Senin, 20 Januari 2014

GUBERNUR; ELECTED ATAU APPOINTED ?*







Pengusulan penghapusan Pemerintahan Propinsi kembali dilontarkan Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi pada seminar “Memperbaharui dan Memperkuat Proses Pengelolaan Kebijakan Publik di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Bappenas di Jakarta, Rabu, 20 Februari 2008.
Desakan penghapusan Pemerintah Propinsi atau lebih tepatnya usulan agar Gubernur di tunjuk langsung oleh Presiden (Appointed) dan tidak perlu dipilih masyarakat melalui Pilkada (Elected) - seperti yang dilaksanakan saat ini - sebelumnya juga telah pernah dilontarkan Gamawan dan Gubernur LEMHANAS Muladi pada awal Desember 2007. Wacana tersebut memanas, mengundang berbagai pendapat pro dan kontra serta menarik untuk diperbincangkan dari berbagai sudut pandang maupun kepentingan.
Beberapa pendapat yang kontra dengan wacana Appointed mengatakan  bahwa hal itu inkonstitusional, bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 18 ayat 4 yang menyatakan “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Propinsi, Kabupaten , dan Kota dipilih secara demokratis”. Juga pada Pasal 56 ayat 1 UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menegaskan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Sebagian pendapat lainnya menyatakan ketidak setujuannya dengan Appointed karena dinilai merupakan langkah mundur dalam berdemokrasi, sehingga Appointed dapat dimaknai kembalinya otoritarianisme di muka bumi persada Indonesia.
Baik pendapat ‘inskonstitusional’ maupun ‘kemunduran dalam berdemokrasi’ wajar-wajar saja untuk dikemukakan. Namun bila menilai secara jujur dan objektif,  kita harus kembali mempertanyakan  apakah peran dan tugas yang dijalankan oleh gubernur - sebagaimana tertuang di dalam UU No 32/2004 - sudah sesuai dengan semangat otonomi daerah? Adakah garis komando yang jelas antara Gubernur terhadap  Bupati dan Walikota pada UU No 32/2004?  Jawabannya jelas tidak !.
UU No 32/2004 bukanlah sebuah kitab suci yang diharamkan untuk direvisi. Produk hukum Otonomi Daerah sebelumnya yakni UU No 22/1999 justru hanya berusia 5 tahun, dan terpaksa dirubah dan disesuaikan dengan tuntutan perkembangan Otonomi Daerah kala itu.
Pada UU No 32/2004 juga masih ditemukan beberapa kelemahan khususnya dari sisi pembagian urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah memang sudah cukup jelas yakni Politik Luar Negeri, Pertahanan, Keamanan, Moneter, Yustisi dan Agama, serta bagian tertentu urusan pemeritahan lainnya yang berskala nasional tidak diserahkan kepada daerah.
Namun ketidaktegasan pembagian urusan pemerintahan daerah masih terlihat antara pasal 13 dengan pasal 14 UU 32/2004. Terdapat beberapa kesamaan urusan pemerintahan yang ditangani oleh pemerintah daerah propinsi dengan pemerintah daerah kabupaten dan kota. Yang membedakan hanya skala-nya saja.  Kalau urusan itu pada skala propinsi, maka akan menjadi kewenangan pemerintah daerah propinsi, demikian pula seterusnya dengan kabupaten dan kota.
Pengelolaan urusan pemerintahan yang terjadi antara gubernur dengan bupati dan walikota tidak menimbulkan hubungan Inter-koneksi dan inter-dependensi. Sebagai contoh, beberapa produk hukum yang dikeluarkan oleh propinsi belum serta merta menjadi dasar dan pedoman di daerah kabupaten dan kota, serta tidak ada sanksi yang tegas bila pemerintah kabupaten dan kota membuat peraturan daerah tersendiri yang bertentangan dengan peraturan daerah Propinsi.
Dari beberapa kasus di atas, tidak bisa dipungkiri bila kewenangan gubernur selaku kepala daerah sejatinya sudah tidak ada, yang ada hanya kewenangannya selaku fasilitator, pembina, dan pengawas jalannya pelaksanaan otonomi daerah di kabupaten dan kota. Dengan kata lain, peran Gubernur saat ini hanya sebagai perpanjangan tangan  pemerintah pusat di daerah, yang melaksanakan urusan-urusan dekonsentrasi, tidak lebih. Dengan kondisi seperti itu, Alhasil, Urusan pemerintahan yang didapatkan propinsi tidak setara dengan rentetan proses mekanisme demokrasi yang telah dilaluinya. Dengan seluruh keterbatasan kewenangan yang dimiliki Gubernur tersebut, tentu patut kita pertanyakan kembali, apakah masih relevan bila Gubernur  itu elected?
Implikasi apabila Gubernur Appointed - tentu yang secara nyata terungkap - adalah jelasnya titik-titik komando dan koordinasi dari masing-masing tingkatan dalam sistem pemerintahan. Gubernur memiliki tugas yang secara jelas dan nyata tidak tumpang tindih dengan bupati maupun walikota. Sehingga kabupaten dan kota semakin leluasa mengembangkan daerahnya.
Efek domino yang bakal muncul selanjutnya adalah terjadinya  efisiensi anggaran secara besar-besaran di republik ini. Anggaran pilkada sebanyak 33 propinsi tidak diperlukan lagi. Rata-rata pilkada di tiap-tiap propinsi menghabiskan biaya 100 Milyar Rupiah. Dengan ditunjuknya Gubernur maka juga berdampak pada hilangnya Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) propinsi. Demikian pula hal nya dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) propinsi yang turut dihapuskan, karena gubernurnya cuma sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah sehingga tidak lagi memerlukan DPRD.
Bila dihitung-hitung, terjadi penghematan besar-besaran yang seyogyanya dapat dialokasikan untuk kegiatan pembangunan atau peningkatan kesejahteraan masyarakat di propinsi-propinsi. Mengapa kita terlalu boros mengadakan Pilkada Gubernur kalau sebenarnya biaya-biaya tersebut dapat dihemat dan dikompensasikan kembali ke kabupaten dan kota.
Penghapusan pemerintahan propinsi akan membawa implikasi yang sangat luas bagi kemajuan tatanan pemerintahan di Indonesia. Artinya kita harus melihat dan menilai dari hati nurani makna yang tersirat dari wacana elected atau appointed tersebut. Sedangkan efek domino yang terjadi seperti; efisiensi, penghematan anggaran, kurangnya konflik horizontal itu hanyalah keuntungan yang diperoleh atas kearifan kita dalam menempatkan posisi otonomi daerah di daerah otonom itu sendiri.

*******
 Telah Terbit di Harian Pagi Padang Ekspres, Rabu 27 Februari 2008



Tidak ada komentar:

Posting Komentar