Senin, 20 Januari 2014

THE REAL GOVERNMENT*







Pola hubungan kerja antara presiden dengan wakil presiden memang selalu menarik untuk diperbincangkan, karena menyangkut bagaimana sistem ketatanegaraan di republik ini dijalankan. Berangkat dari pernyataan Buya Syafii Maarif, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, pemenang Magsaysay Award, usai memberikan pidato dalam acara penganugerahan Habibie Award di Jakarta, Selasa malam (25/11/2008), bahwa saat ini Jusuf Kalla lah yang merupakan the real president, pemimpin pemerintahan yang sebenarnya.
Namun Jusuf Kalla menampik pujian tersebut dengan mengatakan bahwa ia hanyalah the real vice president, dan bekerja sesuai dengan yang diamanahkan UUD 1945, wakil presiden bertugas untuk membantu presiden, dan Jusuf Kalla hanya bekerja sesuai arahan dan keputusan yang telah disepakati oleh Presiden SBY “justru sangat salah bila wakil presiden tidak bekerja”, ujar JK di Istana Wapres, Jakarta, Jumat (28/11/2008).
Sebenarnya, asumsi bahwa Jusuf Kalla lebih mendominasi pemerintahan dibandingkan SBY sudah muncul sejak terpilihnya JK sebagai Ketua Umum GOLKAR di penghujung Tahun 2004. Banyak kalangan waktu itu yang mengkhawatirkan akan terjadinya dualisme kepemimpinan mengingat pada realitanya Jusuf Kalla lah yang lebih memiliki power karena berhasil menduduki kursi Pimpinan tertinggi partai berlambang pohon beringin, partai terbesar pemenang pemilu 2004. Isu akan terjadinya ‘matahari kembar’ merebak saat itu.
Pendapat beberapa analis politik, dapat saja isu tersebut kembali dihembuskan dalam upaya memecah belah duet SBY-JK guna menghadapi Pemilu 2009. Karena dari banyaknya hasil survey  menyatakan bahwa polling duet SBY-JK masih memiliki kans terbesar untuk keluar sebagai presiden dan wakil presiden RI 2009-2014 dan hal ini cukup membuat para lawan politik mereka kebakaran jenggot. Terlebih lagi menurut survey LSI terbaru pada –Oktober 2008-, partai Demokrat meraih dukungan 16,8%, Golkar 15,9% dan PDIP 14,2%.
Namun dari kacamata penataan sistem ketatanegaraan, tentu kita sependapat bahwa perlu kajian lebih, dalam rangka meningkatkan peran wakil presiden ke depan serta penegasan batas kewenangan yang dimiliki oleh seorang wapres.
Bila menilik kembali sejarah yang telah ditorehkan bangsa ini, sebenarnya Soekarno-Hatta sudah memberikan contoh keharmonisan hubungan kerja antara presiden dan wakil presiden walaupun hanya berjalan selama hampir 12 tahun. Dalam masa jabatannya Hatta membuktikan bahwa Wapres bukan sekedar ban serep. Kewenangan wapres dapat disetarakan dengan presiden melalui pelaksanaan konsep Dwitunggal.
Hal tersebut dapat dicermati dari banyaknya kebijakan yang dikeluarkan Hatta seperti antara lain, Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 Oktober 1945 mengenai Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat; Maklumat Pemerintah tanggal 17 Oktober 1945 tentang Permakluman Perang; Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 tentang pembentukan partai politik; dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya. Belum lagi sepak terjang Hatta dalam menegakan demokrasi, ekonomi kerakyatan, koperasi serta lobi-lobi politik dalam dan luar negeri demi memajukan harkat dan martabat bangsa Indonesia.
Di era orde baru, wapres tidak memiliki peran yang begitu berarti. Fungsi wapres hanya untuk mewakili presiden ketika presiden berhalangan. Uniknya, Presiden Soeharto (1967-1998) dapat dikatakan menentukan sendiri siapa wapresnya, tercatat beberapa wapres yang pernah mendampingi Soeharto, seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, Umar Wirahadikusuma, Sudharmono, Tri Sutrisno dan terakhir B.J Habibie yang semuanya berfungsi sebagai pendamping belaka. Demikian pula hal serupa dialami Megawati dan Hamzah Haz ketika menjabat sebagai wapres di Era Reformasi, mereka masih terjebak dengan warisan orde baru, yakni peran wapres yang hanya sebatas sebagai pendamping presiden.
Baru pada duet SBY-JK lah yang mulai memberikan nuansa tersendiri terhadap bagaimana peran wapres seharusnya dijalankan, tanpa mengganggu sistem ketatanegaraan dan tetap berada pada jalur kontitusi yang berlaku. Wapres tidak perlu menunggu perintah dari presiden untuk mulai bekerja karena wapres bukan bawahan presiden. Namun hal itu bukan berarti wapres serta merta berkehendak semaunya, karena tentunya peran yang dimainkannya haruslah berjalan pada garis koridor yang telah diarahkan presiden.
Pada intinya, peran wapres pada setiap periode kekuasaan memiliki ciri khas masing-masing. Namun apakah dengan demikian peran wapres dibiarkan saja ‘abstrak’ sepanjang masa, tentu cepat atau lambat bangsa ini memerlukan ketegasan atas peran seorang wapres. Perlunya menuangkan secara legal mengenai detail bidang-bidang pemerintahan yang menjadi kewenangan wapres. Karena memang hingga saat ini, peraturan perundangan yang berlaku juga tidak menjelaskan secara spesifik apa saja peran yang harus dimainkan sang wapres. Baik pada UUD 1945 dan bahkan pada UU Pilpres yang disahkan Oktober lalu, belum tercantum pengaturan tugas dan kewenangan wakil presiden secara kongret.
Mengingat peran wapres yang –seharusnya- cukup strategis, selain penekanan pada kewengan tugas yang nyata yang harus dituangkan pada UUD 1945, penulis juga berpendapat bahwa jabatan wapres ke depan sebaiknya ex-officio sebagai ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tanpa merangkap sebagai anggota. Sebagai rujukan, Wapres Amerika Serikat juga menjabat sebagai ketua senat yang merupakan lembaga perwakilan Negara-negara bagian -non partai- yang di dalam kongres akan bergabung dengan House of Representative - yang berasal dari partai.
Dengan penegasan kewenangan yang jelas serta menjadikan wapres ex-officio ketua DPD maka diharapkan peran dan tanggung jawab seorang wapres semakin meningkat dan lebih besar. Tidak ada lagi sindiran “the real president” pada seorang wapres akan datang, malahan melalui solusi ini maka akan lahirlah “the real government”.

*******

*Telah Terbit di Harian Pagi Padang Ekspres, Sabtu 13 Desember 2008











Tidak ada komentar:

Posting Komentar