Surat Keputusan
Bersama (SKB) terkait Kebijakan penghentian sementara penerimaan PNS atau
moratorium PNS telah ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi,
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi EE Mangindaan dan
Menteri Keuangan Agus Martowardojo di Kantor Wakil Presiden beberapa waktu
lalu.
Moratorium
PNS ini, diberlakukan sejak 1 September 2011 hingga 31 Desember 2012. Namun
untuk tenaga medis seperti dokter dan perawat serta tenaga pengajar dan petugas
keselamatan publik menjadi pengecualian peraturan bersama ini.
Sebagian
besar APBN dan APBD yang tersedot pada belanja pegawai menjadi alasan
pemberlakuan SKB 3 Menteri tersebut. Dari data Kemenkeu, belanja pegawai yang
tertampung dalam APBN selama beberapa tahun terakhir terus mengalami
peningkatan yang signifikan. Pada 2005, belanja pegawai hanya sebesar Rp 54,3
triliun, kemudian 2006 Rp 73,3 triliun, 2007 Rp 90,4 triliun, 2008 Rp 112,8
triliun, dan 2009 Rp 127,7 triliun. 2010 melonjak menjadi Rp 162,7 triliun dan
di tahun 2011 mencapai Rp 180,8 triliun.
Jumlah
PNS pun telah mencapai 4,7 Juta orang, yang bila dibandingkan jumlah penduduk
Indonesia sebesar 259 juta (data kemendagri) berarti di Indonesia 1 orang PNS
melayani 55 orang masyarakat atau dengan rasio 1:55. Sebagai perbandingan di
Amerika dan Negara Eropa sudah memakai rasio antara 1:70 hingga 1:80.
Dari
data tersebut, jelaslah bahwasanya birokrasi di Indonesia mengalami “kelebihan
berat badan”, malangnya lagi kegemukan ini tidak merata, hanya berada di
sekitar pusat, penyebaran PNS tidak mencapai pelosok-pelosok daerah di
Indonesia. Ibarat seorang manusia yang busung lapar, kegemukan ini hanya
terjadi di perut saja, sementara kaki dan tangan kurus kerempeng.
Memang
di beberapa daerah juga terjadi ketimpangan porsi anggaran yang terlalu menitik
beratkan pada belanja pegawai. Menurut Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, ada
294 kabupaten/kota yang 50% lebih APBD-nya habis untuk belanja pegawai, dan
malahan 116 kabupaten/kota di atas 60%.
Penerapan
kebijakan moratorium PNS oleh pemerintah memang sudah tepat. Namun moratorium
saja tidak cukup, perlu disertai dengan beberapa langkah pendamping agar
moratorium bukan hanya berarti beristirahatnya panitia seleksi penerimaan CPNS,
tetapi moratorium hendaknya menjadi momentum bagi pemerintah untuk mengambil
nafas dan memikirkan bagaimana mengembalikan bentuk ideal tubuh birokrasi yang
sudah terlanjur gemuk ini.
Beberapa
point penting yang perlu direkomendasikan dalam resep “obat diet” reformasi birokrasi
gemuk ini adalah Pertama, penerapan Permenpan-RB No 26 tahun 2011 tentang
Pedoman Perhitungan Jumlah Kebutuhan PNS yang Tepat untuk Daerah. Dengan
kriteria dan metode penghitungan yang dipaparkan dalam Permenpan-RB ini,
diharapkan jumlah PNS benar-benar sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan
daerah.
Kedua,
percepatan perumusan kebijakan pensiun dini bagi PNS yang telah berusia 50
tahun ke atas. Walau tidak bersifat paksaan, tapi bila peraturan telah jelas
dan menguntungkan, maka cukup banyak PNS yang secara sukarela mengajukan
pensiun dini, apalagi dengan melihat kondisi real banyaknya PNS di atas usia 50 tahun yang sudah tidak lagi
memfokuskan diri terhadap tanggung jawab akan tugas dan fungsinya. Tentu bila
keadaan ini dibiarkan, akan menjadi teladan yang tidak sehat bagi PNS yang
masih berusia muda.
Ketiga,
pemerintah juga perlu menyusun pola Redistribusi PNS, tidak saja secara
Nasional oleh Pemerintah, namun juga redistribusi di tingkat Propinsi oleh
Pemprop mapun redistribusi di tingkat Kabupaten/kota oleh PemKab/Pemko.
Redistribusi ini jelas penting mengingat masih terpusatnya PNS pada beberapa
Instansi/daerah tertentu, padahal di sisi lain masih banyak Instansi/daerah
yang kekurangan personil. Redistribusi juga hendaknya tidak lagi memandang asal
dan asli dari daerah mana seorang PNS, namun kesesuaian antara pengalaman dan
pendidikan PNS terhadap kebutuhan daerah.
Keempat,
optimalisasi teknologi. Sungguh ironis, disaat zaman sudah mengglobal dan
teknologi menjadi suatu hal yang lazim, sementara dunia birokrasi Indonesia
masih berkutat dengan cara-cara konvensional. Artinya kalau dulu, sebuah
pekerjaan akan selesai bila dikerjakan 5 orang, tetapi sekarang dengan
kecanggihan teknologi pekerjaan tersebut bisa di selesaikan 1 orang. Dengan
demikian, apa masih relevan kebijakan rekrutmen PNS ?
Kelima, Perampingan Organisasi. Struktur yang gemuk
tentu juga mengharuskan pengisian PNS yang banyak. Baik PNS yang mendapatkan
posisi sebagai kepala, sekretaris, kepala bidang, kepala seksi hingga staf. Tak
jarang sebuah struktur organisasi setingkat esselon 2 memerlukan paling tidak
sekitar 40 orang PNS. Itulah makanya, penyusunan struktur yang tidak berpijak
pada kebutuhan organisasi hanya akan menambah PNS “menganggur” dan
“membocorkan” anggaran.
Demikian lima “resep obat” yang sepatutnya
menyertai kebijakan moratorium PNS, semoga mampu merubah birokrasi lamban jadi
cekatan.
*******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar