Senin, 20 Januari 2014

JANGAN HANYA MORATORIUM*



                       
  
Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait Kebijakan penghentian sementara penerimaan PNS atau moratorium PNS telah ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi EE Mangindaan dan Menteri Keuangan Agus Martowardojo di Kantor Wakil Presiden beberapa waktu lalu.
Moratorium PNS ini, diberlakukan sejak 1 September 2011 hingga 31 Desember 2012. Namun untuk tenaga medis seperti dokter dan perawat serta tenaga pengajar dan petugas keselamatan publik menjadi pengecualian peraturan bersama ini.
Sebagian besar APBN dan APBD yang tersedot pada belanja pegawai menjadi alasan pemberlakuan SKB 3 Menteri tersebut. Dari data Kemenkeu, belanja pegawai yang tertampung dalam APBN selama beberapa tahun terakhir terus mengalami peningkatan yang signifikan. Pada 2005, belanja pegawai hanya sebesar Rp 54,3 triliun, kemudian 2006 Rp 73,3 triliun, 2007 Rp 90,4 triliun, 2008 Rp 112,8 triliun, dan 2009 Rp 127,7 triliun. 2010 melonjak menjadi Rp 162,7 triliun dan di tahun 2011 mencapai Rp 180,8 triliun.
Jumlah PNS pun telah mencapai 4,7 Juta orang, yang bila dibandingkan jumlah penduduk Indonesia sebesar 259 juta (data kemendagri) berarti di Indonesia 1 orang PNS melayani 55 orang masyarakat atau dengan rasio 1:55. Sebagai perbandingan di Amerika dan Negara Eropa sudah memakai rasio antara 1:70 hingga 1:80.
Dari data tersebut, jelaslah bahwasanya birokrasi di Indonesia mengalami “kelebihan berat badan”, malangnya lagi kegemukan ini tidak merata, hanya berada di sekitar pusat, penyebaran PNS tidak mencapai pelosok-pelosok daerah di Indonesia. Ibarat seorang manusia yang busung lapar, kegemukan ini hanya terjadi di perut saja, sementara kaki dan tangan kurus kerempeng.
Memang di beberapa daerah juga terjadi ketimpangan porsi anggaran yang terlalu menitik beratkan pada belanja pegawai. Menurut Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, ada 294 kabupaten/kota yang 50% lebih APBD-nya habis untuk belanja pegawai, dan malahan 116 kabupaten/kota di atas 60%.
Penerapan kebijakan moratorium PNS oleh pemerintah memang sudah tepat. Namun moratorium saja tidak cukup, perlu disertai dengan beberapa langkah pendamping agar moratorium bukan hanya berarti beristirahatnya panitia seleksi penerimaan CPNS, tetapi moratorium hendaknya menjadi momentum bagi pemerintah untuk mengambil nafas dan memikirkan bagaimana mengembalikan bentuk ideal tubuh birokrasi yang sudah terlanjur gemuk ini.
Beberapa point penting yang perlu direkomendasikan dalam resep “obat diet” reformasi birokrasi gemuk ini adalah Pertama, penerapan Permenpan-RB No 26 tahun 2011 tentang Pedoman Perhitungan Jumlah Kebutuhan PNS yang Tepat untuk Daerah. Dengan kriteria dan metode penghitungan yang dipaparkan dalam Permenpan-RB ini, diharapkan jumlah PNS benar-benar sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan daerah.
Kedua, percepatan perumusan kebijakan pensiun dini bagi PNS yang telah berusia 50 tahun ke atas. Walau tidak bersifat paksaan, tapi bila peraturan telah jelas dan menguntungkan, maka cukup banyak PNS yang secara sukarela mengajukan pensiun dini, apalagi dengan melihat kondisi real banyaknya PNS di atas usia 50 tahun yang sudah tidak lagi memfokuskan diri terhadap tanggung jawab akan tugas dan fungsinya. Tentu bila keadaan ini dibiarkan, akan menjadi teladan yang tidak sehat bagi PNS yang masih berusia muda.
Ketiga, pemerintah juga perlu menyusun pola Redistribusi PNS, tidak saja secara Nasional oleh Pemerintah, namun juga redistribusi di tingkat Propinsi oleh Pemprop mapun redistribusi di tingkat Kabupaten/kota oleh PemKab/Pemko. Redistribusi ini jelas penting mengingat masih terpusatnya PNS pada beberapa Instansi/daerah tertentu, padahal di sisi lain masih banyak Instansi/daerah yang kekurangan personil. Redistribusi juga hendaknya tidak lagi memandang asal dan asli dari daerah mana seorang PNS, namun kesesuaian antara pengalaman dan pendidikan PNS terhadap kebutuhan daerah.
Keempat, optimalisasi teknologi. Sungguh ironis, disaat zaman sudah mengglobal dan teknologi menjadi suatu hal yang lazim, sementara dunia birokrasi Indonesia masih berkutat dengan cara-cara konvensional. Artinya kalau dulu, sebuah pekerjaan akan selesai bila dikerjakan 5 orang, tetapi sekarang dengan kecanggihan teknologi pekerjaan tersebut bisa di selesaikan 1 orang. Dengan demikian, apa masih relevan kebijakan rekrutmen PNS ?
Kelima,  Perampingan Organisasi. Struktur yang gemuk tentu juga mengharuskan pengisian PNS yang banyak. Baik PNS yang mendapatkan posisi sebagai kepala, sekretaris, kepala bidang, kepala seksi hingga staf. Tak jarang sebuah struktur organisasi setingkat esselon 2 memerlukan paling tidak sekitar 40 orang PNS. Itulah makanya, penyusunan struktur yang tidak berpijak pada kebutuhan organisasi hanya akan menambah PNS “menganggur” dan “membocorkan” anggaran.
 Demikian lima “resep obat” yang sepatutnya menyertai kebijakan moratorium PNS, semoga mampu merubah birokrasi lamban jadi cekatan.


*******

Telah Terbit di Harian Pagi Padang Ekspres, Kamis 22 September 2011




Tidak ada komentar:

Posting Komentar