterbatasan
fisik pemerintah untuk hadir di mana-mana pada saat yang sama. Melalui image-building pemerintahan terasa ada
di mana-mana (omnipresent) dan
menggerakkan masyarakat untuk maju ke depan.
Kedelapan, magnanimous
thinking. Yakni kemampuan untuk menghasilkan pikiran-pikiran besar, yaitu
buah pikiran yang mengendalikan generasi mendatang beratus bahkan beribu tahun
kemudian. Bangsa Indonesia terlahir oleh pikiran-pikiran besar tersebut, dan
masa depannya jaya hanya jika dibimbing oleh pikiran-pikiran besar pula.
Pikiran manusia bisa berbuah besar jika kemerdekaan berpikir yang dimaksud pasal 28 UUD 1945 terjamin
sepenuhnya.
Pemenuhan seluruh fungsi di atas merupakan hak
dasar masyarakat akan pelayanan yang dibutuhkan sekaligus pula sebagai
standarisasi terhadap kualitas yang seharusnya melekat pada diri seorang pamong
praja. Dan tentunya peningkatan kualitas pamong praja harus ditanamkan,
dibentuk dan dipelajari dalam sebuah lembaga pendidikan pamong praja. Ini
berarti, selama masyarakat membutuhkan pelayanan yang profesional dan memuaskan
dari pamong praja, maka selama itu pulalah sekolah pamong praja tetap berdiri.
Masa Depan Sekolah Pamong Praja
Tentunya kita sepakat bahwa praktek-praktek
kekerasan tidak diperlukan dalam pola pendidikan pamong praja. Dan penulis juga
percaya kalau kita sependapat bahwa dalam proses pembentukan pamong praja,
membutuhkan kurikulum yang lebih dari sekedar pemberian materi perkuliahan.
Sebuah pola pendidikan khusus dan serius perlu diciptakan guna mencetak kader
pamong praja profesional masa depan.
Dengan telah dimulainya pendaftaran calon
praja baru pada IPDN regional, maka diharapkan tidak akan muncul lagi kasus
’Cliff Muntu’ dan ’Wahyu Hidayat’
lainnya. Untuk itu menurut penulis, diperlukan beberapa langkah kongret yakni
sebagai berikut, pertama, perlu sebuah lembaga pengawas independent yang
bertugas mengawasi seluruh proses rekruitment calon praja agar sesuai dengan
prosedur dan persyaratan yang berlaku. Kredibilitas personil lembaga pengawas
juga perlu di perhatikan, tranparansi dan akuntabilitas diperlukan sebagai
fungsi kontrol. Ibarat pepatah minang ’jan
sampai tungkek nan mambaok rabah’
(jangan sampai tongkat yang seharusnya membantu kita berdiri justru yang
menyebabkan kita terjatuh).
Kedua, diperlukan sebuah Tim
kajian/seleksi yang bertugas untuk menilai kualitas para dosen, pengasuh, dan
pelatih untuk mengajar di IPDN regional.
Tentu tidaklah lucu, kalau para calon praja yang telah lolos seleksi ketat namun
ternyata dididik oleh dosen, pengasuh dan pelatih yang tidak jelas track record-nya, mental kejiwaannya
bahkan visi dan misi mereka terhadap pembentukan pamong praja.
Ketiga, komposisi praja yang kuliah di
IPDN regional harus berasal dari seluruh daerah di-Indonesia. Jangan karena
dinamakan IPDN regional Makasar maka yang kuliah di sana hanya praja dari
daerah sulawesi saja. Selain itu dalam jangka waktu tertentu, para praja perlu
diadakan pertukaran orientasi perkuliahannya ke IPDN regional lainnya. Sebagai contoh, Praja ’A’ ketika di tahun
pertama perkuliahannya berada di IPDN regional Baso namun di tahun kedua
ditempatkan di IPDN regional Mataram. Hal ini selain bertujuan untuk memutuskan
lingkaran setan kekerasan yang dikhawatirkan mungkin masih ada, juga lebih
dimaksudkan untuk menanamkan rasa nasionalisme dan wawasan nusantara ke dalam
diri mereka.
Keempat, perubahan selayaknya tidak saja
difokuskan pada rekruitment dan proses pendidikan, namun yang paling utama dari
itu semua sebenarnya adalah evaluasi terhadap produk lembaga pendidikan binaan
Depdagri ini. Para alumni sekolah pamong praja yang telah terjun ke masyarakat
hendaknya secara berkala terus dipantau, dicatat dan dievaluasi kinerjanya.
Pendapat dan kritikan masyarakat dan pemerintah daerah setempat selaku user alumni STPDN/IPDN sangat
diperlukan, guna terus memperbaiki dan menyempurnakan kurikulum pendidikan di
sekolah pamong praja.
Sebagaimana pendapat Warren G Bennis bahwa
mitos kepemimpinan yang paling berbahaya adalah bahwa seorang pemimpin tercipta
saat dilahirkan – bahwa ada faktor genetik pada kepemimpinan. Realitanya, yang benar adalah
kebalikannya. Para pemimpin itu dibentuk dan bukannya dilahirkan.
Untuk itu perlu menjadi perhatian dan tanggung
jawab kita bersama akan keberlangsungan lembaga pendidikan pamong praja di
Indonesia agar berhasil membentuk pamong praja yang benar-benar mampu membaca
tuntutan zaman dan menterjemahkan kebutuhan masyarakatnya.
*******
*Telah dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres, Kamis 4 Juni 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar