Senin, 20 Januari 2014

BABAK BARU SEKOLAH PAMONG PRAJA (-bagian terakhir dari dua tulisan-)*






Kedua, coordinating. Yakni fungsi yang harus digerakkan untuk membangun komitmen-bersama oleh aktor yang berlain-lainan guna mencapai kinerja masing-masing yang berbeda-beda tanpa yang satu merugikan kinerja yang lain. Ketiga, peace-making. Adalah fungsi pendamaian masyarakat. Di zaman dahulu, misalnya, Kepala Desa diakui oleh Belanda sebagai Hakim Perdamaian Desa, dan pegawai kecamatan diakui sebagai hulp-magistraat. Dengan fungsi ini, kerukunan lokal diharapkan tumbuh dan terpelihara.
Keempat, residue-caring. yakni fungsi kepedulian terhadap urusan yang tidak termasuk tupoksi unit kerja manapun, sisa urusan yang tidak menguntungkan. Gejala ini dijelaskan oleh teori pemerintahan yang  diberi nama Teori Residu (Teori Sisa). Kelima, all weather serving. Fungsi ini harus digerakkan untuk melayani subkultur pelanggan dalam “segala cuaca,” baik normal maupun abnormal (turbulentia, force majeure), pelanggan yang tidak berdaya. Manajemen serba-cuaca ini disebut juga Zero Time Based Management (ZTBM), didasarkan pada kearifan local “Sediakan payung sebelum hujan.” Semakin antisipatif manajemen, semakin besar harapan (hope) akan keselamatan. Manajemen ZTB berfungsi menumbuhkan harapan di dalam dada orang yang tidak berdaya.
Keenam, Freies Ermessen (vrij bestuur). Fungsi ini berbeda dengan diskresi. Diskresi adalah keleluasaan mengambil keputusan dan bertindak di dalam batas-batas aturan hukum yang berlaku, sedangkan Freies Ermessen adalah kebebasan mengambil keputusan atau bertindak berdasarkan hati nurani dalam menghadapi lingkungan yang berubah mendadak demi melindungi nyawa manusia atau menjaga keselamatan Negara, untuk kemudian dipertanggungjawabkan dan siap menanggung segala risikonya.
Ketujuh, generalist function. Fungsi ini diperlukan sebagai konsekuensi posisi Depdagri sebagai pengelola binnenlandsbestuur, algemeenbestuur, dan bestuurszorg. Kedelapan, image-building (omnipresence). Self-multiplication dan self-amplification melalui image-building. Fungsi ini diperlukan untuk mengatasi keterbatasan fisik pemerintah untuk hadir di mana-mana pada saat yang sama. Melalui image-building pemerintahan terasa ada di mana-mana (omnipresent) dan menggerakkan masyarakat untuk maju ke depan.
Kedelapan, magnanimous thinking. Yakni kemampuan untuk menghasilkan pikiran-pikiran besar, yaitu buah pikiran yang mengendalikan generasi mendatang beratus bahkan beribu tahun kemudian. Bangsa Indonesia terlahir oleh pikiran-pikiran besar tersebut, dan masa depannya jaya hanya jika dibimbing oleh pikiran-pikiran besar pula. Pikiran manusia bisa berbuah besar jika kemerdekaan berpikir yang  dimaksud pasal 28 UUD 1945 terjamin sepenuhnya.
Pemenuhan seluruh fungsi di atas merupakan hak dasar masyarakat akan pelayanan yang dibutuhkan sekaligus pula sebagai standarisasi terhadap kualitas yang seharusnya melekat pada diri seorang pamong praja. Dan tentunya peningkatan kualitas pamong praja harus ditanamkan, dibentuk dan dipelajari dalam sebuah lembaga pendidikan pamong praja. Ini berarti, selama masyarakat membutuhkan pelayanan yang profesional dan memuaskan dari pamong praja, maka selama itu pulalah sekolah pamong praja tetap berdiri.
Masa Depan Sekolah Pamong Praja
Tentunya kita sepakat bahwa praktek-praktek kekerasan tidak diperlukan dalam pola pendidikan pamong praja. Dan penulis juga percaya kalau kita sependapat bahwa dalam proses pembentukan pamong praja, membutuhkan kurikulum yang lebih dari sekedar pemberian materi perkuliahan. Sebuah pola pendidikan khusus dan serius perlu diciptakan guna mencetak kader pamong praja profesional masa depan.
Dengan telah dimulainya pendaftaran calon praja baru pada IPDN regional, maka diharapkan tidak akan muncul lagi kasus ’Cliff Muntu’  dan ’Wahyu Hidayat’ lainnya. Untuk itu menurut penulis, diperlukan beberapa langkah kongret yakni sebagai berikut, pertama, perlu sebuah lembaga pengawas independent yang bertugas mengawasi seluruh proses rekruitment calon praja agar sesuai dengan prosedur dan persyaratan yang berlaku. Kredibilitas personil lembaga pengawas juga perlu di perhatikan, tranparansi dan akuntabilitas diperlukan sebagai fungsi kontrol. Ibarat pepatah minang ’jan sampai tungkek nan mambaok rabah  (jangan sampai tongkat yang seharusnya membantu kita berdiri justru yang menyebabkan kita terjatuh).
Kedua, diperlukan sebuah Tim kajian/seleksi yang bertugas untuk menilai kualitas para dosen, pengasuh, dan pelatih untuk  mengajar di IPDN regional. Tentu tidaklah lucu, kalau para calon praja yang telah lolos seleksi ketat namun ternyata dididik oleh dosen, pengasuh dan pelatih yang tidak jelas track record-nya, mental kejiwaannya bahkan visi dan misi mereka terhadap pembentukan pamong praja. 
Ketiga, komposisi praja yang kuliah di IPDN regional harus berasal dari seluruh daerah di-Indonesia. Jangan karena dinamakan IPDN regional Makasar maka yang kuliah di sana hanya praja dari daerah sulawesi saja. Selain itu dalam jangka waktu tertentu, para praja perlu diadakan pertukaran orientasi perkuliahannya ke IPDN regional lainnya. Sebagai contoh, Praja ’A’ ketika di tahun pertama perkuliahannya berada di IPDN regional Baso namun di tahun kedua ditempatkan di IPDN regional Mataram. Hal ini selain bertujuan untuk memutuskan lingkaran setan kekerasan yang dikhawatirkan mungkin masih ada, juga lebih dimaksudkan untuk menanamkan rasa nasionalisme dan wawasan nusantara ke dalam diri mereka.
Keempat, perubahan selayaknya tidak saja difokuskan pada rekruitment dan proses pendidikan, namun yang paling utama dari itu semua sebenarnya adalah evaluasi terhadap produk lembaga pendidikan binaan Depdagri ini. Para alumni sekolah pamong praja yang telah terjun ke masyarakat hendaknya secara berkala terus dipantau, dicatat dan dievaluasi kinerjanya. Pendapat dan kritikan masyarakat dan pemerintah daerah setempat selaku user alumni STPDN/IPDN sangat diperlukan, guna terus memperbaiki dan menyempurnakan kurikulum pendidikan di sekolah pamong praja. 
Sebagaimana pendapat Warren G Bennis bahwa mitos kepemimpinan yang paling berbahaya adalah bahwa seorang pemimpin tercipta saat dilahirkan – bahwa ada faktor genetik pada kepemimpinan. Realitanya, yang benar adalah kebalikannya. Para pemimpin itu dibentuk dan bukannya dilahirkan.
Untuk itu perlu menjadi perhatian dan tanggung jawab kita bersama akan keberlangsungan lembaga pendidikan pamong praja di Indonesia agar berhasil membentuk pamong praja yang benar-benar mampu membaca tuntutan zaman dan menterjemahkan kebutuhan masyarakatnya.

*******

 *Telah dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres, Kamis 4 Juni 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar