Pola hubungan kerja antara presiden dengan wakil
presiden memang selalu menarik untuk diperbincangkan, karena menyangkut
bagaimana sistem ketatanegaraan di republik ini dijalankan. Berangkat
dari pernyataan Buya Syafii Maarif, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, pemenang Magsaysay Award, usai memberikan pidato dalam
acara penganugerahan Habibie Award di Jakarta, Selasa malam (25/11/2008), bahwa
saat ini Jusuf Kalla lah yang merupakan the
real president, pemimpin pemerintahan yang sebenarnya.
Namun
Jusuf Kalla menampik pujian tersebut dengan mengatakan bahwa ia hanyalah the real vice president, dan bekerja
sesuai dengan yang diamanahkan UUD 1945, wakil presiden bertugas untuk membantu
presiden, dan Jusuf Kalla hanya bekerja sesuai arahan
dan keputusan yang telah disepakati oleh Presiden SBY “justru sangat
salah bila wakil presiden tidak bekerja”, ujar JK di
Istana Wapres, Jakarta, Jumat (28/11/2008).
Sebenarnya, asumsi bahwa Jusuf Kalla lebih mendominasi
pemerintahan dibandingkan SBY sudah muncul sejak terpilihnya JK sebagai Ketua
Umum GOLKAR di penghujung Tahun 2004. Banyak kalangan waktu itu yang
mengkhawatirkan akan terjadinya dualisme kepemimpinan mengingat pada realitanya
Jusuf Kalla lah yang lebih memiliki power
karena berhasil menduduki kursi Pimpinan tertinggi partai berlambang pohon
beringin, partai terbesar pemenang pemilu 2004. Isu akan terjadinya ‘matahari
kembar’ merebak saat itu.
Pendapat
beberapa analis politik, dapat saja isu tersebut kembali dihembuskan dalam
upaya memecah belah duet SBY-JK guna menghadapi Pemilu 2009. Karena dari
banyaknya hasil survey menyatakan bahwa
polling duet SBY-JK masih memiliki kans terbesar untuk keluar sebagai presiden
dan wakil presiden RI 2009-2014 dan hal ini cukup membuat para lawan politik
mereka kebakaran jenggot. Terlebih lagi menurut survey LSI terbaru pada
–Oktober 2008-, partai Demokrat meraih dukungan 16,8%, Golkar 15,9% dan PDIP
14,2%.
Namun dari
kacamata penataan sistem ketatanegaraan, tentu kita sependapat bahwa perlu
kajian lebih, dalam rangka meningkatkan peran wakil presiden ke depan serta
penegasan batas kewenangan yang dimiliki oleh seorang wapres.
Bila menilik
kembali sejarah yang telah ditorehkan bangsa ini, sebenarnya Soekarno-Hatta
sudah memberikan contoh keharmonisan hubungan kerja antara presiden dan wakil
presiden walaupun hanya berjalan selama hampir 12 tahun. Dalam masa jabatannya
Hatta membuktikan bahwa Wapres bukan sekedar ban serep. Kewenangan wapres dapat
disetarakan dengan presiden melalui pelaksanaan konsep Dwitunggal.
Hal tersebut
dapat dicermati dari banyaknya kebijakan yang dikeluarkan Hatta seperti antara
lain, Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 Oktober 1945 mengenai Badan
Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat; Maklumat Pemerintah tanggal 17 Oktober
1945 tentang Permakluman Perang; Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945
tentang pembentukan partai politik; dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1946
tentang Keadaan Bahaya. Belum lagi sepak terjang Hatta dalam menegakan
demokrasi, ekonomi kerakyatan, koperasi serta lobi-lobi politik dalam dan luar
negeri demi memajukan harkat dan martabat bangsa Indonesia.
Di era orde baru, wapres tidak memiliki peran yang
begitu berarti. Fungsi wapres hanya untuk mewakili presiden ketika presiden
berhalangan. Uniknya, Presiden Soeharto (1967-1998) dapat dikatakan menentukan
sendiri siapa wapresnya, tercatat beberapa wapres yang pernah mendampingi
Soeharto, seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, Umar
Wirahadikusuma, Sudharmono, Tri Sutrisno dan terakhir B.J Habibie yang semuanya
berfungsi sebagai pendamping belaka. Demikian pula hal serupa dialami Megawati
dan Hamzah Haz ketika menjabat sebagai wapres di Era Reformasi, mereka masih
terjebak dengan warisan orde baru, yakni peran wapres yang hanya sebatas
sebagai pendamping presiden.
Baru pada duet SBY-JK lah yang mulai
memberikan nuansa tersendiri terhadap bagaimana peran wapres seharusnya
dijalankan, tanpa mengganggu sistem ketatanegaraan dan tetap berada pada jalur
kontitusi yang berlaku. Wapres tidak perlu menunggu perintah dari presiden
untuk mulai bekerja karena wapres bukan bawahan presiden. Namun hal itu bukan
berarti wapres serta merta berkehendak semaunya, karena tentunya peran yang
dimainkannya haruslah berjalan pada garis koridor yang telah diarahkan
presiden.
Pada intinya, peran wapres pada setiap
periode kekuasaan memiliki ciri khas masing-masing. Namun apakah dengan
demikian peran wapres dibiarkan saja ‘abstrak’ sepanjang masa, tentu cepat atau
lambat bangsa ini memerlukan ketegasan atas peran seorang wapres. Perlunya
menuangkan secara legal mengenai detail bidang-bidang pemerintahan yang menjadi
kewenangan wapres. Karena memang hingga saat ini, peraturan perundangan yang
berlaku juga tidak menjelaskan secara spesifik apa saja peran yang harus
dimainkan sang wapres. Baik pada UUD 1945 dan bahkan pada UU Pilpres yang
disahkan Oktober lalu, belum tercantum pengaturan tugas dan kewenangan wakil
presiden secara kongret.
Mengingat
peran wapres yang –seharusnya- cukup strategis, selain penekanan pada kewengan
tugas yang nyata yang harus dituangkan pada UUD 1945, penulis juga berpendapat
bahwa jabatan wapres ke depan sebaiknya ex-officio
sebagai ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tanpa merangkap sebagai anggota.
Sebagai rujukan, Wapres Amerika Serikat juga menjabat sebagai ketua senat yang
merupakan lembaga perwakilan Negara-negara bagian -non partai- yang di dalam
kongres akan bergabung dengan House of
Representative - yang berasal dari partai.
Dengan penegasan
kewenangan yang jelas serta menjadikan wapres ex-officio ketua DPD maka diharapkan peran dan tanggung jawab
seorang wapres semakin meningkat dan lebih besar. Tidak ada lagi sindiran “the real president” pada seorang wapres
akan datang, malahan melalui solusi ini maka akan lahirlah “the real government”.
*******
*Telah Terbit di Harian Pagi Padang Ekspres, Sabtu 13 Desember
2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar