Pengusulan penghapusan Pemerintahan Propinsi
kembali dilontarkan Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi pada seminar
“Memperbaharui dan Memperkuat Proses Pengelolaan Kebijakan Publik di Indonesia”
yang diselenggarakan oleh Bappenas di Jakarta, Rabu, 20 Februari 2008.
Desakan penghapusan Pemerintah Propinsi
atau lebih tepatnya usulan agar Gubernur di tunjuk langsung oleh Presiden (Appointed) dan tidak perlu dipilih
masyarakat melalui Pilkada (Elected)
- seperti yang dilaksanakan saat ini - sebelumnya juga telah pernah dilontarkan
Gamawan dan Gubernur LEMHANAS Muladi pada awal Desember 2007. Wacana tersebut
memanas, mengundang berbagai pendapat pro dan kontra serta menarik untuk
diperbincangkan dari berbagai sudut pandang maupun kepentingan.
Beberapa pendapat yang kontra dengan
wacana Appointed mengatakan bahwa hal itu inkonstitusional, bertentangan
dengan UUD 1945 Pasal 18 ayat 4 yang menyatakan “Gubernur, Bupati dan Walikota
masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Propinsi, Kabupaten , dan Kota
dipilih secara demokratis”. Juga pada Pasal 56 ayat 1 UU Nomor 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang menegaskan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Sebagian pendapat lainnya menyatakan
ketidak setujuannya dengan Appointed
karena dinilai merupakan langkah mundur dalam berdemokrasi, sehingga Appointed dapat dimaknai kembalinya
otoritarianisme di muka bumi persada Indonesia.
Baik pendapat ‘inskonstitusional’ maupun
‘kemunduran dalam berdemokrasi’ wajar-wajar saja untuk dikemukakan. Namun bila
menilai secara jujur dan objektif, kita
harus kembali mempertanyakan apakah
peran dan tugas yang dijalankan oleh gubernur - sebagaimana tertuang di dalam
UU No 32/2004 - sudah sesuai dengan semangat otonomi daerah? Adakah garis
komando yang jelas antara Gubernur terhadap
Bupati dan Walikota pada UU No 32/2004?
Jawabannya jelas tidak !.
UU No 32/2004 bukanlah sebuah kitab suci
yang diharamkan untuk direvisi. Produk hukum Otonomi Daerah sebelumnya yakni UU
No 22/1999 justru hanya berusia 5 tahun, dan terpaksa dirubah dan disesuaikan
dengan tuntutan perkembangan Otonomi Daerah kala itu.
Pada UU No 32/2004 juga masih ditemukan
beberapa kelemahan khususnya dari sisi pembagian urusan pemerintahan. Urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah memang sudah cukup jelas yakni
Politik Luar Negeri, Pertahanan, Keamanan, Moneter, Yustisi dan Agama, serta
bagian tertentu urusan pemeritahan lainnya yang berskala nasional tidak
diserahkan kepada daerah.
Namun
ketidaktegasan pembagian urusan pemerintahan daerah masih terlihat antara pasal
13 dengan pasal 14 UU 32/2004. Terdapat beberapa kesamaan urusan pemerintahan
yang ditangani oleh pemerintah daerah propinsi dengan pemerintah daerah
kabupaten dan kota. Yang membedakan hanya skala-nya saja. Kalau urusan itu pada skala propinsi, maka
akan menjadi kewenangan pemerintah daerah propinsi, demikian pula seterusnya
dengan kabupaten dan kota.
Pengelolaan
urusan pemerintahan yang terjadi antara gubernur dengan bupati dan walikota
tidak menimbulkan hubungan Inter-koneksi dan inter-dependensi. Sebagai contoh,
beberapa produk hukum yang dikeluarkan oleh propinsi belum serta merta menjadi
dasar dan pedoman di daerah kabupaten dan kota, serta tidak ada sanksi yang
tegas bila pemerintah kabupaten dan kota membuat peraturan daerah tersendiri
yang bertentangan dengan peraturan daerah Propinsi.
Dari
beberapa kasus di atas, tidak bisa dipungkiri bila kewenangan gubernur selaku
kepala daerah sejatinya sudah tidak ada, yang ada hanya kewenangannya selaku
fasilitator, pembina, dan pengawas jalannya pelaksanaan otonomi daerah di
kabupaten dan kota. Dengan kata lain, peran Gubernur saat ini hanya sebagai
perpanjangan tangan pemerintah pusat di
daerah, yang melaksanakan urusan-urusan dekonsentrasi, tidak lebih. Dengan
kondisi seperti itu, Alhasil, Urusan pemerintahan yang didapatkan propinsi tidak
setara dengan rentetan proses mekanisme demokrasi yang telah dilaluinya. Dengan
seluruh keterbatasan kewenangan yang dimiliki Gubernur tersebut, tentu patut
kita pertanyakan kembali, apakah masih relevan bila Gubernur itu elected?
Implikasi
apabila Gubernur Appointed - tentu
yang secara nyata terungkap - adalah jelasnya titik-titik komando dan
koordinasi dari masing-masing tingkatan dalam sistem pemerintahan. Gubernur
memiliki tugas yang secara jelas dan nyata tidak tumpang tindih dengan bupati
maupun walikota. Sehingga kabupaten dan kota
semakin leluasa mengembangkan daerahnya.
Efek
domino yang bakal muncul selanjutnya adalah terjadinya efisiensi anggaran secara besar-besaran di
republik ini. Anggaran pilkada sebanyak 33 propinsi tidak diperlukan lagi.
Rata-rata pilkada di tiap-tiap propinsi menghabiskan biaya 100 Milyar Rupiah.
Dengan ditunjuknya Gubernur maka juga berdampak pada hilangnya Komisi Pemilihan
Umum Daerah (KPUD) propinsi. Demikian pula hal nya dengan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) propinsi yang turut dihapuskan, karena gubernurnya cuma
sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah sehingga tidak lagi
memerlukan DPRD.
Bila
dihitung-hitung, terjadi penghematan besar-besaran yang seyogyanya dapat
dialokasikan untuk kegiatan pembangunan atau peningkatan kesejahteraan
masyarakat di propinsi-propinsi. Mengapa kita terlalu boros mengadakan Pilkada
Gubernur kalau sebenarnya biaya-biaya tersebut dapat dihemat dan
dikompensasikan kembali ke kabupaten dan kota.
Penghapusan
pemerintahan propinsi akan membawa implikasi yang sangat luas bagi kemajuan
tatanan pemerintahan di Indonesia. Artinya kita harus melihat dan menilai dari
hati nurani makna yang tersirat dari wacana elected
atau appointed tersebut. Sedangkan
efek domino yang terjadi seperti; efisiensi, penghematan anggaran, kurangnya
konflik horizontal itu hanyalah keuntungan yang diperoleh atas kearifan kita
dalam menempatkan posisi otonomi daerah di daerah otonom itu sendiri.
*******
Telah Terbit di Harian Pagi Padang Ekspres, Rabu 27 Februari
2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar